Apakah Indonesia sebuah “nation” yang “religius”? Ini sebuah pertanyaan yang tidak mudah menjawabnya. “Motto” Bhinneka Tunggal Ika secara implisit menunjukkan bahwa realitas masyarakat Indonesia adalah himpunan suku-suku dengan aneka ragam bahasa, budaya dan agama, bukan sebuah bangsa (“nation”) tunggal dan homogen bernama Indonesia.
Kesatuan berupa mozaik suku itulah yang kemudian berhimpun dalam rumah Indonesia, sehingga apa yang disebut bangsa Indonesia lebih merupakan cita-cita yang masih dalam proses dinamis “menjadi” sebuah “bangsa Indonesia” tanpa pretensi menghapus keragaman. Di sini kesetiaan pada civic values lebih dominan ketimbang pada ikatan primordialisme etnis dan agama. Dengan demikian, orang yang nasionalis adalah juga orang yang pluralis.
Sebagai negara, Indonesia lahir dari rahim masyarakat yang proses kehamilan dan kelahirannya berdarah-darah, bukan tiba-tiba hadir sebagai hadiah dari negara penjajah, melainkan buah perjuangan panjang sekali. Di antara kenangan kolektif yang masih bertahan sampai hari ini, umat Islam selalu merasa sebagai pemilik saham politik terbesar dengan merujuk daftar jumlah pejuang dan pahlawan kemerdekaan terbanyak, sehingga persepsi dan identifikasi diri sebagai mayoritas sering dikapitalisasi setiap menjelang pemilu.
Akhir-akhir ini, identitas keagamaan merupakan modal sosial yang selalu ditangkap dan dimanfaatkan serta dibeli oleh para elite politik untuk menjaring massa. Relasi masyarakat, partai politik dan negara pada masa pra-kemerdekaan dan situasi hari ini sudah mengalami perubahan dan pergeseran sangat besar. Dulu pluralitas etnis dan agama yang tumbuh di wilayah Nusantara ini melebur jadi satu kekuatan gerakan dan gelombang dahsyat melawan penjajah demi lahirnya anak raksasa bernama Republik Indonesia.
Keinginan memiliki negara bangsa yang berdaulat dan bermartabat mampu meredam perbedaan dan konflik horizontal. Para pejuang dan pembangun bangsa dengan jeli, cerdas dan gagah berani memanfaatkan momen kritis jatuhnya Jepang ke tangan Sekutu dengan mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sehingga Indonesia tidak jatuh ke pelukan Sekutu yang memandang Indonesia sebagai wilayah pampasan perang.
Kontestasi identitas
Jika pra-kemerdekaan fokus utama masyarakat adalah berjuang bagi lahirnya negara yang berdaulat, maka sekarang ini relasi negara dan masyarakat terfragmentasi aspirasinya. Di bawah langit demokrasi rakyat berhimpun ke dalam berbagai ormas, parpol, organisasi profesi, dan sekian banyak lembaga lain dengan peran yang berbeda-beda.
Ada di antara mereka yang produktif dan konstruktif memikirkan dan memajukan negara, bermitra dengan pemerintahan yang ada. Ada parpol dan ormas yang hidupnya mengharapkan kasih sayang negara, ada yang sengaja membuat organisasi sosial agar bisa mengambil dana negara. Kekuatan rakyat yang dahulu menjadi motor dan pilar negara, sekarang ini sebagian justru jadi beban dan benalu negara. Identitas dan militansi keagamaan yang dulu jadi kekuatan revolusi bagi lahirnya bangsa dan negara, sekarang ada yang mengambil sikap memusuhi negara. Bahkan ada yang mengharamkan simbol-simbol negara, seperti bendera merah-putih dan lagu kebangsaan.
Kondisi sosial-politik era pra-kemerdekaan adalah fight against, sekarang mestinya bergeser menjadi fight for. Yang pertama menekankan perlawanan fisik dan militer, yang kedua perjuangan untuk membangun, yang memerlukan konsep keilmuan, wawasan kenegaraan modern, penguasaan teknologi tinggi dan keterampilan teknokratik. Pada era fight for ini terjadi seleksi alamiah dan semakin sedikit yang memenuhi kualifikasi, sementara mayoritas rakyat lalu menjadi beban negara karena belum memperoleh pendidikan yang tepat yang mampu mengubah mereka menjadi aset produktif.
Namun begitu, ketika diberlakukan demokrasi liberal, jumlah suara dan identitas etnis-keagamaan rakyat tiba-tiba berubah jadi komoditas politik yang amat mahal, yang pada urutannya bisa menentukan terpilihnya pimpinan nasional maupun daerah semata berdasarkan kemenangan jumlah suara, bukannya kemenangan ide dan integritas.
Religiositas dan spiritualitas
Ada yang membedakan antara religiositas dan spiritualitas. Yang kedua biasanya diposisikan lebih inklusif, terbuka, dan universal, melewati batas religi. Sedangkan religiositas, saripati religi atau agama, memiliki identitas komunal layaknya agama sehingga religiositas seseorang tetap terikat dengan ajaran, doktrin dan tradisi agama yang dianutnya. Nasionalitas dan religiositas keduanya memiliki titik temu yang saling memperkuat yang lain, keduanya mengasumsikan sikap terbuka, menerima dan menghormati keragaman.
Mengingat apa yang disebut “religion” selalu bersifat plural, bahwa di muka bumi terdapat ragam agama, sementara dalam rumah Indonesia juga terdapat kebinekaan, maka warga negara Indonesia yang religius adalah juga yang memiliki kesadaran dan komitmen menjaga keragaman. Sikap inilah yang dimiliki para pejuang kemerdekaan yang telah mewariskan dan mengamanatkan bangsa dan negara ini pada kita semua untuk kita jaga.
Kata religiositas atau keberagamaan menunjuk pada kualitas keberagamaan, sedangkan agama lebih menonjol sebagai identitas kelompok. Oleh karena itu mereka yang bersemangat menyuarakan identitas kelompok agamanya belum tentu mereka memiliki pribadi religius. Dalam peristiwa pemilu atau pilkada, agama sebagai identitas kelompok begitu menguat — dan ini terjadi di berbagai belahan dunia — namun tidak serta-merta identitas ini disertai sikap religius dan kesalehan beragama.
Di Indonesia karena mayoritas warganya memiliki identitas Islam, maka populisme politik yang berkembang akan lebih mudah jika bersinergi dengan emosi dan identitas keislaman, terlepas hidup mereka religius dan spiritualis ataukah tidak. Religiositas dan spiritualitas mengarah pada visi, kualitas dan makna hidup transenden, melewati target jabatan, kekayaan dan popularitas.
Kekuatan negara
Perubahan dahsyat yang masyarakat tidak membayangkan adalah betapa negara memiliki kekuatan sangat besar begitu dia diproklamasikan dan memperoleh pengakuan dunia. Tokoh-tokoh masyarakat yang semula ikut memperjuangkan kemerdekaan dan mereka yang menjadi pemimpin informal kekuasaannya diambil alih oleh negara.
Atas nama negara sebuah rezim bisa menguasai aset bangsa, bisa membuat peraturan untuk mengendalikan warganya, bahkan berhak untuk memaksa atau pun memenjarakan jika dianggap melawan dan mengancam negara. Sosok negara demikian abstrak, tetapi kekuasaan dan kekuatannya sangat nyata, diwakili kehadirannya oleh rezim yang tengah berkuasa.
Secara teoretis demokrasi adalah sebuah proses dan prosedur untuk memilih rezim pemerintahan guna memajukan bangsa dan negara serta melindungi dan menyejahterakan warganya. Dalam ungkapan populer, demokrasi itu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tetapi pada praktiknya partai politik yang mestinya menjadi penghubung antara rakyat dan negara lalu memainkan agendanya sendiri yang sangat potensial mengkhianati negara dan rakyatnya.
Di satu sisi parpol bisa memanfaatkan wibawa negara lewat wakilnya yang duduk di pemerintahan serta lembaga perwakilan rakyat, di sisi lain parpol bisa memobilisasi massa untuk memperbesar saham politiknya.
Salah satu cara yang lagi laku adalah mengedepankan jargon populisme keagamaan karena di era budaya digital dan hadirnya masyarakat global yang telah merobohkan sekat-sekat etnis, negara dan birokrasi aspek yang paling mudah dan sensitif disentuh adalah identitas agama. Rumah keagamaan dibayangkan akan memberikan tempat yang hangat dan nyaman, sekalipun ada unsur pelarian dari hiruk-pikuk dan tantangan globalisme yang penuh disrupsi.
Negara Indonesia yang berdiri atas dorongan cita-cita kemanusiaan yang sangat visioner dan mulia, ditambah lagi dengan kekayaan alam dan penduduk, kebesaran negara ini bisa menjadi kerdil jika dikelola oleh pemerintahan yang tidak visioner dan profesional, di mana pemerintahan saat ini lebih merupakan anak kandung partai politik, bukannya anak kandung masyarakat yang dulu pernah melahirkan negara.
Ketika negara telah hadir dan memasuki pergaulan dan persaingan global, maka pemerintahan yang ada mesti lebih memperkuat kualitas nasionalis-religius dengan disertai kompetensi teknokratik. Di atas itu semua adalah terciptanya kerukunan dan kebersamaan yang menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan golongan.
(Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia)