Kamis, 01 Agustus 2019

PRESIDEN RI, RIWAYATMU KINI

Oleh : Radhar Panca Dahana

KOMPAS, 1 AGUSTUS 2019


Apakah perubahan dunia belakangan ini sungguh tak terelakkan?
Dari sekian banyak penemuan revolusioner di bidang teknologi, perubahan radikal juga terjadi di bidang sosial-politik, yang tentu saja akan memberi dampak yang tentu radikal di dimensi kehidupan kita lainnya. Dampak yang bagi banyak kalangan tak bisa dielakkan.

Apa yang dihasilkan dari pemilu (Uni) Eropa beberapa hari lalu, memperlihatkan bagaimana partai-partai populis, bisa dikatakan ekstrem kanan, memperoleh hasil di luar dugaan, dengan peningkatan suara dan perolehan kursi 2-3 kali lipat dari pemilu sebelumnya.

Hanya sekitar seminggu sebelum pemilu, Matteo Salvini —wakil perdana menteri (PM), yang juga pemimpin utama partai populis Italia— memimpin pertemuan besar para pemimpin populis Eropa di sebuah gereja Gotik di Milan, Italia. Di hadapan sejawatnya, Salvini berikrar membuat aliansi populis –dari sekurangnya sembilan negara Eropa—menjadi tiga besar di parlemen Eropa. Dan mereka, “akan mengubah sejarah”. Ia membuktikannya. Bahkan melebihinya.

Di beberapa negara, partai populis bahkan menaklukan partai arus utama, seperti partai Rally Nasional pimpinan Marine Le Penn untuk pertama kali mengalahkan REM, partai petahana pimpinan Emannuel Macron.
Kecenderungan ini, tentu saja, bukan hanya menjadi fenomena mutakhir perpolitikan Eropa. Tapi juga dunia.

Munculnya Trump, hingga makin kuatnya kekuasaan Erdogan di Turki dan Abdul Fatah as-Sisi di Mesir yang semi-diktatorial kian menegaskan ke mana arah pendulum geopolitik masa kini. Demokrasi, jika tak mendapatkan tantangan terberat dalam sejarahnya, ternyata justru jadi pintu masuk paling legal bagi tumbuhnya rezim diktator, lebih 80 tahun lalu saat sistem yang sama melahirkan Adolf Hitler dalam pemilu paling demokratis pertama di Eropa. Tragik utama dari demokrasi terjadi di Israel, negara yang dianggap representan utama demokrasi terbaik dunia.

Terpilihnya Netanyahu untuk kelima kali sebagai PM, durasi kekuasaan yang melebihi Ben Gurion, bapak bangsa yang mendirikan bangsa Israel, justru ditandai oleh kebijakan-kebijakan yang justru merusak atau mengkhianati demokrasi itu sendiri. Antara lain lewat pembungkaman formal media-media independen non-pemerintah, amandemen dan revisi UU yang akan meloloskan dia dalam banyak dakwaan kriminal Jaksa Agung.

Situasi ini membuat PM Prancis, Edouard Phillipe menyatakan “sejarah (dunia) harus ditulis ulang”. Di Rusia, Menlu Sergei Lavrov menyerang tegas ulu hati peradaban demokratis Barat dengan anak kandungnya yang bernama globalisasi sebagai model yang jauh dari sempurna. “Liberalisme Barat sedang sekarat, sebuah tatanan dunia baru harus segera menggantikannya,” katanya.

Tantangan Indonesia

Ke mana pendulum itu akan bergerak membawa kita, masyarakat dunia, yang sudah tak bisa lagi melindungi diri, dari pengaruh pergolakan yang terjadi di bagian dunia lain? Di mana Indonesia dalam kecamuk global itu? Apa yang bisa dilakukannya? Apa yang dapat diperbuat presidennya, pemimpin negeri dengan penduduk keempat terbesar ini?

Sebagai salah satu pemimpin utama Asia, presiden RI sesungguhnya punya posisi tangguh yang karenanya dapat pula memainkan peran kuat di Asia. Sebagai negara ketiga terbesar dalam penduduk, terbesar keempat dalam ekonomi, dan klaim negara demokratis kedua terbesar di Asia, selayaknya Indonesia berdaya menggunakan kekuatan eksternal plus potensi hebat internalnya untuk jadi bangsa besar dan maju.

Turut menentukan arah politik, ekonomi, keamanan hingga kebudayaan regional hingga global. Tapi perlu diingat adagium sederhana, kebesaran sebuah negara berbanding lurus dengan kebesaran atau keagungan bangsanya. Bangsa yang besar ditentukan banyak faktor, mulai dari kecerdasan (literasi) penduduknya di pelbagai dimensi, tata pemerintahan, SDA, kemampuan ekonomi, hingga kematangan kebudayaan dan lainnya. Semua itu menghadapkan presiden RI pada beberapa hal, yang bisa jadi hambatan bisa pula jadi tantangan.


Pertama, dengan pendapatan per kapita berdasar PDB pada 2018 sekitar 4.200 dolar AS (sic), Indonesia hanya menempati urutan 106 dunia, urutan 26 di Asia, dan berposisi medioker (urutan 5) dari 10 negara ASEAN. Di banding China, Korea Selatan atau India yang 4-5 dekade lalu memiliki posisi –dalam satu atau lebih indikator—ekonomi setara, Indonesia tertinggal jauh. Apalagi dengan Jepang, yang di masa revolusi kemerdekaan nilai uangnya sama dengan rupiah, kita seperti kunang-kunang yang melihat bintang di langit jauh.

Pertumbuhan ekonomi tak beranjak jauh dari kisaran 5 persen/tahun, betapapun dianggap mengungguli pertumbuhan dunia yang memang sedang krisis, tak akan memberikan lompatan signifikan, sebagaimana dilakukan Rusia dan India, apalagi China yang pernah dua digit pertumbuhannya.

Karenanya, prognosa PricewaterhouseCoopers, yang menyatakan Indonesia akan jadi raksasa ekonomi keempat dunia (melampaui Rusia, bahkan Inggris, Prancis, Jerman, dan lainnya) dalam seperempat abad ke depan, jadi tantangan hebat atau mungkin mimpi yang takkan terwujud kecuali banyak prakondisi dapat kita tuntaskan.

Posisi Indonesia dengan PDB 7 triliun dollar AS dalam prognosa itu, akan terwujud bila pertumbuhan ekonomi minimal dua kali dari yang kita capai hari ini. SDA masih terpelihara baik. SDM, terutama dengan populasi tinggi dan kalangan muda mencapai setengahnya, haruslah diisi mereka yang berliterasi (sangat) tinggi, penuh kreasi dan inovasi, sehat badan dan jiwa, kuat dalam adat budaya.

Infrastruktur yang terbangun masif bukan hanya sarana transportasi, tapi juga di seluruh area pengembangan pribadi manusia dan bangsanya. Termasuk infrastruktur pembiayaan, jaringan koneksi, teknologi, keilmuan/pendidikan, kebudayaan, dsb. Pemerintah pun dapat menciptakan semacam stabilizer (pembaruan sistem dan law enforcement yang kuat) serta jadi pemicu menguatnya partisipasi publik, bukan sebaliknya mendominasi kerja dan insiatif rakyat.

Beberapa prakondisi itu, mungkin terlampau berat untuk direalisasikan. Menimbang SDA yang hampir terkuras, kalangan muda yang terpapar budaya hingga keyakinan yang negatif-destruktif, kondisi politik yang selalu mengharubiru sehingga menciptakan labilitas di banyak sektor, pemerintahan yang masih jumud dengan kroni dan oligarki, dst.

Kedua, ramalan “surgawi” yang dikuatirkan jadi semacam bius yang menciptakan kesadaran-imajis di beberapa kalangan itu, turut jadi indikator terciptanya realitas aktual dan faktual bangsa kita yang terlena seolah kita sudah berjalan dalam track menuju kemakmuran 1,5 kali lipat dari yang dicapai China saat ini.

Terbit semacam kesadaran-keliru (fake consciousness) di kalangan masyarakat tentang sudah benarnya proses dan progres yang kita alami saat ini, di mana semua elemen atau dimensi kebangsaan dan kenegaraan telah berjalan sebagaimana semestinya, menuju firdaus 2045 itu. Firdaus seabad Indonesia merdeka, firdaus “zaman emas” dari peradaban Indonesia.

Sayang, “firdaus sudah hilang” kata Rendra. Tepatnya, firdaus memang bukan di dunia terwujudnya. Bahkan imajinasi “Eden” atau surga bagi dunia Kontinental saat membayangkan negeri kita, juga sudah luntur dan keropos tiang-tiangnya. Kekeliruan dalam cara memandang diri sendiri, kenyataan mutakhir yang delusif, masa depan yang obsesif, hingga penghayatan agama yang ilusif, jadi hambatan dan tantangan terbesar yang harus dihadapi presiden RI masa kini, untuk sekadar mendekati cita-cita atau obsesi dari rakyatnya itu.

Meruyaknya kesadaran-keliru yang memproduksi pelbagai bentuk kebenaran-keliru (fake truth) sebagai isi dan watak post-truth ini, kita mafhum, telah menciptakan kerusakan yang tak kecil mulai dari cara kita bernegara, berpolitik, berelasi dengan manusia, bereksistensi diri, hingga beriman dalam keyakinan kita masing-masing. Fenomena ini juga terjadi di belahan dunia lainnya. Dan setiap bangsa merespon dengan caranya sendiri-sendiri, dengan hasil yang juga unik, tidak seragam.

Tapi, ketiga, kita menyaksikan bagaimana sebagian negara di Asia mengalami destruksi masif dan menembus dimensi terdalam kemanusiaan, saat globalisasi kesadaran-keliru jadi dampak sampingan atau limbah kemajuan adab kontinental ini. Beberapa negara Arab, kawasan Magribi juga Afrika mengalami apa yang secara peyoratif dunia menyebutnya “musim semi”, walau sesungguhnya yang terjadi adalah musim panas yang keras yang menciptakan kerusakan hampir semua tatanan kehidupan.

Dibanding bagian dunia lain,Asia masih menyimpan cukup banyak varian tata pemerintahan yang membuat kawasan itu tumbuh dinamik. Selain beberapa negara yang demokratis, seperti Korsel, Indonesia, India atau Jepang, Asia masih meneguhkan bentuk kekuasaan monarkis, termasuk dalam bentuk emirat, otokratis di beberapa negara eks-komunis, hingga semi diktatorial seperti Filipina, Singapura atau Kamboja. Variasi tata politik ini, dengan output beragam, sesungguhnya memberi alternatif bagi bangsa Indonesia menentukan cara dan sistem hidupnya sendiri.

Tantangan Presiden

Presiden RI masa kini harus menghadapi realitas penuh tantangan yang hampir tak ada presedennya dalam sejarah. Mau tak mau, dia pun didesak menciptakan respons yang juga baru, menciptakan perangkat (lunak dan keras) yang baru, dilandasi oleh komprehensi, kontemplasi hingga visi dan ide-ide baru. Tanpa semua itu, bisa dipastikan, negeri ini akan terjebak konservatisme bahkan ortodoksi yang bukan hanya terkurung dalam apa yang kita sebut democratic trap, middle income trap, failed state, bencana demografis, dan sebagainya.

Sesulit apa pun kebijakan dan tindakan yang mesti dilakukan, presiden RI masa kini, setidaknya harus menyelesaikan dan menciptakan beberapa hal kritikal, seperti memulihkan frustrasi publik akibat konservativisme bahkan ortodoksi hampir semua bentuk pemerintahan dunia, dengan akibat menyebarnya kesadaran dan keyakinan-keliru, menciptakan kebenaran-keliru yang justru lebih destruktif. Namun kondisi itu sudah terlanjur tercipta, antara lain membuat rakyat Eropa mulai meninggalkan partai arus utama dan memilih partai populis hanya karena tidak adanya pilihan lain.

Kondisi ini, yang gejala kuatnya juga terjadi di negeri ini, jadi peringatan keras bagi para pembela nilai-nilai tradisional kemanusiaan yang dianggap luhur bahkan abadi. Apa pun argumentasi mereka, satu tanggapan baru inovatif harus dilakukan, mengingat hampir setengah penduduk negeri ini ternyata mendukung atau jadi bagian dari barisan frustrasi itu. Dan mereka datang dari kalangan yang tak sembarang, bukan hanya elite politik, akademik, budaya, bahkan agama tapi juga tokoh yang selama ini kita kenal integritas dan pembelaannya pada nilai dasar kemanusiaan.

Imperasi pertama di atas, sesungguhnya menggiring kita pada pengambilan keputusan solusional, sebagai imperasi kedua, yang menempatkan satu dimensi hidup vital sebagai salah satu jalan keluar terbaik di negeri ini: kebudayaan. Menempatkan kebudayaan di aras tertinggi, yang tak dilakukan oleh bangsa lain, akan memosisikan setiap manusia dalam kedudukan tertingginya sebagai pembela keluhuran dan kemuliaannya yang terbentuk dan terjaga sejak hidup para leluhur ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Pendidikan dan pembangunan (sumber daya) manusia yang konon jadi fokus tahap pembangunan dari Kabinet Kerja, tak terelakkan mesti difondasi oleh kekuatan kebudayaan ini, kekuatan terbaik yang kita miliki.

Ketiga, peningkatan literasi budaya itu harus bisa membuktikan bagaimana manusia di negeri ini bukan hanya survive tapi juga melahirkan kreasi dan inovasi terbaik sebagaimana para leluhur. Semua itu akan jadi kekuatan yang sulit dibendung ketika upaya besar apa pun yang dilakukan manusia/bangsa ini diteguhkan oleh iman atau tauhid yang tidak ilusif, spiritualitas yang menjadi identitas dan kekuatan terbaik kedua dari bangsa ini.

Dengan literasi budaya dan literasi agama (dua hal yang justru paling minim disuarakan belakangan ini, termasuk oleh para penanggung jawab pendidikan nasional kita), maka ketekunan, kedisiplinan dan konsistensi yang ditujukan semata demi kemaslahatan umat dan rida dari Sang Pencipta-nya, akan menjadi watak baru bangsa kita. Bangsa yang istikomah dalam kerja, dan ikhlas dalam tendensi atau pamrih hasil kerjanya.

Itulah dasar komunalitas kita yang menciptakan gotong royong, nilai yang bagi pendiri bangsa diyakini paling utama dari seluruh dasar hidup bernegara dan berbangsa kita. Betapa rumit dan berat riwayat presiden RI saat ini. Maka akan jadi kesalahan juga dosa besar bila setiap elemen kebangsaan tidak bahu-membahu membantu kerja dia yang –suka tidak suka—telah kita pilih dan sepakati bersama. Kalaupun Indonesia bisa jaya, ia harus menjadi kejayaan bersama, bukan milik atau karena segolongan saja.


(Radhar Panca Dahana ; Budayawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar