Setahun lalu, saat saya mendaratkan kaki di Oslo, Norwegia, seorang diplomat senior bicara kawasan Artik, yang akan mengubah geopolitik dan geo-ekonomi dunia. Akan banyak yang terkena dampak, langsung atau tidak langsung. Indonesia sebagai negara kepulauan—meski ribuan kilometer jauhnya—juga merasakan dampaknya.
Beberapa bulan kemudian saya menghadiri konferensi mengenai Artik di Tromso dan mendapat gambaran sangat mencemaskan akibat perubahan iklim. Sebenarnya sudah ada Perjanjian Paris—dokumen hukum internasional yang responsif dan bersifat preskriptif—yang sudah diratifikasi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, tetapi gunung es di kawasan Artik terus meleleh, menaikkan suhu udara, dan meningkatkan permukaan air laut.
Semua itu akan menimbulkan krisis, migrasi, serta juga konflik inter dan antarnegara. Menurut Global Climate Risk Index, Asia Tenggara akan terkena dampak cukup serius. Pantai-pantai di Filipina, Vietnam, Myanmar, Thailand, dan Indonesia akan hilang saat permukaan laut naik 1 meter.  Bangkok, Jakarta, Manila, dan Yangon akan terkena dampak. Ketika semua ini terjadi, hubungan antarnegara akan terpengaruh, berbagai persoalan, termasuk konflik, mungkin terjadi.
Ketika gunung es di Artik meleleh gara-gara panas bumi perlahan naik, perairan Artik yang selama ini tidak bisa dilalui akan mulai terbuka (navigable routes). Sekarang saja sudah ada transportasi laut dari Atlantik ke Pasifik, memotong jalur pelayaran yang selama ini melalui Lautan Hindia dan Selat Malaka. Di sini ongkos transportasi laut dipangkas.
Memang kapal-kapal yang melintas masih sangat terbatas karena teknologi berlayar di Artik masih dalam pengembangan, selain soal pencemaran laut juga menjadi satu pertimbangan. Namun, teknologi akan menemukan jawabnya.
Saya tidak tahu kalkulasi ekonominya, tetapi tak keliru kalau disimpulkan bahwa dibukanya jalur pelayaran Artik akan memukul ekonomi beberapa negara yang selama ini menjadi kawasan persinggahan, seperti Singapura dan juga Indonesia. Perubahan iklim dan melelehnya gunung es di kawasan Artik akan memaksa komunitas di kawasan tersebut mengubah pola hidup, karena terus terdesak.

Turisme akan berkurang. Hewan dan tumbuhan juga akan terkena dampaknya. Keragaman hayati ikut menjadi taruhan. Bagaimana menyelamatkan komunitas dan keragaman ini? Sungguh soal yang pelik. Bayangkan beruang kutub dan ikan-ikan yang kehilangan tempatnya untuk hidup. Daya tahan bumi (earth resilience) terus diuji meski kelihatannya daya tahan itu terus tergerus oleh kerakusan manusia yang tak peduli bumi.
Pada sisi lain, perubahan iklim tak selalu dilihat sebagai malapetaka global yang membuat kita mempunyai pilihan untuk menyesuaikan diri dan memitigasi semua dampak.
Jadi peluang
Sebagian orang melihat perubahan iklim sebagai peluang, termasuk Vladimir Putin dan Donald Trump. Trump, misalnya, membuka Artic National Wildlife Refugee untuk penambangan minyak dan gas bumi. Kebijakan ini berbeda dengan kebijakan Presiden Barack Obama yang melestarikan (konservasi) kawasan tersebut.
Putin mengakui bahwa perubahan iklim akan berdampak sangat serius terhadap bumi, tetapi tetap menekankan bahwa kekayaan alam di kawasan Artik—kebetulan Rusia menguasai kawasan Artik sangat luas, 50 persen—harus tetap bermanfaat ekonomi.
Kawasan Artik memang sangat kaya minyak, gas, nikel, tembaga, platinum, berlian, emas, besi, dan lainnya. Di kawasan ini berlangsung penambangan minyak. Equinor, perusahaan minyak raksasa Norwegia, menambang minyak di laut dalam dan konon Norwegia menyimpan 10 persen cadangan minyak dunia.
Norwegia juga menambang emas dan batubara di Pulau Spitsbergen.
Selain penambangan mineral, kawasan Artik menjadi kawasan pelayaran laut yang mulai ramai. Penangkapan ikan juga harus dihitung sebagai potensi ekonomi selain turisme.
Svalbard, misalnya, selalu menjadi kawasan turis karena salju abadi dan menjadi tempat hunian 3.000 beruang kutub, 15.000 rusa kutub, dan 2.600 manusia. Bisnis di kawasan Artik ini kalau dikelola optimal pasti akan berdampak pada ekonomi global, memengaruhi geo-ekonomi.
Pertanyaannya: bagaimana mengatur dan mengelola kawasan Artik? Artik berada di bawah Ärtic Council yang beranggotakan delapan negara: Kanada, Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia, Amerika Serikat, Eslandia, dan Rusia. Selain itu, ada enam organisasi dan enam working group yang menjadi anggota Ärtic Council.
Di antara anggota Ärtic Council, hanya lima negara, yaitu Norwegia, Rusia, AS, Kanada, dan Denmark,  yang mempunyai pesisir atau pantai yang sangat luas. Kelima negara ini berkepentingan sangat besar (substantial) atas kawasan Artik (Artic Ocean), terutama berkaitan dengan klaim di luar 200 mil laut (nautical miles). Jika klaim di luar 200 mil laut ini selesai, yang tersisa di luar yurisdiksi kelima negara tersebut hanya 5-10 persen saja. Betapa pentingnya posisi kelima negara tersebut karena menguasai 90 persen kawasan pesisir Artik.
Kewenangan
Ärtic Council bertemu berkala setidaknya sekali dalam setahun. Ärtic Council memiliki kewenangan regulasi dan pelaksanaan. Tak perlu diragukan lagi dampak geopolitik dan geo-ekonominya terhadap perekonomian dunia.
Terhadap hampir semua negara non-Artik—termasuk negara-negara jauh, seperti Indonesia, Singapura, Vietnam, Thailand, dan Filipina—Ärtic Council memberikan tempat untuk menjadi observer dan hadir dalam pertemuan Ärtic Council.
Sejauh ini ada 13 negara memperoleh status observer dalam Ärtic Council. Dari Asia yang berstatus observer adalah Jepang, China, India, Korea, dan Singapura. Kelima negara Asia ini melihat arti Ärtic Council bagi kepentingan nasional mereka. Jadi, mereka mengikuti secara saksama apa yang terjadi di Ärtic Council. Sayang, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan perairan laut 71 persen dari seluruh teritorial negara tak menjadi observer dalam Ärtic Council.
Ketika saya bertemu dengan Presiden Eslandia Guoni Th Johannesson, kami berdiskusi cukup lama. Presiden Eslandia mendukung Indonesia untuk masuk sebagai observer dalam Ärtic Council. Permohonan untuk menjadi observer memang sudah agak terlambat, tetapi lebih terlambat daripada tidak sama sekali.
(Todung Mulya Lubis ; Duta Besar Indonesia untuk Norwegia dan Eslandia)