Ada pengalaman tak lazim di sebuah mushala kecil di wilayah Beji, Depok, Jabar, terutama saat kultum selepas subuh. Jemaah  khusyuk mendengar tausiah pendek oleh entah siapa. Disebut ”entah siapa” karena narasumber langsung berkisah tentang perjalanan ribuan laron menuju cahaya, tanpa mukadimah, tanpa pengantar takmir mushala.
Tak ada pergeseran posisi duduk jemaah dari posisi selepas shalat Subuh. Hijab pembatas saf laki-laki dan perempuan pun tak disingkap hingga jemaah ibu-ibu hanya dapat menyimak audio dari pengeras suara, tanpa bertatap muka dengan ustaz. Tausiah tak disampaikan di mimbar yang tersedia di samping mihrab. Ustaz tetap duduk dalam posisi semula.
Namun, tamsil alegorik yang menggambarkan petualangan panjang para salik menuju hadirat Tuhan, melalui cerita tentang kawanan laron yang patah sayap sebelum tiba di pusat cahaya, atau laron yang hangus terbakar dalam pusaran cahaya yang dirindukannya, mengalir begitu khidmat.
Metode baru
Usut punya usut, ternyata takmir mushala itu sudah lama menggelar dakwah nonmimbar semacam itu. Konon, metode itulah formula baru yang mereka sepakati setelah berdiskusi tentang semakin tak efektifnya dakwah mimbar, terutama dalam implikasinya terhadap moralitas jemaah.
Sejumlah pengurus yang rata-rata santri muda itu kerap melontarkan otokritik terhadap model dakwah mimbar yang mereka sebut ”ngaji kuping”. Kuping saja yang mendengar, sementara hati absen.
Aspek mobilisasi massa mungkin masih dapat diraih oleh dakwah mimbar, tetapi seberapa jauh implikasi etisnya terhadap kesalehan sosial umat?  Banyak orang boleh jadi berkenan hadir pada majelis taklim, apalagi bila narasumbernya ustaz-ustaz beken dengan channel Youtube di atas 5 juta subscriber.
Jemaah  menikmati guyonan-guyonan khas ustaz ”seleb”. Namun, sepulang dari tablig akbar, tak ada yang berubah. Gibah jalan terus, intensitas hasad  tak reda, riya’ dan takabur tak kunjung lenyap. Pendeknya, biduk lalu kiambang bertaut.
Saat mendengar ceramah, seolah-olah akan bertobat, tetapi kenyataannya tak ada yang sungguh-sungguh berubah. Tak ada ihsan yang terpancar dari keinsafan yang sebentar.
Narasi agitasi
Lain jemaah subuh di Depok, lain pula pengalaman jemaah Jumat di sebuah masjid dalam lingkungan kompleks perkantoran, sebagaimana pernah diceritakan oleh Sidarto Danusubroto (2018).
Saat itu, suara azan telah berkumandang. Samar-samar terdengar mukadimah khotbah, pertanda khatib sudah naik mimbar. Namun, sejumlah karyawan masih mengobrol di beberapa koridor dan pelataran. Belum ada tanda-tanda mereka akan bergegas ke masjid menunaikan shalat Jumat.
Setelah berkali-kali ditelusuri, ternyata mereka tak sedang melalaikan kewajiban, tetapi sekadar menunda kehadiran: menunggu prosesi khotbah selesai dan sang khatib turun dari mimbar.
Apa pasal? Isi khotbah itulah pangkal soalnya. Dengan suara yang berapi-api, mulut berbusa- busa, khatib meneriakkan klaim-klaim kebenaran. Dengan bahasa yang keras dan sarkas, khatib menuding orang-orang yang berbeda iman sebagai kaum sesat dan kafir.
Seperangkat dalil ditartilkan,  dengan segenap tafsir dangkal, yang lebih terdengar sebagai cercaan dan makian ketimbang kedalaman kajian yang bernas dan menyejukkan.
Dakwah yang semestinya berisi imbauan dan ajakan untuk meningkatkan kualitas iman, dan menyebarluaskan pesan-pesan perenial keislaman sebagai rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi semesta alam), beralih rupa menjadi bahasa kebencian, bahkan ancaman yang mengerikan.
Eksklusivisme yang sedang mewabah itu kemudian terdukung oleh dunia digital dengan media sosial sebagai jantungnya. Dari pagi hingga pagi lagi, kita dikepung oleh narasi-narasi keras yang tersiar masif.
Laman-laman akun pribadi, linimasa Facebook, Twitter, Instagram, hingga grup-grup Whatsapp, penuh sesak oleh imbauan bernada propaganda, bahkan dalam batas-batas tertentu—meminjam istilah Donny Gahral Adian—bisa terjerumus pada agitasi atas nama kitab suci, yang dalam beberapa tahun belakangan telah menimbulkan potensi kegentingan.
Jalan keberagamaan
Atas dasar  itu, barangkali jalan keberagamaan yang lemah lembut menjadi penting dan relevan. Apa yang direkomendasikan dan secara terukur telah diikhtiarkan oleh Haidar Bagir melalui gerakan ”Tasawuf: Mazhab Cinta” agaknya perlu dipertimbangkan.
Sebagai peneliti sufisme Islam—yang langsung menimba ilmu dari pakar semacam Annemarie Schimmel (1922-2003)—melalui buku-buku pengantar tasawuf yang sudah terbit sejak 2015, Haidar menyederhanakan gagasan-gagasan tasawuf-falsafi agar mudah dicerna dan langsung dapat diamalkan dalam aktivitas keseharian.
Pendekatan praktis ini terasa pada dua buku yang ditulis Haidar, yaitu Belajar Hidup dari Rumi; Serpihan-serpihan Puisi Penerang Jiwa (2015) dan Dari Allah Menuju Allah; Belajar Tasawuf dari Rumi (2019).
Kedua buku itu berisi dasar- dasar pemahaman tentang mujahadatunafs (upaya keras melawan hawa nafsu) dan riyadhah (latihan rohani guna menggapai kesucian hati) dalam safari spiritual menuju hadirat Tuhan, berdasarkan tafsir atas puisi- puisi terpilih  dari Matsnawi karya besar Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273).
Keduanya juga menjadi rujukan dalam tausiah dua menit di channel Youtube, Tadarus Rumi. Tak hanya itu, Haidar juga sering mengunggah serpihan-serpihan tafsirnya terhadap puisi-puisi Rumi di akun Twitter pribadi, dengan followers ratusan ribu orang dan respons yang sangat antusias.
Mazhab cinta
Orientasi gerakan ”Tasawuf; Mazhab Cinta” adalah memastikan wujud ihsan  sebagai puncak pengalaman keislaman dan keimanan. Keislaman dan keimanan umat tak perlu lagi diragukan, tetapi apakah Islam dan iman itu dapat memuncak dengan  terpancarnya ihsan?
Dalam buku terkininya, Mengenal Tasawuf; Spiritualisme dalam Islam (2019), Haidar menguraikan pemahaman ihsan sebagai moralitas yang sudah steril dari egoisme, hati yang sudah bersih dari nafs al-ammarah bi al-su’ (nafsu rendah yang terus mendorong ke arah keburukan), digantikan rasa cinta kepada Allah dan kepada sesama makhluk-Nya.
Suluk yang ditempuh dengan  mujahadatunafs dan berbagai riyadhah guna meraih kesucian hati hingga tersingkap sebagai ruang tajalli-nya Tuhan merupakan pilihan etos keberagamaan yang menekankan dimensi eros (kerinduan pada Tuhan) guna menyempurnakan orientasi fiqh.
”Langit dan bumi tak mampu menampung-Ku,” demikian firman Tuhan rujukan para sufi, ”Yang mampu menampung-Ku adalah hati orang Mukmin.” Menurut Haidar, teks itu relevan dengan puisi Rumi yang berbunyi; Jiwa adalah cermin bening. Tubuh adalah debu di atasnya. Kecantikan dalam diri tak tampak, karena kita tersuruk di bawah debu.
Begitu tamsil Rumi perihal hati yang keruh oleh dengki, benci, takabur, riya’, dan semacamnya, yang di era pascafakta ini sedang menjadi kebiasaan. Jalan tasawuf hendak mengikis dan memusnahkannya dengan kedalaman cinta.
(Damhuri Muhammad ; Sastrawan; Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta)