KEKERASAN SEKSUAL
Dilema Reformasi Hukum Kekerasan Seksual dan Perlindungan Korban
Bulan Agustus 2019 merupakan momen penting bagi para penggerak advokasi perubahan hukum pidana di Indonesia.
Ada dua agenda besar yang hendak didorong kelompok kepentingan berbeda untuk segera disahkan pada masa singkat persidangan di DPR per 16 Agustus 2019 sampai berakhirnya periode DPR 2015-2019 akhir September 2019.
Menariknya, kedua RUU ini sama-sama memuat materi pengaturan terkait kekerasan seksual. Hal inilah yang menimbulkan ketegangan: RUU mana yang seharusnya mengatur muatan kekerasan seksual? Pendukung RUU HP jelas berkeinginan agar muatan kekerasan seksual diatur dalam RUU HP, sebaliknya pengusung RUU AKS mendesak agar muatan kekerasan seksual menjadi kekhususan RUU AKS. Persoalan ini tak mudah dinegosiasikan karena ada turunan masalahnya: (1) perbedaan dalam materi atau jenis kekerasan seksual yang perlu diatur baik dalam RUU HP maupun RUU AKS; (2) implikasi yang berbeda dari bentuk aturan yang berbeda.
Kedua RUU yang diadvokasikan punya sejarah, dinamika proses pembentukan, dan tujuan berbeda. RUU Hukum Pidana (atau lebih dikenal dengan RUU KUHP) telah digagas di 1958, mulai diupayakan sejak 1963 dan disusun sejak 1981 dan sesudahnya memunculkan beberapa draf dengan pembahasan sangat panjang (draf RUU KUHP 1993, 2005, 2015, 2018) (Eddyono dkk, 2015).
Inisiator RUU ini para ahli hukum yang berbasis pada akademisi, disokong instansi penegak hukum dan pemerintah. RUU HP dimaksudkan untuk menata ulang secara mendasar sistem hukum pidana di Indonesia dengan mendekolonisasi KUHP sebagai peninggalan pemerintah kolonial.
RUU HP diharapkan mengharmonisasi dan mengadaptasi perkembangan hukum berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, nilai-nilai, norma yang hidup berkembang di dalam masyarakat hukum Indonesia dan global (BHPN-Naskah Akademik RUU KUHP, 2015).
Sementara, RUU AKS digagas secara serius sejak 2009, melalui proses penelitian panjang dan berefleksi pada kesulitan penanganan kekerasan seksual yang dialami korban dan para pendamping korban. RUU ini mulai disusun dan didesakkan oleh forum lembaga pendamping korban (Forum Pengada Layanan/FPL) dan lembaga HAM nasional (Komnas Perempuan) sejak 2012, kemudian menjadi RUU inisiatif DPR sejak 2017.
Perjalanan advokasi RUU AKS memang relatif lebih singkat dari RUU HP karena RUU AKS khusus merespons kasus kekerasan seksual ketimbang RUU HP yang berambisi mengatur semua kasus hukum pidana di Indonesia.
Secara khusus RUU AKS bertujuan mereformasi hukum pidana dalam pencegahan kekerasan, memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual melalui pidana dan tindakan tegas bagi pelaku, mengembangkan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban yang terutama adalah sebagai ejawantah kewajiban negara (DPR RI-Naskah Akademis RUU AKS, 2017).
Kekerasan seksual yang dikategorikan sebagai kejahatan di RUU HP adalah pemerkosaan, perbuatan cabul, dan pornografi. RUU HP juga mengindikasikan bentuk kejahatan lain yang ada hubungannya dengan eksploitasi seksual, tetapi tak mengatur eksploitasi seksual sebagai delik sendiri.
RUU HP juga mengatur bentuk kejahatan khusus sebagai tindak pidana HAM berat, yaitu persekusi, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan kemandulan, sterilisasi secara paksa, dan bentuk kekerasan seksual lain yang setara. Namun, esensi tindak pidana HAM berat ini punya suatu kekhususan, yaitu dinyatakan sebagai kejahatan jika terjadi dalam kondisi ada serangan meluas dan sistematis.
Bentuk KS dalam RUU HP diatur pada bab-bab berbeda. Pemerkosaan diatur dalam empat bab: bab tindak pidana umum, tindak pidana terhadap kemerdekaan orang, tindak pidana terhadap tubuh, dan tindak pidana HAM berat.
Percabulan diatur sebagai tindak pidana kemerdekaan orang dan tindak pidana terhadap tubuh. Pornografi anak diatur sebagai tindak pidana yang membahayakan umum. Pornografi (dewasa) diatur sebagai tindak pidana kesusilaan.
Pengaturan jenis kekerasan yang terpencar pada bab-bab berbeda mengindikasikan bahwa kekerasan itu tak dikonstruksikan sebagai kejahatan khusus, yaitu kekerasan seksual.
Berbeda dengan RUU HP, RUU KS mengatur sembilan jenis kekerasan: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Karena dirancang sebagai pengaturan khusus, setiap pembahasan jenis kekerasan dilakukan berurutan dan komprehensif satu jenis kekerasan hingga ke jenis lainnya.
Pengaturan sembilan jenis kekerasan ini disandarkan pada penelitian yang dilakukan Komnas Perempuan pada 2009-2012 dan pengalaman sebanyak 127 lembaga layanan untuk korban kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Sembilan bentuk kekerasan itu dianggap sangat krusial diatur mengingat kurang memadainya aturan pidana untuk memidana pelaku KS. Dengan demikian, pembentukan sembilan jenis kekerasan disandarkan pada kajian mendalam dan pengalaman riil pendamping korban kekerasan seksual.
Pengaturan jenis kekerasan ini juga berdasarkan kerangka HAM yang meletakkan KS sebagai kekerasan yang berbasis jender (DPR-Naskah Akademis, 2017). Konsep KS berbasis jender mengonstruksikan terjadinya KS akibat adanya norma- norma jender yang berkembang di masyarakat tentang bagaimana perempuan dan seksualitasnya dipersepsikan.
KS dalam kerangka ini juga menekankan kejadian kekerasan yang disebabkan adanya relasi kekuasaan yang tak seimbang. Sebagai kekerasan yang berbasis jender; kelompok dengan jender tertentu, yaitu perempuan pada umumnya, lebih rentan mengalami KS (Rekomendasi Umum 19 dan 35 CEDAW).
Jika dibandingkan RUU AKS, RUU HP hanya mengatur beberapa jenis KS yang bersifat kejahatan individual sementara lebih banyak dalam konteks kejahatan pelanggaran HAM berat dalam kondisi adanya serangan yang meluas dan sistematis. Sementara RUU AKS mengatur lebih komprehensif untuk kejahatan seksual yang bersifat individual. Yang tak diatur di RUU AKS adalah percabulan dan persekusi. Namun, RUU AKS mengatur pelecehan seksual, termasuk percabulan.
Selain itu, ada irisan kejahatan yang diatur dalam RUU HP dan RUU AKS, yaitu pemerkosaan. Dengan adanya irisan ini, pertanyaan yang muncul selanjutnya apakah pemerkosaan lebih baik diatur dalam RUU HP ataukah RUU AKS?
Pertanyaan ini kembali hendaknya dijawab dengan melihat terlebih dahulu apa implikasi pengaturan kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, dalam RUU HP dan RUU AKS.
Implikasi muatan kekerasan seksual
RUU HP merupakan sebuah hukum pidana materiil yang bersifat umum. Artinya, RUU HP hanya mengatur perbuatan apa yang dianggap sebagai perbuatan pidana dan jenis sanksi terhadap pelaku.
RUU HP tak mengatur tentang bagaimana proses penyidikan, penuntutan, sistem pembuktian, penanganan terhadap korban, perlindungan korban; yang disebut sebagai hukum formil (acara). Proses acara diatur pada hukum tersendiri, yaitu hukum acara pidana. Hukum acara itu akan bersifat umum pula karena RUU HP merupakan sebuah kejahatan yang bersifat umum.
Sebaliknya, RUU AKS dirancang sebagai hukum pidana yang bersifat khusus (lex specialis); pengaturannya tak hanya berisi pengaturan materiil, tapi juga formil. Dengan demikian, RUU AKS mengatur perbuatan yang dipidana dan jenis sanksi dan termasuk hukum acara yang khusus, mulai dari penanganan dan hak-hak korban, penanganan pelaku, pencegahan, pembuktian, dan persidangan.
Kekhawatiran para pendukung dan inisiator RUU AKS adalah jika kekerasan seksual termasuk pemerkosaan dimasukkan sebagai hukum pidana umum (delik umum), maka hukum acaranya juga bersifat umum. Padahal, salah satu titik masalah penanganan KS adalah proses beracara kasus KS yang disandarkan pada prosedur beracara umum yang pada saat ini bersandar pada KUHAP.
Komnas Perempuan (2019) mencatat tahun 2018 jumlah KS yang dilaporkan dan ditangani lembaga layanan sedikitnya berjumlah 5.509 kasus, terdiri dari KS di ranah KDRT/relasi personal 2.988 kasus dan 2.521 kasus di ranah komunitas/publik.
Tiga jenis kasus tertinggi adalah inses, perbuatan cabul, dan pemerkosaan. Pemerkosaan terhadap disabilitas juga jadi persoalan sendiri. Jumlah kasus yang dilaporkan dan ditangani ini terbilang sedikit dibandingkan data yang dilansir BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan di 2016 bahwa ada prevalensi sekitar 24 persen perempuan berusia 15-65 tahun pernah atau mengalami KS.
Persentase ini terbilang tinggi ketimbang 1,8 persen perempuan yang mengalami kekerasan fisik (KNPPA, 2017). Kasus yang terjadi sebagian besar tak dilaporkan. Kasus yang dilaporkan tak serta-merta ditangani dan berlanjut ke proses pengadilan karena alasan kurangnya alat bukti atau tak adanya saksi melihat kejadian atau kurangnya alat bukti, tidak adanya saksi dan keterangan saksi korban dianggap tidak cukup meyakinkan.
Belum lagi perspektif aparat penegak hukum yang cenderung bias jender dan menyalahkan korban (blaming the victim). KUHAP tak mengatur hak-hak korban, apalagi korban kekerasan seksual. Malah, dalam praktik yang terjadi, korban bisa jadi dikriminalkan sebagaimana kasus Baiq Nuril.
Revisi KUHAP baru akan dilakukan setelah RUU HP disahkan. Namun, revisi itu bisa dipastikan butuh waktu lama dan masih dengan karakternya sebagai hukum acara yang bersifat dan berlaku untuk kejahatan umum.
Kekhawatiran tim RUU HP, ada pengaturan delik yang sama pada dua UU yang tak sesuai dengan rencana kodifikasi dan konstruksi UU Pidana Indonesia di masa mendatang. Selain itu, beberapa jenis kekerasan seksual termasuk pemerkosaan dianggap kejahatan inti yang layaknya dimasukkan dalam RUU HP.
Ke depan, rekonstruksi hukum yang berkeadilan.
Ke depan, rekonstruksi hukum yang berkeadilan.
Melihat dua kepentingan di atas, perlu ada cara untuk menjembatani kedua RUU. Pengaturan hukum pidana memang perlu seimbang; tetapi keseimbangannya tak serta-merta pada kepentingan pelaku dan kepentingan umum, tapi juga memperhatikan kepentingan korban.
Pengaturan hukum pidana memang perlu dirangkai secara sistematis mengacu pada teori dan konsep pembentukannya, tetapi rekonstruksi hukum pidana selayaknya juga melihat situasi penegakan hukum pidana yang telah berjalan.
Dalam pembentukan hukum pidana terkait KS, pengalaman para korban dan lembaga pendamping korban juga layak diteoretisasi dan dijadikan sumber pembentukan pengetahuan baru dan khususnya pembentukan hukum pidana yang berkeadilan. Jangan sampai rekonstruksi hukum pidana menjauhkan hukum dengan kenyataan yang ada.
Oleh karena itu, pada diskusi konstruktif antara para ahli hukum pidana dan para pendamping korban masih perlu diintensifkan. Para ahli hukum pidana perlu lebih berinisiasi menjembatani antara teori dan praktik ketimbang menolak RUU AKS tanpa ada solusi.
(Sri Wiyanti Eddyono ; Dosen di Departemen Hukum Pidana; Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum; dan Ketua Pusat Kajian Law, Gender, and Society di Fakultas Hukum UGM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar