Membaca artikel Irvan Rahardjo berjudul “Paradoks OJK” di Kompas (23/8/2019), ada beberapa hal yang menggelitik. Artikel tersebut perlu ditanggapi agar publik mendapatkan informasi lebih komprehensif, berimbang, dan tidak memicu salah persepsi tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meskipun judulnya tentang OJK, sasaran tembak artikel tersebut tersebar ke beberapa institusi. Pemerintah, DPR, dan panitia seleksi pemilihan calon anggota Dewan Komisioner OJK tak lepas dari kritikan.
Ketika bicara undang-undang terkait program penjamin polis yang tak kunjung ada, artikel tersebut menyentil Pemerintah dan DPR. Saat (masih) menyoal keberadaan OJK yang dihubungkan dengan rekomendasi International Monetary Fund, yang dibidik pasti pembuat UU Nomor 21/2011 tentang OJK. Begitu juga saat menyebut Peraturan Pemerintah (PP) terkait badan hukum usaha bersama di industri perasuransian dan besaran pungutan OJK, Pemerintah yang menjadi sasaran.
Asuransi persoalan bersama
Dengan kritik yang disampaikan ke lembaga lain, tulisan itu seharusnya mampu menyimpulkan bahwa persoalan di industri perasuransian tak dapat diselesaikan sendiri oleh OJK. Sayangnya kesimpulan ini belum tercermin gamblang dalam keseluruhan artikel.
Hal positif dari tulisan itu adalah dorongan agar governance OJK lebih bagus. Kualitas governance (tata kelola organisasi) memang menjadi kunci suksesnya institusi. Sebagai institusi publik, OJK harus diawasi, bahkan harus dikritik agar kinerja sesuai harapan stakeholders.
Membaca keseluruhan artikel Irvan Rahardjo, setidaknya ada empat hal yang perlu dielaborasi. Publik perlu mendapat informasi yang lebih memadai agar mengetahui realita yang sebenarnya.
Pertama, saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ombudsman, dan DPR mengkritik kinerja OJK, itu harus dipahami bahwa lembaga-lembaga tersebut sedang menjalankan fungsinya. Bukan sesuatu yang ganjil. Mereka berwenang menilai OJK dari perspektif tugas dan wewenang yang menempel di lembaga tersebut.
BPK memiliki kewenangan memberikan opini atas laporan keuangan OJK. Ombudsman, dalam berbagai kesempatan, meminta penjelasan OJK terkait layanan kepada publik. Sementara itu, pengawasan yang dilakukan oleh DPR melalui Komisi XI juga terus berjalan.
OJK memang harus diawasi oleh ketiga lembaga tersebut. Wajar saja apabila ketiganya memberikan masukan/kritikan. Tidak ada yang perlu diherankan.
Kedua, mempertentangkan antara pungutan dan kemandirian OJK (sudah) tidak relevan lagi. Realitanya, kualitas pengawasan dan perlindungan konsumen oleh OJK tidak terpengaruh meskipun anggaran OJK dari pungutan industri jasa keuangan (IJK) yang diawasi. Menjadi naif bagi OJK apabila tidak mampu melindungi konsumen gara-gara anggarannya dari IJK.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam UU Nomor 21/2011 tentang OJK, disebutkan ada dua sumber anggaran OJK yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Independensi OJK tidak boleh tersandera karena pungutan.
Ketiga, OJK memiliki ukuran kinerja melalui indikator kinerja utama (IKU) atau key performance indicators. Program strategis OJK dan anggaran OJK diketok oleh DPR setiap tahun. Berdasarkan program strategis ini dan pengawasan secara umum, DPR dapat mengevaluasi kinerja OJK.
Dalam Pasal 38 UU Nomor 21/2011, OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan kepada DPR. Ada jadwal rutin evaluasi yang dilakukan oleh DPR sebagai bentuk pertanggungjawaban OJK kepada masyarakat.
Keempat, persoalan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJBB) perlu dinilai secara lebih proporsional. Masalah yang mendera AJBB telah muncul sebelum OJK berdiri. Peraturan berupa PP terkait badan hukum usaha bersama – yang dapat menjadi salah satu instrumen mengurai persoalan AJBB – tidak dalam domain OJK.
Masalah AJBB yang salah satunya dipicu tata kelola yang buruk, tentu tidak dapat ditimpakan tanggung jawabnya hanya kepada OJK. Ada tanggung jawab bersama karena, di area tertentu, OJK memiliki keterbatasan kewenangan. Tidak lupa, tentu saja perlu ada tanggung jawab (moral) dari pengurus dan mantan pengurus AJBB.
Saat ini, energi lebih baik dicurahkan untuk mendukung manajemen dalam mencari solusi terbaik AJBB, dari pada hanya mencari siapa yang bertanggung jawab. Kepentingan konsumen menjadi prioritas. Program strategis OJK dan anggaran OJK diketok oleh DPR setiap tahun. Berdasarkan program strategis ini dan pengawasan secara umum, DPR dapat mengevaluasi kinerja OJK.
Menjaga tata kelola OJK
Tugas edukasi OJK kepada publik belum selesai. Masih banyak yang menganggap OJK sebagai super body, memiliki segalanya untuk mengawasi seluruh IJK. Sebenarnya tidaklah demikian. OJK membutuhkan institusi lain dalam mendukung dan bekerja sama dalam berbagai bentuk.
Terhadap kritikan, kalangan internal OJK tidak perlu gerah. Tiap kritikan yang muncul adalah bentuk kepedulian pemangku kepentingan agar OJK berkinerja lebih baik dan tidak salah arah.
Tugas OJK dalam mengatur dan mengawasi IJK, serta memberikan perlindungan konsumen, dapat dipantau pantau penuh oleh publik. Saat ini media massa dan media sosial menjadi alat kontrol publik yang efektif untuk OJK.
Sebagai instutisi publik, OJK mengimplementasikan good public governance. Partisipasi publik menjadi salah satu pilar dalam menjalankan fungsi utama OJK. Dalam pembuatan peraturan untuk IJK misalnya, OJK aktif melibatkan pemangku kepentingan seperti asosiasi industri dan pihak lain yang terkait dengan peraturan.
Publik tidak hanya dilibatkan dalam pembuatan peraturan dan didengar aspiransinya melalui sarana formal dan infomal. Ada keterlibatan publik dalam mengawasi perilaku pimpinan dan pegawai OJK. Ada mekanisme whistleblowing system (WBS) yang serius ditegakkan untuk turut menjaga governance OJK. Untuk memastikan efektivitasnya, WBS dijalankan dengan menjamin kerahasiaan pelapor.
Pembenahan internal OJK terus dilakukan dalam bentuk continuous improvement. Sebagai tambahan informasi, patut disyukuri bahwa selama ini BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian pada laporan keuangan OJK.
Untuk menjaga agar OJK berjalan di jalur yang benar dari dimensi integritas, OJK mendapat asistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangkal fraud. Penguatan integritas menjadi modal utama agar OJK dipercaya publik. Capaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 100% dan dalam pengendalian gratifikasi hingga saat ini, telah mendapatkan apresiasi positif dari KPK.
OJK adalah lembaga negara. Publik dapat terlibat aktif mengawasi, baik secara langsung memberikan masukan atau melalui lembaga lain seperti DPR, Ombudsman, atau BPK. Publik dapat berkontribusi dalam memberikan masukan pendekatan pengaturan dan pengawasan IJK, serta dalam perlindungan konsumen yang dilakukan OJK.
Tanggung jawab besar dalam mengarahkan IJK yang sehat, terus tumbuh, dan kontributif, tidak mungkin dilaksanakan OJK sendiri. Sinergi OJK dengan para pemangku kepentingannya insya Allah akan memberikan kontribusi berarti untuk rakyat di seluruh negeri.
Semoga.
(Munawar ; Deputi Direktur di Otoritas Jasa Keuangan)