Tanggal 22 Juli lalu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian mengadakan Seminar Benih Produk Rekayasa Genetika (PRG).
Penggunaan PRG atau genetically modified organism (GMO) menjadi salah satu strategi penguatan ketahanan pangan Indonesia. Pada acara itu sekaligus ditandatangani Peta Jalan Pengembangan Benih PRG. Seperti kita tahu, benih PRG masih menjadi perdebatan layak atau tak layak digunakan untuk pertanian pangan bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di sejumlah negara di dunia.
Sejumlah negara menolak sepenuhnya penggunaan benih PRG untuk ditanam dan produk turunannya sebagai pangan ataupun pakan. Sebagian negara lain menolak menanam, tetapi masih menerima produk turunan PRG, biasanya hanya untuk pakan. Ada juga yang sepenuhnya menerima benih PRG untuk ditanam dan produk turunannya untuk dikonsumsi.
Hampir semua negara di Eropa melarang sepenuhnya penanaman benih PRG di negara mereka dan sebagian masih menerima impor produk PRG untuk pakan ternak. Rusia dan Bhutan menolak sepenuhnya benih ataupun produk turunan PRG. Spanyol sepenuhnya menerima benih PRG dan menanamnya meski menuai protes dari petaninya.
Amerika adalah negara penghasil benih PRG terbesar di dunia, yang sepenuhnya menerima benih PRG. Namun, sebagian wilayah negara bagiannya menolak menanam benih PRG. Industri benih PRG biasanya sekaligus juga produsen obat- obatan pertanian sintetik.
Bagaimanapun, industri pertanian akan senantiasa berusaha memperluas cakupan pasarnya ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara yang masih dapat menerima produk-produknya, baik dalam bentuk benih PRG maupun produk industri pertanian lain.
Indonesia termasuk negara yang belum jelas posisinya terhadap benih PRG karena belum ada regulasi yang mengatur bagaimana benih PRG dapat dilepas untuk bisa diakses luas oleh pasar di Indonesia. Setelah dibubarkannya Badan Benih Nasional berdasarkan Peraturan Presiden No 116/2016, benih PRG tak dapat dilepas karena di dalam Peraturan Menteri Pertanian No 40/2017 yang diatur hanya mekanisme pelepasan varietas tanaman selain PRG.
Presiden Joko Widodo menekankan perlunya semua jajaran pemerintah membereskan regulasi yang menghambat investasi. Kementerian Pertanian menerjemahkan arahan Presiden ini salah satunya dengan memosisikan ketidakjelasan regulasi benih PRG sebagai salah satu hambatan investasi industri produsen PRG sehingga perlu segera difinalkan.
Persoalannya, benih PRG bukan benih sembarang benih. Penolakan di banyak negara harus menjadi dasar dari kehati-hatian ekstra karena pasti semua negara yang menolak juga memiliki dasar yang kuat. Ada keraguan yang sangat besar terhadap keamanannya bagi ekosistem lingkungan pertanian dan bagi kesehatan manusia yang mengonsumsi produk pangan hasil benih PRG.
Pada saat hampir bersamaan, di Aceh baru-baru ini terjadi (lagi) kasus penangkapan petani penangkar benih yang dituduh melakukan tindak pidana sistem budidaya tanaman dengan cara memproduksi dan mengedarkan secara komersial benih padi yang belum dilepas varietas dan belum disertifikasi. Petani yang juga Kepala Desa Meunasak Rayueuk ini, merupakan Pemenang Inovasi Desa tingkat nasional karena adanya inovasi penggunaan benih padi IF8, ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh.
Kasus yang memperkarakan petani benih adalah yang kesekian kalinya.
Ini menyebabkan sejumlah organisasi dan komunitas petani dan perbenihan menyayangkan sikap pemerintah yang terang-terangan menunjukkan tak mendukung petani pemulia dan penangkar benih, tetapi malah memberi dukungan penuh bagi industri benih. Ini jelas bertentangan dengan tujuan Indonesia berkedaulatan pangan, yang artinya harus dimulai dari berdaulat benih sebagai hulu produksi pangan.
Perbenihan di Indonesia
Terkait perbenihan, setidaknya ada tiga UU yang mengatur, yaitu UU Sistem Budidaya Tanaman, UU Perlindungan Varietas Tanaman, dan UU Perbenihan. Benih yang boleh beredar secara komersial di masyarakat haruslah benih yang bersertifikat, yang hanya bisa diproduksi dari jenis tanaman yang sudah resmi dilepas sebagai varietas dan diberi nama oleh Kementan.
Tujuan sertifikasi benih untuk memastikan mutu benih sudah sesuai standar dan untuk melindungi petani dari sumber benih lain yang tak bisa dipertanggungjawabkan mutu benihnya.
Jika kita percaya Indonesia harus berdaulat pangan seperti yang tercantum dalam nawacita, artinya mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri, yang pertama harus diwujudkan adalah berdaulat benih. Jika kita tak berdaulat benih, tidak akan pernah terwujud yang namanya berdaulat pangan. Sebab, benih adalah hal paling awal yang harus diamankan dari rantai pangan produksi kita.
Dengan demikian, jelas bahwa penting sekali kita memiliki peta jalan perbenihan Indonesia secara keseluruhan. Di dalamnya kita memastikan bagaimana kita dapat mengembangkan kekayaan benih unggul kita dan memastikan kita berdaulat atas benih, terutama benih tanaman pangan.
Berdaulat benih adalah ketika bangsa kita mampu menghasilkan benihnya sendiri yang dapat diakses dengan mudah dan praktis oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama petani. Di level mikro, petani mampu memproduksi sendiri benihnya atau mengakses benih yang unggul.
Pertanyaannya, siapa yang mestinya menghasilkan benih unggul itu? Dulu, jika petani menanam, sebagian dari hasil panennya akan dijadikan benih lagi. Lalu ada juga petani yang mengkhususkan diri sengaja memaksimalkan hasil panennya untuk dijadikan benih, melakukan penyilangan untuk menghasilkan benih-benih unggul yang lalu sengaja diperbanyak, sehingga tetangganya, bahkan petani-petani dari daerah-daerah yang jauh, bisa membeli benih unggul ini ke petani pemulia tersebut.
Inilah yang kemudian menghasilkan benih-benih unggul khas daerah tertentu. Misalnya benih tembakau yang bagus salah satunya di Probolinggo. Benih kopi khas Gayo, Toraja, Bali, Wamena, masing-masing memiliki kekhasannya. Cabai di Indonesia ada banyak ragamnya di daerah-daerah yang berbeda.
Durian, mangga, nangka, dan berbagai buah memiliki banyak sekali varian berbeda di sejumlah daerah. Indonesia memiliki ribuan jenis padi, ratusan jenis jagung, yang bertumbuh dengan khas menurut keragaman lingkungan alam Indonesia.
Indonesia sangat beruntung karena berada di wilayah Nusantara yang memiliki model cuaca, bentuk daratan, ketinggian, dan ekosistem yang begitu beragam sehingga menghasilkan kekayaan keragaman hayati dan kekayaan sumber daya genetika yang nyaris tiada duanya di dunia. Ini  seharusnya dipandang sebagai harta karun yang sangat bernilai. Sampai ada yang menyebutnya ”emas hijau”.
Semua benih unggul apa pun di dunia bersumber dari sumber daya genetika ini. Petani kita turun-temurun bisa menghasilkan benih-benih unggul aneka rupa karena kekayaan genetika yang berserakan ini dimuliakan oleh mereka. Seharusnya petani-petani pemulia menjadi garda depan dari kemampuan kita menghasilkan benih-benih unggul alami.
Namun, yang terjadi hari ini, kebanyakan petani menanam benih hibrida ”unggulan” yang dihasilkan perusahaan benih. Ada dua sifat utama benih hibrida yang dihasilkan perusahaan benih. Pertama, benihnya mandul, hasil panennya tak bisa ditanam ulang, dan setelah petani panen harus beli benih baru lagi. Kedua, benihnya rakus unsur hara, benih hibrida akan menyerap unsur hara sebanyak-banyaknya, baik yang tersedia secara alami di tanah maupun dari pupuk.
Petani hari ini, terutama untuk komoditas jagung dan hortikultura, banyak sekali yang sudah beralih menjadi petani yang bergantung pada benih pabrik. Produksi benih sayuran di Indonesia sebanyak 5.000- 6.000 ton dihasilkan oleh pabrik-pabrik benih.
Hampir tak tersedia benih hortikultura di kalangan petani sendiri karena pemulianya sudah tak ada dan bahan baku dasarnya, yaitu benih lokal, ikut punah. Belanja benih petani kecil untuk beberapa komoditas utama, seperti padi, cabai, dan kentang, total mencapai sekitar Rp 20 triliun setiap tahunnya.
Seandainya pabrik benih ini tutup, kita akan krisis pangan sayur dan buah-buahan. Atau jika petani tak punya modal untuk beli benih, petani tak bisa menanam. Jika kita kekurangan bahan pangan, kita akan bergantung lebih besar lagi pada pangan impor.
Ketahanan negara kita begitu lemah, ”hanya” gara- gara kita dan atau petani kita tidak punya kemampuan memproduksi benih atau mengakses benih dengan efisien, mudah, dan praktis.
Peta jalan perbenihan
Nawacita 2014-2019 mencanangkan target kedaulatan pangan, bukan ”sekadar” ketahanan pangan. Sayangnya, dokumen Kemenko Perekonomian Bidang Pangan dan Pertanian hanya mencatat perlunya mendorong peningkatan produktivitas perusahaan penyedia benih unggul.
Sama sekali tidak menyinggung kedaulatan petani atas benih mereka sendiri atau kedaulatan bangsa ini dalam menyediakan benih untuk petaninya. Kedaulatan pangan diturunkan dalam strategi meletakkan ketergantungan pengadaan benih dalam kendali perusahaan benih.
Peta jalan perbenihan Indonesia seharusnya menuju pada terwujudnya kedaulatan benih. Indonesia sebagai bangsa dan negara sudah memiliki alat-alat untuk ini, tetapi kurang maksimal didorong untuk menjadi elemen utama kedaulatan benih.
Alat-alat itu adalah Balai Penelitian Tanaman di bawah Kementerian Pertanian serta laboratorium perbenihan dan pertanian di fakultas-fakultas pertanian berbagai perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri. Alat penting lainnya adalah petani-petani pemulia dan penangkar benih, yang mengkhususkan diri pada pengembangan benih-benih unggul dengan cara-cara pemuliaan yang alami.
Benih-benih hibrida dan PRG, yang diproduksi perusahaan benih, pastilah punya tujuan memaksimalkan keuntungan ekonomi bagi perusahaan. Apalagi jika perusahaan benih adalah sekaligus perusahaan penghasil pupuk kimia sintetis dan pestisida sintetis. Sudah menjadi praktik umum ketika benih dijual kepada petani ”sepaket” dengan pupuk dan pestisida yang akan ”menjamin produktivitas tinggi” tanaman.
Contohnya benih PRG jagung dari pabrik X yang tahan obat pestisida tertentu produksi pabrik X juga. Artinya, benih jagung direkayasa untuk tahan terhadap pestisida itu sehingga ketika petani menyemprot banyak pestisidanya, tanaman tak mati. Namun, jagung yang dihasilkan tentu sudah banyak terpapar pestisida. Menguntungkan pabrik X, tetapi sangat diragukan akibatnya bagi ekosistem dan kesehatan konsumennya.
Balai penelitian di bawah kementerian atau laboratorium pertanian di perguruan tinggi seharusnya bisa menjadi penyedia benih unggul hibrida yang bebas dari kepentingan ekonomi, seperti perusahaan benih. Dengan syarat balai penelitian, laboratorium, dan fakultas pertanian harus bebas dari intervensi korporasi industri pertanian. Murni didanai APBN atau didanai masyarakat dengan satu dan lain cara, misalnya oleh koperasi-koperasi petani secara bergotong royong. Perusahaan benih nasional bisa ikut ambil bagian dengan tetap bekerja sama dan dalam pengawasan negara.
Dengan kekayaan keragaman hayati yang kita miliki, kita sebagai bangsa seharusnya menjadi penyedia benih unggul terbesar di dunia, yang alami, bernilai sangat tinggi. Dengan semangat tinggi petani pemulia, para pemulia yang ada di badan penelitian dan pengembangan pertanian, para pemulia yang ada di institusi riset pemerintahan dan perguruan tinggi, didampingi institusi perbenihan pemerintah, dan industri perbenihan nasional, maka kedaulatan benih nasional optimis dapat dicapai. Kita sama sekali tak perlu menggantungkan diri kepada perusahaan-perusahaan benih dan industri pertanian.
Kita belum perlu mempertimbangkan benih PRG, apalagi dengan serba terburu-buru, mengingat masih serba meragukan dampaknya bagi alam kita yang subur ini. Kita juga bisa dengan serius mengupayakan kesejahteraan petani dengan memastikan petani kita berdaulat benih dan tidak malah terus bergantung atau dihantui risiko kriminalisasi gara-gara urusan benih.
Pertanyaannya sekarang, apakah regulasi kita sudah kondusif untuk mewujudkan kedaulatan benih nasional itu. Melalui peta jalan perbenihan nasional, pemerintahan yang sekarang dapat merumuskannya dan jadi pegangan bagi semua elemen bangsa. Kita pasti bisa.

(Totok Agung Dwi Haryanto ; Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; Pemulia Benih; Ketua Dewan Pembina Koperasi Benih Kita Indonesia)