Jauh sebelum terjadi kerusuhan, pada 31 Juli-3 Agustus lalu di Jayapura, Papua, diselenggarakan Internasional AIDS Conference (JIAC). Meski sepi dari publikasi, merupakan program penting untuk masa depan penanggulangan HIV di Indonesia. Dengan tema “Together to Fight HIV towards 3 Zeros” dan subtema “Gerakan Berani Tes HIV di Kota Jayapura”, JIAC mengajak masyarakat bersama mengatasi HIV sekaligus berani deteksi, mulai dari diri sendiri.
Sekadar mengingatkan “3 Zero” yang dimaksud berkaitan dengan strategi Fast Track: End AIDS by 2030 yang diinisiasi oleh UNAIDS dan direspons oleh negara-negara terdampak AIDS termasuk Indonesia. Fast Track, atau Jalur Cepat dalam bahasa Indonesia, memiliki tiga target besar yang disebut 3 Zeros: (1) Zero new HIV infection, (2) Zero AIDS related-death, dan (3) Zero discrimination.
Di Indonesia, pendekatan Jalur Cepat ini sudah diratifikasi oleh pemerintah. Melalui strategi Jalur Cepat TOP (Temukan – Obati – Pertahankan) ini pemerintah berupaya mempercepat respons HIV- AIDS untuk mencapai target 3 Zeros tersebut 2027.
Strategi TOP
Strategi Jalur Cepat TOP mendesak dilakukan karena diperkirakan ada 650.000 ODHA di Indonesia, sementara yang diidentifikasi baru 300.000 dan yang menjalani terapi ARV baru 115.000. Padahal, obat ARV terbukti signifikan menekan angka kematian, angka sakit dan mencegah penularan HIV.
Jika target 90 persen TOP tercapai, pada 2030 infeksi baru HIV bisa dieliminasi, tidak ada lagi kematian yang berkaitan dengan AIDS, dan tidak ada lagi diskriminasi terhadap ODHA. Pada saat yang sama kualitas hidup ODHA akan meningkat dan dampak sosial-ekonomi berkurang drastis.
Dalam kerangka Jalur Cepat TOP, JIAC 2019 mendapat sambutan positif semua pemangku kepentingan. Apalagi, selama ini diketahui bahwa Papua dan Papua Barat paling parah terdampak HIV dan AIDS.
Rata-rata kasus AIDS per 100.000 penduduk adalah 623,58 untuk Papua, dan 176,32 untuk Papua Barat. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka nasional 115,601. Kedua provinsi ini bahkan “mengalahkan” Bali, Kalimantan Barat, DKI Jakarta dan Kepulauan Riau yang juga paling banyak terdampak epidemi AIDS.
Sejak kasus AIDS pertama kali ditemukan di Merauke, Papua, 1992, jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS di Provinsi Papua sudah mencapai 38.874 kasus per 31 September 2018. Terdiri dari 14.581 kasus HIV, 24.294 masuk tahap AIDS, dan 2.299 orang meninggal.
Masalah berat lain adalah makin maraknya narkoba. Masalah narkoba makin serius di Kota  Jayapura, Kabupaten Jayapura, Mimika, Keerom dan Merauke. Kita  tahu bahwa pemakaian narkoba berhubungan erat dengan penularan HIV.
Karakteristik penting dari AIDS Papua adalah sifat epidemi yang general, tidak lagi terbatas pada populasi kunci. Karena alasan ini, Dirjen P2P Kemenkes mengeluarkan Surat Edaran HK.02.02/I/1564/2018  tentang Penatalaksanaan ODHA untuk Eliminasi HIV AIDS tahun 2030, bahwa pemeriksaan HIV khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat dilakukan pada semua pasien yang datang ke layanan kesehatan.
Selain mempromosikan upaya dan inovasi Pemkot Jayapura, Pemprov Papua, dan Papua Barat dalam penanggulangan HIV/AIDS, JIAC 2019 juga bertujuan menganalisa perubahan sosio-kultural di Papua termasuk dinamika pelintas batas dari Papua Nugini.
Keteladanan
Sudah terbukti di berbagai negara seperti China, Malaysia, Afrika Selatan dan Botswana, kepemimpinan adalah faktor kunci untuk keberhasilan penanganan HIV. Karena itu, saya memuji Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano, Kepala Dinkes Jayapura Ni Nyoman Sri Antari yang berani memberi contoh tes HIV demi mencapai target Jalur Cepat TOP.
Data ODHA Kota Jayapura sampai Juli 2019 adalah 6.531 orang. Tahun 2018 ditemukan 500 lebih penderita HIV dan AIDS. Semoga yang dilakukan oleh Wali Kota Jayapura diikuti oleh para pemimpin kabupaten dan kota di provinsi Papua dan Papua Barat, selain membangun kewaspadaan dan pemahaman tentang HIV/AIDS.
Ajakan tes HIV disertai contoh nyata pemimpin negara, terbukti berhasil menekan masalah HIV/AIDS di Afrika Selatan dan Botswana. Maka saya optimis hal yang sama bisa terjadi di Papua.
Keteladanan lain yang patut ditiru adalah kesepakatan seluruh peserta kongres bahwa ARV adalah obat ampuh untuk mengobati HIV/AIDS sedangkan herbal dan tawaran pengobatan lain seperti stem cell sama sekali tidak terbukti. ODHA jangan berhenti minum ARV.
Tindak lanjut
Test HIV oleh pejabat tertinggi di daerah sudah pasti adalah langkah strategis pertama yang sangat penting. Lalu apa lagi? Berikut beberapa hal yang penting dilakukan.
Pertama, tes untuk semua penduduk yang terintegrasi dengan layanan di fasilitas-fasilitas kesehatan mulai dari tingkat awal. Tentu saja tes HIV harus terkait dengan konseling pasca tes, mengingat risiko diskriminasi dan stigma masih cukup besar saat ini. Paradigma dan mekanisme konseling perlu diperbaiki untuk mengurangi kesenjangan antara penemuan kasus dengan pengobatan.
Kita tahu, obat antiretroviral (ARV) selain memperpanjang harapan hidup juga memperbaiki kualitas odha, mencegah penularan, sehingga amat penting bagi eliminasi epidemi HIV. Jadi, konseling tes HIV sebelum tes tidak diperlukan, intensifkan konseling pasca-tes untuk yang HIV positif agar segera minum ARV dan tidak putus.
Kedua, terkait pengobatan dengan ARV, jika dulu kriteria memulainya adalah dengan melihat kadar CD4 dalam darah, maka untuk strategi Jalur Cepat TOP ini paradigmanya adalah begitu terdiagnosis positif HIV ODHA dinyatakan memenuhi syarat untuk memulai ARV. Kadar CD4 dalam darah tidak lagi menjadi tolok ukur. Selain itu terapi ARV bisa dimulai tanpa menunggu hasil laboratorium lengkap. Dengan begitu semakin banyak ODHA di wilayah dengan fasilitas pemeriksaan terbatas lebih cepat tertolong.
Ketiga, untuk keberhasil pengobatan (terutama target ketiga Jalur Cepat TOP) diperlukan pendampingan. Untuk dicatat, angka putus terapi ARV nasional masih cukup tinggi, mencapai 20 persen. Artinya risiko untuk resistensi obat dan ODHA berpindah ke lini dua yang lebih mahal masih tinggi.
Jika terjadi putus obat maka itu tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan. Hasil penelitian Internasional HPTN 074 di Jakarta, Ukraina dan Vietnam, membuktikan manfaat sistem navigator, yaitu relawan pendamping sekaligus penasehat psikososial.
Hal lain yang perlu diperhatikan untuk memastikan keberhasilan penanganan HIV AIDS di Indonesia adalah komorbiditas HIV dengan penyakit lain: TBC, hepatitis B dan C, dan IMS termasuk sifilis.
Selain itu edukasi berkelanjutan bagi populasi kunci, siswa dan mahasiswa, media dan pemuka agama. Untuk kelompok terakhir, diharapkan urun rembuknya untuk program sunat di Papua yang terbukti efektif mencegah penularan HIV. Perlu pendekatan baru untuk memastikan program ini tidak diseret ke perdebatan agama.
Terakhir, Jalur Cepat ini adalah program bekerja dengan hati. Tidak sekadar menjalankan program tetapi utamanya menyelamatkan Papua, karena itu menyelamatkan kita semua.
(Zubairi Djoerban ; Ahli Penyakit Dalam, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia)