Apa yang membuat seseorang menjadi altruistik? Evolusi. Yuval Noah Harari menjawab dalam bukunya, Sapiens. Homo sapiens berbeda dari hewan lain karena didukung oleh kemampuan berkoordinasi dalam skala besar.
Ini berarti kita dapat membentuk sistem yang kompleks, seperti peradaban. Untuk dapat melakukannya, salah satu hal yang harus kita kembangkan adalah empati—perluas lingkaran kasih sayang, dan rawat makhluk lain di luar diri manusia.
Senada dengan Frans de Waal, seorang primatolog dan etolog Belanda telah bertahun-tahun melakukan penelitian pada topik Moral Behavior in Animals, termasuk juga manusia. Empati, kerja sama, keadilan, dan timbal balik—memperhatikan kesejahteraan orang lain tampak seperti sifat yang sangat manusiawi. Ia meneliti perilaku pada primata dan mamalia lain, yang menunjukkan berapa banyak dari sifat moral yang kita semua miliki.
Ia berpendapat bahwa jauh di dalam diri kita, kita sebenarnya saling bersaing, suka menyerang. Ia berkata, ”Ciri-ciri seperti empati, kerja sama, keadilan, dan timbal balik hanya ada karena kita sebagai masyarakat telah menyadari bahwa ini adalah cara yang paling efisien untuk eksis dan makmur.” Meskipun, pada dasarnya, kita berjuang untuk kepentingan diri sendiri.
Awalnya kita merawat kerabat, kemudian diperluas ke suku-suku, yang tumbuh dalam pelbagai ukuran. Selain itu, kemampuan kita untuk membuat dan berbagi cerita dan mitologi yang kompleks, dan memiliki negara, dan negara-bangsa. Dinamika kesukuan inilah yang sering mencegah kita menjadi altruistik atau mencegah kita dari perilaku altruistis dalam semua konteks.
Untuk menjaga integritas suku kita (baik itu negara, kelompok agama, partai politik, maupun tim sepak bola) kita perlu menetapkan batas-batas kelompok. Kita menciptakan dinamika ”kita vs mereka”, yang seiring waktu dapat menghasilkan polarisasi yang kuat.
Jika ”mereka” menang, ”kita” kalah. Ketika ”kita” berkuasa, ”mereka” ada di bawah kita. Apa yang bukan ”kita” tidak pantas diperlakukan seperti ”kita”. Tidak sulit menemukan contoh di mana hal ini menyebabkan konsekuensi negatif. Namun, ada cara yang lebih halus, di mana dinamika ”kita vs mereka” mencegah kita untuk berbelas kasih.
Hal ini terhubung ke bias kognitif, dan evolusi distorsi persepsi bawaan lainnya telah melengkapi kita. Meskipun, berguna di masa lalu, mereka sering tidak mengarah pada kesejahteraan di lingkungan modern sekarang ini.
Apabila dikaitkan dengan kepemimpinan, di lingkungan modern sekarang ini, cukup sulit menemukan sosok altruistic. Adam Grant dalam bukunya, Give and Take (2013), mengatakan pendekatan revolusioner agar kepemimpinan sukses dan efisien harus didasarkan pada konsep giving dan receiving, dan keduanya harus digunakan dua arah karena ”siapa pun yang memiliki kebiasaan memberi, selain menerima, akan memiliki jaringan hubungan yang solid dan dapat dipercaya dan karena itu akan mencapai kesuksesan yang lebih besar”.
Jika kita berkaca kembali, tak sedikit pemimpin Republik ini yang melupakan konstituen mereka. Mereka bergantian tertangkap tangan oleh lembaga antirasuah karena usaha-usaha memperkaya diri. Satu per satu mereka meringkuk dalam jeruji besi. Ini adalah tragedi bangsa ini. Kita mendapatkan pemimpin tanpa jiwa (nekrofili).
Pemimpin tanpa empati, tanpa rasa keadilan, dan korup. Padahal, mereka adalah para pemimpin yang dipercaya rakyat. Kepercayaan rakyat runtuh begitu saja sebab para pemimpin mengkhianati suara rakyat. Setiap waktu, rakyat menyaksikan drama-drama usang para pemimpin yang dijerat hukum karena berusaha dan sudah memperkaya diri ataupun golongan. Pemimpin mereka lupa diri. Rakyat kecewa.
Selain itu, ada pula pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang egois, narsistis, dan arogan. Pemimpin yang merasa dirinya tuan di atas tuan. Pemimpin yang hanya berpegang pada satu prinsip saja. Kata-kata dan tindakan yang ditunjukkan tidak berlandaskan atas kemauan rakyat. Tidak mencitrakan seorang pemimpin yang merangkul. Mereka kerap pula melontarkan bahasa-bahasa agitatif yang menyulut kebencian dan berujung perpecahan. Gaya kepemimpinan demikian bukanlah zamannya lagi.

Melayani
Pemilu sudah usai. Tentunya—dari hasil pemilu itu—rakyat menginginkan sosok-sosok pemimpin altruistik. Sosok pemimpin yang menjadi role model; melampaui ekspektasi publik. Pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan orang lain (rakyat).
Menurut Piliavin (1990), ada elemen-elemen dari perilaku altruistik (altruistic behavior) yang harus diperhatikan calon pemimpin dan rakyat: perilaku harus menguntungkan orang lain, harus dilakukan secara sukarela, harus dilakukan dengan sengaja, manfaat harus menjadi tujuan dengan sendirinya, dan harus dilakukan tanpa mengharapkan imbalan eksternal.
Jadi, pemimpin altruis adalah pemimpin yang mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi ataupun golongan. Tindakannya tak mementingkan diri sendiri dan berusaha tetap ada bagi konstituennya ketika dibutuhkan. Ini adalah kepemimpinan yang melayani rakyat.
Tidak banyak pemimpin yang memiliki perilaku altruistik. Bisa dihitung dengan jari. Ada beberapa contoh pemimpin altruis yang terkenal: Bunda Teresa, Dalai Lama, Mahatma Gandhi, dan Eleanor Rosevelt. Mereka tumbuh dalam passion masing-masing. Perilaku dan gaya kepemimpinan mereka mengarah kepada kepemimpinan yang melayani tanpa imbalan. Adakah pemimpin-pemimpin demikian hidup di zaman sekarang?
Sepikir dengan Smith (2004), kepemimpinan yang melayani artinya pemahaman dan praktik kepemimpinan yang menempatkan kebaikan orang-orang yang dipimpin dibandingkan dengan kepentingan pribadi mereka.
Kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang menghargai dan mengembangkan orang, membangun komunitas, mempromosikan praktik keaslian, menyediakan kepemimpinan untuk kebaikan para pengikut, dan pembagian kekuasaan untuk kebaikan bersama-sama. Artinya, pelayanan, kepedulian, berbagi dan pengembangan perilaku pemimpin merupakan hal sentral dalam model kepemimpinan melayani.
Kepercayaan
Selain itu, sebagai pelayan bagi masyarakat, pemimpin altruis harus dapat dipercaya. Ada sebuah adagium berbunyi: ”kepercayaan adalah akar dari semua kepemimpinan besar”. Untuk menjalankan pemerintahan, pemimpin harus bisa dipercaya oleh rakyat. Tanpa kepercayaan, pencapaian tujuan tidak mungkin terjadi.
Karena itu, para pemimpin harus membangun kepercayaan di antara mereka dan pengikut mereka. Untuk mewujudkan hal ini, pemimpin perlu melakukan interaksi langsung dengan yang dipimpin. Pemimpi dapat turun langsung (blusukan) untuk menyerap aspirasi rakyat yang di bawah.
Pemimpin yang melayani fokus pada pengembangan dan pertumbuhan lain. Jika ia ingin kepemimpinannya diterima dan mencapai tujuan, ia harus mampu memberdayakan pengikutnya melalui pengembangan dan kepercayaan. Ia harus menghormati masukan dan kritik dari yang dipimpinnya untuk membangkitkan sebanyak mungkin kekuatan kepemimpinannya.
Melibatkan pengikut dalam setiap kebijakan adalah bentuk mendelegasikan kepercayaan, memberi rasa percaya diri sehingga meningkatkan kepercayaan diri mereka masing-masing.
Pendeknya, tidak ada pemimpin yang tidak merangkul pengikutnya. Dalam proses pemerintahan, kerja sama antara pemimpin dan pengikut tidak hanya diartikulasikan, tetapi juga dipraktikkan secara efektif.
Saya pikir, pemimpin yang akan terpilih kelak dapat berkontribusi dengan mengembangkan struktur pemerintahan  yang memberdayakan orang-orang di akar rumput untuk menghasilkan partisipasi publik yang berarti dalam pemerintahan. Jadi, perhatian utama pemimpin altruis adalah melayani, bukan dilayani.
Nilai-nilai kepemimpinan yang saya sampaikan di atas merupakan nilai kepemimpinan yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin, tidak terkecuali para kandidat yang berlaga pada pemilu lalu. Selain menjadi pemimpin yang dipercaya, memberdayakan pengikut, semua pemimpin harus memperlihatkan keterampilan khusus, seperti mendengarkan, membujuk, dan mengartikulasikan serta mengkomunikasikan segala gagasan dan input dari masyarakat.
Input yang diterima dari masyarakat direalisasikan dalam bentuk output kebijakan dan program. Karena itu, pejabat lama yang terpilih kembali dalam pemilu mesti berbenah diri dengan cara menanggalkan perilaku buruk sebelumnya dan memperbaiki kualitas diri yang menunjukkan sikap seorang pemimpin altruis.
Pejabat baru yang belum pernah menjabat di pemerintahan agar belajar dari pengalaman pemimpin-pemimpin sebelumnya. Berusaha mempelajari, membaca, dan mengomunikasikan segala kebutuhan konstituennya.
Pada titik ini, pemimpin altruis adalah kebalikan dari pemimpin egois, narsistik, dan arogan. Seorang pemimpin harus mempraktikkan altruisme sebagai kemampuan melayani orang lain tanpa mengharapkan balasan atau imbalan.
Gaya kepemimpinan altruistik tidak sekadar melayani belaka, tetapi juga mampu diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan masyarakat tanpa pamrih. Sejatinya, seorang pemimpin altruis dituntut memiliki tanggung jawab dan pengorbanan yang tinggi demi kemajuan bersama.
(Roy Martin Simamora ; Dosen FSP ISI Yogyakarta; Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan)