Pembahasan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air memasuki babak akhir. DPR bersama pemerintah sepakat untuk memasang target RUU itu harus bisa disahkan sebelum berakhirnya masa jabatan DPR RI periode 2014-2019 pada 1 Oktober.
Inikah akhir dari perdebatan panjang pasca-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tanggal 18 Februari 2015 yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat?
Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi itu, butuh waktu sekitar dua tahun bagi DPR sampai akhirnya pada pertengahan April 2018 memajukan draf RUU sebagai inisiatif DPR RI untuk dapat dibahas bersama pemerintah. Setelah
sempat jeda karena agenda pemilu yang panjang, rapat panitia kerja (panja) bersama pemerintah dimulai kembali pada 27 Mei 2019 yang kemudian dilanjutkan dengan Rapat Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) pada 15 Juli 2019.
Sempat tidak mendapatkan perhatian memadai dari publik secara luas, dengan tinggal tersisa sekali masa persidangan, RUU itu kini sedang dalam masa ”kejar tayang” di saat sejumlah anggota DPR RI periode 2014-2019 sudah hampir berakhir masa jabatannya.
Pelurusan pemahaman
Salah satu pasal yang sangat krusial sebagai pokok perdebatan DPR RI dan pemerintah adalah Pasal 51 yang mengatur Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
Rumusan awal dalam naskah RUU adalah bahwa ”Izin Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha dengan menggunakan air dan daya air yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan sehari-hari diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum” dengan memenuhi prinsip sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang.
Awalnya pemerintah setuju dengan rumusan itu. Namun, perkembangannya kemudian, pihak pemerintah justru berubah mengikuti putusan panja pada 8 Juli 2019. Rumusan yang diusulkan adalah dengan menghilangkan klausul ”…dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud pada Pasal 46”.
Hal itu berarti badan usaha swasta sama sekali dilarang melakukan pengelolaan SPAM. Yang diperbolehkan mengelola SPAM hanyalah BUMN, BUMD, BUMDes ”penyelenggara SPAM”. Polemik yang berkembang pada boleh-tidaknya pengelolaan SPAM oleh swasta muncul dari pemahaman yang rancu antara SPAM dan air minum dalam kemasan (AMDK). Perdebatan soal itu merupakan imbas ketakutan pemerintah dan sebagian anggota Panja RUU SDA bahwa produsen AMDK akan menguasai pengelolaan SPAM.
Yang perlu diluruskan terlebih dahulu adalah rumusan mengenai SPAM. Yang dimaksud SPAM adalah pemenuhan air bersih, sebagian besar berasal dari air permukaan, yang diproses melalui unit pengolahan air (water treatment plant), kemudian disalurkan dan dinikmati publik melalui jaringan pipa dengan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah.
Hal itu berbeda halnya dengan produk AMDK yang lebih merupakan industri atau lifestyle dan karena itu bukan merupakan bagian kewajiban negara. AMDK akan berkurang penggunaannya ketika SPAM sudah dipenuhi 100 persen oleh pemerintah.
Ke(tidak)mampuan negara
Yang pertama-tama harus sama-sama dipahami, RUU ini berangkat dari pemahaman bahwa atas dasar penguasaan negara terhadap sumber daya air, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah diberi tugas dan wewenang untuk ”mengatur dan mengelola” SDA, termasuk tugas untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat.
Penekanannya adalah bahwa air sebagai sumber vital bagi kehidupan rakyat harus diurus untuk memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat. Sudah semestinya negara memfasilitasi agar kebutuhan air untuk rakyat sebagai kebutuhan asasi dapat terpenuhi.
Realitas yang tidak bisa dimungkiri: negara belum mampu sepenuhnya memenuhi hak rakyat atas penyediaan air. Klausul seperti rumusan panja 8 Juli 2019 tentunya berisiko terhadap upaya penanganan persoalan menahun terkait pemenuhan hak atas air oleh masyarakat.
Harus disadari bahwa niatan awal RUU adalah keinginan besar untuk mewujudkan hak rakyat atas air sekaligus merupakan pengaturan atas permasalahan air dewasa ini. Kapasitas pemerintah berikut BUMN sampai BUMDes (terlebih dengan klausul khusus: penyelenggara SPAM) masih jauh dari harapan dan makin sulit menipiskan gap kesenjangan antara realitas dan target yang dicanangkan.
Pemerintah dikejar target karena komitmen dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2015-2019 termuat agenda nasional 100 persen Akses Universal Air Minum dan Sanitasi pada 2019. Beberapa sumber mengatakan bahwa 100 persen hak rakyat atas air harus tercapai pada 2022. Pada awal tahun ini, akses layanan air layak minum di Indonesia ditaksir baru mencapai 72 persen.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pernah melansir kebutuhan dana sebesar Rp 253,8 triliun untuk mewujudkan 100 persen akses air minum tersebut. Keinginan berbagi beban antara APBN dan non-APBN kemudian tecermin dengan pengembangan SPAM dengan skema Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha seperti di Umbulan, Bandar Lampung, Semarang Barat, ataupun Jatiluhur I. Praktis program seperti itu bakal terancam mandek jika rumusan panja pada 8 Juli yang bakal disahkan.
Pemerintah memiliki kewenangan untuk ”mengatur dan mengelola”. Pengaturan adalah hak eksklusif pemerintah sebagai representasi negara. Sementara pengelolaan semestinya membuka ruang bagi badan usaha swasta untuk tumbuh dan berkembang secara harmonis dengan BUMN, BUMD, ataupun BUMDes.
Hal itu sejalan dengan konsep administrasi modern di mana pemerintah lebih sebagai pengarah, steering rather than rowing. Terlebih amar putusan Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak melarang pihak swasta mengusahakan air.
Dengan menimbang paparan di atas, sebelum palu pengesahan diketuk, tentunya
materi RUU sekaligus harus mempertimbangkan seluruh aspek tersebut. Termasuk tentunya kemampuan pemerintah memenuhi kewajiban negara untuk menyediakan air bersih atau air minum untuk rakyatnya.
DPR RI periode 2014-2019 bersama pemerintah mempunyai andil untuk mengakhiri polemik ini dan meninggalkan warisan penting untuk pemenuhan kebutuhan asasi rakyat Indonesia.
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen dari PH&H Public Policy Interest Group