Jokowi akan memulai perjalanan di periode keduanya. Meski menyatakan tak lagi punya beban, kenyataannya politiknya sungguh berbeda.
Kompleksitas yang dihadapi bukan tak mungkin akan bertambah banyak dibanding periode sebelumnya. Indikasi awal sudah terlihat dalam proses pembentukan kabinet. Mengemuka wacana masuknya parpol pendukung Prabowo-Sandi sebagai bagian dari kabinet yang akan dibentuk.
Dari pengalaman Pilpres 2004-2014, kebiasaan parpol “pindah kamar” bukan sesuatu yang baru. Golkar, PAN, PKB, misalnya, ‘pindah kamar’ menjadi bagian Kabinet Bersatu I Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004. Di 2009 dan 2014, Golkar juga melakukan hal sama meski pada Pemilu 2014 dilakukan di tengah periode (bersama PAN).
Kali ini kemungkinan adanya parpol ‘pindah kamar’ lebih dapat sorotan dan polemik, paling tidak karena dua hal. Pertama, lebih dari sebelumnya, Pilpres 2019 lebih emosional dan (paling) terpolarisasi. Bagi sebagian pemilih dari kedua pasangan, perilaku “pindah kamar” dianggap pengkhianatan.
Kedua, fenomena “pindah kamar” dilihat sebagai kegagalan lain pelaksanaan pemilu serentak. Pasalnya, dalam keputusan No 14/PUU-XI/2013, MK mengandaikan pemilu serentak jadi jalan bagi terbentuknya koalisi permanen, negosiasi yang bersifat strategis dan jangka panjang dan presiden yang tak tergantung pada DPR.
Pembubaran Koalisi Indonesia Maju/KIM (mengusung Jokowi-Amin) dan Koalisi Indonesia Adil-Makmur/KIAM (mengusung Prabowo-Sandi) secara telak membubarkan harapan MK. Pembubaran ini oleh sebagian pihak juga dijadikan pembenaran untuk dilakukannya ‘kocok-ulang’ atau setidaknya menandai kemungkinan adanya lagi parpol yang ‘pindah kamar’ sebagaimana terjadi pada periode-periode sebelumnya.
Namun, tanpa ada penambahan partai pengusungpun, Jokowi hampir tak mungkin menggunakan hak prerogratifnya secara utuh dalam membentuk kabinet. Ia tetap harus negosiasi dan tawar-menawar. Ini tak terelakkan dalam sistem presidensial banyak partai.
Pilihan strategi unilateral (mengedepankan hak prerogratif) dalam membentuk kabinet hanya mungkin dilakukan jika pesiden punya cara lain secara konstitusional untuk meloloskan berbagai aturan di legislatif atau mampu memveto UU yang dibuat legislatif (Amorin Neto, 2006).
Dilema Presiden
Dalam hal ini, Jokowi berada dalam situasi dilematis. Di satu pihak, kekuatan parpol pengusungnya (KIM) di legislatif saat ini sudah mayoritas (60,7 persen). Tapi, ini hanya sedikit di atas apa yang disebut Raile dkk (2009) minimal winning coalition. Secara matematika, Jokowi punya ‘ketergantungan’ pada parpol menengah seperti Nasdem (10,3 persen), PKB (10,1 persen) atau bahkan Golkar (14,8 persen), alih-alih partai kecil seperti PPP (3,3 persen).
Pergeseran sikap satu dari tiga partai itu dengan mudah menyeret posisi pemerintah dalam posisi kritis di legislatif. Terlebih harus diingat, disiplin anggota partai di legislatif juga rendah. Ini untuk sebagian ada kaitan dengan adanya faksionalisasi di tiap partai meski derajatnya berbeda-beda.
Di lain pihak, menambah jumlah anggota koalisi partai pendukung dalam kabinet juga tak memberi jaminan adanya konsistensi dukungan di DPR. Asumsi adanya partai pemerintah yang diikuti adanya disiplin partai dan disiplin anggota partai di legislatif hanya berlaku di sistem parlementer.
Sebagaimana disebut Cheibub dkk (2004), sangat keliru berasumsi koalisi di kabinet berarti juga berkoalisi di DPR. Situasi itu sudah pernah dialami SBY pada periode keduanya. Meski membentuk koalisi gemuk, pemerintahannya justru sering diganjal anggota koalisinya sendiri di DPR.
Sementara jaminan konsistensi dukungan di DPR masih diragukan, penambahan jumlah anggota koalisi niscaya meningkatkan biaya memerintah. Biaya ini terdiri atas komoditas koalisi (kursi menteri dan anggaran di kementerian) dan alokasi dana untuk pork barrel.
Menurut Periera dkk (2006), biaya memerintah ini akan kian tinggi manakala pertama, jumlah anggota koalisi kian banyak. Kedua, rentang ideologi antarparpol pengusung kian lebar. Ketiga, tatkala distribusi kursi menterinya semakin tak proporsional dengan kekuatan parpol tersebut di legislatif.
Dalam kasus Jokowi, dua faktor pertama sudah terpenuhi. Jumlah partai koalisinya saat ini sudah cukup banyak, lima di DPR dan lima lagi yang non-kursi DPR. Rentang ideologinya juga lebar dari yang nasionalis (PDI-P, Nasdem, Golkar, PSI, Perindo, PKPI, Hanura), berbasis Islam (PKB, PPP, PBB).
Faktor ketiga juga terpenuhi jika terjadi penambahan partai pendukung baru di kabinet. Hal ini otomatis akan membuat alokasi buat partai di KIM berkurang, setidaknya tak lagi sebagaimana diekspektasi sebelumnya. Kesenjangan ekspektasi ini tentu saja butuh kompensasi lain.
Dan, sungguhpun berbagai faktor di atas dapat diantisipasi, kemungkinan ketaksolidan di kabinet maupun legislatif tetap terbuka. Sebagai petahana, Jokowi tak lagi punya periode berikutnya sebagai pemikat dan pengikat parpol pendukung. Ini terkait tarikan Pemilu 2024.
Sebagaimana dikatakan Altman (2000), potensi kabinet koalisi pecah kongsi dapat terjadi karena mendekatnya waktu pemilu, selain juga faktor keragaman ideologi dan perasaan diperlakukan tak adil. Dalam kasus Indonesia, dorongan melakukan kampanye dini justru kian kuat. Jeda di antara dua pemilu kian dimaknai sebagai ruang kampanye yang lain alias berlangsungnya kampanye permanen.
Meski jadi bagian dari partai yang memerintah, parpol selalu merasa efek elektoralnya tak cukup berarti meski pemerintah dapat dikatakan berhasil menuaikan janji-janji kampanyenya. Karena itu, mereka merasa perlu berancang-ancang sejak dini.
Ada kebutuhan memperbaiki perolehan elektoralnya dan sekaligus memperkuat asosiasi dengan capres yang potensial memenangi pilpres berikutnya. Atau bahkan menyiapkan kadernya sendiri untuk jadi presiden/wakil presiden berikutnya.
Tarikan ini mengharuskan parpol memperbaharui diri, termasuk mengelola ulang pemosisian politiknya. Hal ini sedikit banyak berpotensi membuat parpol pengusung Jokowi akan lebih sering berbeda sikap dengan pemerintah dalam sejumlah isu/kebijakan di DPR, tergantung pemosisian dan juga penilaiannya terhadap kepentingan konstituen tradisionalnya.
PKB, misalnya, niscaya akan siap bersimpangan jalan ketika kebijakan pemerintah mereka nilai merugikan kepentingan (ekonomi) warga nadhliyin. Ini pernah terjadi dalam polemik penggunaan cantrang, misalnya.
Terkait penambahan anggota koalisi dan tarikan 2024, faktor figur menteri juga bisa jadi sumber masalah lain. Dalam konteks politik simbolik (kehadiran menteri dari kalangan muda) atau sebagai bagian negosiasi dukungan, Jokowi bukan tak mungkin merekrut figur menteri yang (merasa) punya prospek jadi capres atau minimal cawapres di 2024.
Kehadiran figur seperti ini bukan tanpa potensi masalah. Skenario terbaiknya, para menteri yang punya prospek di 2024 ini akan tancap gas unjuk kinerja sebagai modal awal kampanye. Mereka akan jadi ikon baru dan meningkatkan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan.
Skenario terburuknya, menteri tipe ini akan memanfaatkan sumber daya kementeriaan guna menjalankan agenda mereka sendiri. Termasuk menyiapkan strategi keluar dengan memosisikan diri sebagai orang ‘lurus’ atau ‘terzalimi’, tergantung pemosisian politik yang ingin dibangun.
Manajemen koalisi
Dihadapkan pada situasi pelik seperti ini, Jokowi bukan tanpa jalan keluar. Kuncinya, kemampuan kelola koalisi maupun oposisi. Ia perlu mengaktivasi perangkat eksekutif yang dimilikinya secara tepat. Chaisty dkk (2012) mengelompokkan perangkat eksekutif itu dalam lima klaster: kekuasaan agenda politik (kekuasaan legislatif yang diberikan kepada presiden/dekrit), otoritas anggaran (kontrol atas belanja publik), manajemen kabinet (pendistribusian kursi menteri), kekuasaan partisan (pengaruh presiden terhadap satu atau lebih partai koalisi), institusi informal (kategori lain yang sesuai konteks tiap negara).
Perangkat eksekutif ini sumber daya koalisi yang dapat dipertukarkan kepada partai yang memerintah maupun oposisi. Manuver parpol pengusung (KIM) maupun kompetitor (KIAM) juga berkenaan dengan ketersediaan sumber daya koalisi ini. Manuver yang dikomunikasikan ke publik belum tentu merupakan target yang sebenarnya dikehendaki.
Pada titik ini, manajemen koalisi sudah selayaknya tak berhenti dan dimaknai sebatas transfer politik (terutama bagi-bagi kursi menteri). Sebagai presiden, Jokowi punya opsi perangkat eksekutif lain yang bisa dipertukarkan sebagai ganti dukungan kebijakan atau meloloskan aturan di legislatif.
Pertama, manajemen koalisi bersifat harian dan bukan proses sekali jadi. Kursi menteri adalah investasi sekali waktu. Menghadapi dinamika politik dari hari ke hari, Jokowi bisa memainkan perangkat eksekutif lain seperti anggaran kementerian, posisi jabatan publik lain (kepala badan atau jabatan publik lain), dukungan politik (dalam konteks pilkada) dan melakukan konsesi politik.
Jika dirasa kabinet mulai ‘lesu darah’ atau harus atasi guncangan dari luar, Jokowi dapat memainkan kartu reshuffle. Patut dipertimbangkan untuk percepat pembentukan kabinet baru lewat reshuffle. Pembentukan kabinet dini setidaknya punya dua keuntungan: a) akselerasi kerja bisa langsung dilakukan tanpa harus menunggu pelantikan Oktober, b) reshuffle dibutuhkan untuk mengatasi situasi kelumpuhan birokrasi atau perlawanan pihak lain karena adanya persepsi menteri di kementerian itu tak akan kembali dipilih.
Kedua, transfer perangkat eksekutif bukanlah tujuan akhir berkoalisi. Ini hanya sarana untuk menciptakan pemerintahan efektif guna memenuhi janji-janji kampanyenya. Dalam hal ini, Jokowi juga bisa memainkan kartu co-extensive, yakni koalisi bersama oposisi di legislatif ketika ada anggota koalisi di kabinet yang justru mengambil posisi berseberangan dengan sikap pemerintah (Cheibub dkk, 2004).
Dengan adanya kartu ini, Jokowi bisa punya daya tawar tinggi untuk mendorong konsistensi dukungan parpol koalisinya di kabinet. Partai oposisi yang memainkan kartu ini juga diuntungkan karena bisa menangguk asosiasi terhadap regulasi atau kebijakan tertentu. Dengan kampanye yang tepat, asosiasi yang terbentuk akan memperkuat kredibilitas partai oposisi tersebut sebagai partai yang dapat diandalkan jika kelak menjadi partai yang memerintah.
Ketiga, untuk mempertahankan konsistensi dukungan dari partai koalisinya di kabinet, Jokowi juga bisa memainkan kartu legacy-nya. Dalam artian ini, efek positif keberhasilan atau kegagalan pembangunan perlu ditransfer ke individu menteri dan juga parpol, tak semuanya terakumulasi pada sosok presiden.
Contoh terbaik meski tak sepenuhnya sempurna adalah kiprah Susi Pudjiastuti dalam memerangi pencurian ikan (illegal fishing). Jika menteri dan atau parpol dapat memanfaatkan program pemerintah untuk membangun issue ownership atau menjungkit reputasinya, legacy Jokowi bukan sekadar program, tapi juga gaya kepemimpinan yang bersifat terbuka dan mendorong orang lain berkembang bersama (enable leader).

Melampaui negosiasi
Pengelolaan koalisi seperti diurai di atas merupakan situasi normal dalam konteks sistem presidensial banyak partai yang bertumpu pada kemampuan negosiasi dan tawar-menawar. Pokok terpentingnya, Jokowi maupun partai tak melakukannya sekadar untuk bagi-bagi kekuasaan dan atau melampaui ‘batas kelelahan’ rata-rata masyarakat terhadap sejak terjang para elite politik.
Karena itu, Jokowi perlu ‘setia’ setidaknya pada sejumlah agenda politik publik. Dalam hal ini, Jokowi tak menjadikannya alat pertukaran dengan partai atau kelompok kepentingan lain. Agenda kebijakan politik publik itu sekurangnya meliputi dua: kebebasan dan kedaulatan serta perlawanan pada korupsi.
Yang pertama berkaitan dengan unjuk kebijakan dan sikap politik yang memastikan pemerintahannya akan terus melindungi kebebasan berekspresi, tak menggunakan cara top-down untuk gusur masyarakat dari lahannya atas nama kelancaran investasi atau pembangunan.
Yang kedua, pemerintah perlu unjuk sikap memastikan akan memerangi setiap upaya terorganisasi untuk membonsai KPK dan memperkuat pengawasan secara institusional baik itu meliputi organ pengawasan internal di birokrasi ataupun memfasilitasi komisi negara seperti KPK, Ombudsman, KPPU, KIP, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan juga Komnas HAM, dan lain-lain.
Tanpa unjuk komitmen terhadap nilai-nilai kehidupan yang demokratis dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional, proses negosiasi dan tawar-menawar untuk mewujudkan pemerintahan efektif justru tetap akan berakhir pada kegagalan. Sebab, di satu pihak, sentimen publik akan merosot dan bahkan berlanjut pada aksi-aksi perlawanan, dari mulai sekadar membuat petisi, menggelar aksi massa hingga pembangkangan sosial.
Di lain pihak, partai pendukung juga akan bersiasat agar tak terkena sentimen negatif yang dapat merusak elektabilitasnya di 2024. Bahkan, terbuka kemungkinan mereka berselancar dari keriuhan politik agar dapat lebih banyak lagi sumber daya koalisi. Dan, pada gilirannya ini akan menambah beban pemerintahan.
Pilihan yang tersedia tak banyak dan tak mudah, tapi peluang mendulang keberhasilan selalu terbuka. Dimulai dengan pilih figur menteri yang tak berpotensi jadi duri dalam daging di internal kabinet dan atau terkesan melecehkan rasionalitas dan etika publik!
(Yunarto Wijaya ; Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia)