Politik tidak bisa menunggu. Dengan atau tanpa kita, ia terus bergerak mengambil keputusan terkait hidup sehari-hari. Ironisnya, pada saat politik semakin terbuka, anak-anak muda justru meninggalkan gelanggang. Masalahnya politik akan terus bekerja dengan atau tanpa kehadiran kita, kaum muda.
Kepada siapa subsidi pendidikan mengalir, kenaikan harga transportasi berbasis aplikasi (online), sensor tentang apa yang boleh dan tidak boleh kita baca atau tonton diputuskan setiap hari melalui instrumen politik. Politik membentuk dunia kita hari ini dan masa depan.
Bagi kaum muda tersedia dua pilihan: membiarkan orang lain yang membentuk masa depan—atau ikut aktif terlibat menentukan masa depan seperti apa yang diinginkan. Tulisan ini adalah seruan bagi generasi muda untuk kembali merebut politik dari tangan kekuatan yang ingin mengembalikan politik ke era lama dan kelompok sektarian populis yang ingin membangun politik yang didasarkan kepada perkauman, sebuah bentuk politik yang sempit.
Ancaman dua arah
Ada dua ancaman terbesar bagi masa depan anak muda Indonesia. Yang pertama datang dari ”Unholly Alliance” antara kelompok-kelompok radikal agama, yang berkawin kepentingan dengan para politisi populis yang berpura-pura mewakili kepentingan rakyat.
Kelompok ini menyasar kaum muda dengan menggunakan bahasa kesenjangan dan ketidakadilan yang lebih punya daya persuasi di kalangan anak muda. Mereka bicara soal pengangguran, kemiskinan, dan ketidakadilan, sebuah tema yang lebih mudah diterima secara luas dan menyembunyikan sikap rasis di balik bahasa isyarat yang makna kebenciannya jelas bagi para audiens mereka yang mengerti, sekaligus menjangkau publik luas karena menyentuh perasaan yang lebih universal.
Kelompok ini tidak secara langsung bicara soal isu pribumi versus nonpribumi, tetapi misalnya menyindir soal besi dari China versus bambu petani lokal. Membangkitkan sentimen rasisme secara tersamar yang dipahami oleh kelompok mereka, tetapi pada saat bersamaan seolah-olah bicara membela kepentingan ”nasional”, membantu memberdayakan kaum pribumi yang termarjinalisasi oleh serbuan produk luar.
Taktik seperti ini efektif menjangkau kaum muda yang merasa selama ini suaranya tidak didengar, yang merasa ditinggalkan, dan terancam oleh serbuan asing.
Februari 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sekitar 3,3 juta pengangguran berusia antara 15 dan 24 tahun. Dari angka ini, 63 persen di antaranya ada di perkotaan. Belum ditambah dengan yang setengah menganggur bekerja paruh waktu sekitar 2,4 juta orang.
Mereka generasi yang hilang, yang merasa ditinggalkan dan dilupakan, ini adalah target utama yang disasar kaum radikal populis dengan cara memobilisasi isu sektarian yang dibungkus persoalan kesenjangan dan ketidakadilan.
Ancaman kedua datang dari elite politik lama yang berusaha mengubah arah jarum jam sejarah. Mengembalikan politik ke era otoritarianisme. Belakangan mulai muncul suara menginginkan diberlakukannya amendemen atas Undang-Undang Dasar. Sejumlah politisi dari elite lama menginginkan presiden dipilih kembali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru.
Ini adalah pengkhianatan besar atas perjuangan Gerakan Reformasi yang dipelopori anak-anak muda, yang telah melahirkan konstitusi yang memberikan landasan bagi kebebasan berpendapat, penghormatan pada hak asasi manusia, dan pembatasan kekuasaan.
Kita tak boleh lupa bahwa konstitusi ini telah memberikan landasan bagi demokrasi. Memungkinkan presiden dipilih lewat sistem pemilihan langsung, dan berhasil melahirkan Joko Widodo, orang biasa yang berhasil menembus politik yang selama ini hanya dikuasai segelintir elite.
Itulah makna terbesar demokrasi, membuka ruang seluas-luasnya bagi siapa pun, apa pun latar belakangnya, untuk bisa menempati posisi apa pun, termasuk yang tertinggi di republik ini, asal dia bisa membuktikan kerja nyata dan didukung oleh rakyat. Kini nilai-nilai itu coba dimatikan lewat kehendak mengembalikan pemilihan presiden kepada MPR.
Dua arah ancaman itu bermuara pada satu hal: politik tertutup, politik otoritarianisme. Jika elite politik lama menang, kita akan kembali ke era Orde Baru, di mana seluruh aspek kehidupan dikontrol oleh elite politik yang mempunyai kekuasaan tanpa batas, yang membuat negeri ini pada tahun 1998 nyaris bangkrut dan hingga kini menyisakan persoalan korupsi yang akut.
Jika kelompok sektarian populis menang, maka kita akan mengalami abad kegelapan, di mana agama dan suku akan menjadi sumber kebencian dan pertikaian tak ada habis-habisnya.
Sejarah dunia membuktikan bahwa tidak ada masa depan di tanah yang politik sektarianismenya tumbuh subur. Irak, Suriah, dan Afghanistan adalah contoh bagaimana jutaan anak-anak muda kehilangan harapan karena tidak punya pekerjaan, kemiskinan di mana-mana, dan konflik ras dan agama menjadi sebuah involusi tanpa akhir.
Kembali ke politik pencerahan
Berkah terbesar bangsa kita hari ini adalah kebebasan dan kemajuan ekonomi. Di tengah gejala kemunduran demokrasi di seluruh penjuru dunia, Indonesia relatif masih mempunyai pemilu yang demokratis, kebebasan pers, dan relatif ruang kebebasan berekspresi, sambil pada saat bersamaan ekonomi tumbuh stabil.
Di tengah arus ketidakpercayaan terhadap demokrasi—sebagaimana terungkap dari berbagai penelitian di berbagai negara dunia—Indonesia justru memperlihatkan sebuah contoh bagaimana kebebasan pada akhirnya mendorong kemajuan dan kesejahteraan. Aplikasi Go-Jek tak akan pernah lahir dari masyarakat yang tertutup, dan orang seperti Nadiem Makarim dan inovasinya adalah anak kandung yang lahir dari rahim kebebasan.
Jika Indonesia ada di bawah rezim sektarian populis, tak akan pernah lahir Rich Brian yang awalnya dikenal lewat Youtube, tetapi belakangan menjadi ”ambasador hip hop” Indonesia di dunia. Tak akan pernah ada Joey Alexander jika politik dikuasai oleh orang-orang yang terobsesi mengekang kebebasan berekspresi. Prodigy jazz seperti Joey hanya akan berkembang dan dihargai dalam masyarakat yang memahami arti kebebasan.
Nadiem, Brian, dan Joey mengembalikan keyakinan kita bahwa syarat dasar kemajuan adalah kebebasan. Kepercayaan bahwa manusia justru akan bisa secara maksimal mengembangkan kemampuan terbaiknya ketika diberi kepercayaan dan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya, ide-idenya.
Politik pencerahan seperti inilah yang menjadi cita-cita para pendiri republik.
Keinginan untuk merdeka, agar setiap orang bebas mengutarakan pikirannya, mengembangkan dirinya secara maksimal, yang pada akhirnya akan mendorong negeri ini menjadi negara yang modern dan terbuka, tidak takut berdialog dan percaya diri bergaul dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sebuah sikap percaya diri, ekspresi kebangsaan yang meminjam istilah Bung Karno ”… akan semakin hidup subur dalam taman sari internasionalisme”.
Dasar dari politik pencerahan adalah kemanusiaan. Penghormatan terhadap setiap manusia. Tidak boleh ada yang dibeda-bedakan karena suku dan agama, tak ada yang merasa ditinggalkan dalam proses kemajuan.
Dalam politik pencerahan, tujuan akhir dari seluruh kebijakan politik bukan untuk membatasi atau mengekang, tapi sebaliknya memperluas batas-batas kebebasan agar warga negara bisa mengembangkan kemampuan diri secara maksimal. Suasana seperti ini akan terjamin jika kita tetap punya politik yang demokratis dengan kebijakan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
Otoritarisnisme Orde Baru terbukti hanya membuat kita menjadi negara medioker yang korup. Sektarianisme di berbagai belahan dunia terbukti hanya membawa kehancuran bagi masa depan. Tak ada pilihan lain, dengan apa yang kita telah capai sejauh ini, demokrasi adalah satu-satunya jalan yang harus dipertahankan.
Jalan politik
Munculnya generasi politik baru sebetulnya telah membuka wawasan baru bagi generasi muda. Sosok Joko Widodo, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Emil Dardak, Nurdin Abdullah telah mengubah cara pandang terhadap politik. Mereka memulihkan kepercayaan bahwa politik tidak selamanya kotor, bahwa lewat kekuasaan politik mereka bisa menentukan masa depan ke arah yang lebih baik. Bahwa kekuasaan bisa membawa manfaat bagi orang banyak.
Munculnya generasi baru kepemimpinan nasional dan daerah ini sayangnya tidak diimbangi di parlemen. Lima tahun ke depan kita tidak akan melihat ada kekuatan baru politik yang terwakili di parlemen nasional. Menurut data Formappi sekitar 53 persen anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terpilih 2019-2024 adalah petahana (incumbent). Harian Kompas beberapa waktu lalu memaparkan fakta turunnya representasi kaum muda dalam politik secara signifikan.
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas menyebut jumlah Anggota DPR terpilih yang berusia di bawah 40 tahun hanya 72 orang, turun dari 92 orang dibandingkan dengan periode sebelumnya. Lebih jauh disebutkan bahwa 50 persen di antara yang terpilih diduga karena bagian dari politik kekerabatan. Lebih jauh lagi, lima tahun ke depan tidak ada representasi kekuatan politik baru di parlemen pusat.
Fakta-fakta itu mengisyaratkan satu hal: kita tidak akan melihat perubahan politik yang signifikan di Senayan, setidaknya dalam lima tahun ke depan. ”It Takes two to Tango”, presiden atau kepala daerah reformis tidak bisa sendirian, perlu dua pihak yakni eksekutif dan parlemen—jika kita ingin mempercepat kemajuan. Kita sudah punya generasi baru pemimpin politik, tapi relatif tidak ada perubahan di DPR—partai politik—untuk mendukung para pemimpin reformis.
Politik Indonesia memerlukan kehadiran pemain baru yang bisa mendorong perubahan. Kehadiran pemain baru, biasanya selalu akan membawa perubahan positif. Dalam dunia bisnis, olahraga (sports), dan bidang-bidang kehidupan lain, kehadiran pemain baru biasanya akan memperbaiki mutu kompetisi. Mendorong pemain lama berbenah memperbaiki diri, menciptakan situasi di mana semua pihak berlomba dalam inovasi.
Kemunculan anak-anak muda dalam perpolitikan Indonesia—adalah sebuah keniscayaan jika kita ingin memperbaiki mutu persaingan politik. Mereka akan menjadi kekuatan ”disruptif” yang memaksa kekuatan-kekuatan politik lama yang selama ini ada di ”zona nyaman” (comfort zone) untuk berubah.
Langkah ke arah itu harus dimulai dari kesadaran bahwa kita—kaum muda—harus melibatkan diri dalam percakapan politik nasional, untuk memastikan suara kita didengar. Agar arah kebijakan politik sesuai dengan harapan kita, kaum muda.
(Andy Budiman ; Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia)