Sabtu, 10 Agustus 2019

Makna Ibadah bagi Identitas Kemanusiaan

RENUNGAN IDUL ADHA

Makna Ibadah bagi Identitas Kemanusiaan


Setiap tanggal 10 Zulhijah, umat Islam di seluruh dunia serentak melaksanakan shalat sunah Idul Adha, lalu menyembelih kurban (bagi yang mampu) dan sekaligus pelaksanaan serangkaian ritual ibadah wajib haji—juga bagi yang mampu—di Mekkah, Arab Saudi.
Kurban dan haji dikenal dalam tradisi agama-agama Ibrahim (millata ibrahima hanifa). David L Weddle dalam bukunya, Sacrifice in Judaism, Christianity and Islam (2017, h 9), mengatakan, ”sacrifice is pervasive in religions of Abraham”, kurban adalah hal universal dalam agama-agama Ibrahim.
Demikian pula haji (pilgrimage). Semua agama mengenal tradisi ini sejak lama (lihat Simon Coleman dan Johan Elsner, Pilgrimage, Past and Present in the World of Religions, 1995). Ketersinggungan dan ketersambungan historis ibadah kurban dan haji dengan tradisi keagamaan lainnya menunjukkan sisi inklusivitas dan universalitas dari kedua jenis ibadah ini.
Di dalam Islam, ibadah kurban dan haji, selain bermuatan makna ritual bahwa keduanya adalah persembahan untuk Allah (ikhlas), juga bermuatan makna kemanusiaan. Hassan Hanafi, seorang pemikir modern Mesir, pernah menyatakan perlunya menonjolkan aspek antroposentrisme dalam Islam, termasuk dalam aspek pemaknaan ibadahnya, bukan aspek ritualnya.
Ritual semua ibadah—yang mahdhah (utama)—diyakini oleh manusia beragama sebagai hal yang berasal dari Tuhan. Artinya, pemaknaan antroposentris dalam ibadah itu membuka peluang bagi manusia untuk mengembangkan aspek-aspek universalitas, inklusivitas, dan kemanusiaan. Di sini kita berbicara bahwa ibadah itu bermakna bagi kehidupan manusia, baik bagi yang mampu (the have) maupun yang tidak mampu (the have not), baik bagi lelaki maupun perempuan, bahkan bagi yang Muslim maupun non-Muslim.
Politik identitas
Kita, warga Indonesia, akhir-akhir ini menghadapi fenomena penonjolan identitas yang populer dengan istilah kebangkitan politik identitas. Dalam situasi ini, setiap individu atau kelompok merasa perlu untuk menunjukkan dan menonjolkan tymos, istilah yang digunakan Francis Fukuyama untuk menunjukkan aspek universal kepribadian manusia yang menghendaki pengakuan atas identitas mereka (Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, 2018).
Hal yang paling jelas di hadapan kita saat ini adalah kebangkitan identitas keagamaan yang mulai menjadi masalah bagi jaminan toleransi dan harmoni yang sudah mengakar lama dalam tradisi kehidupan umat beragama kita.
Jika kita memetik aspek kemanusiaan dari ibadah kurban dan haji, maka intoleransi, disharmoni, segregasi, dan polarisasi yang sekarang sering mengemuka di wilayah publik kita merupakan tantangan yang sebenarnya bagi implementasi pesan kemanusiaan dari kedua ibadah di atas.
Sebagai manusia yang beribadah akan merasa terasing dari ibadah yang mereka laksanakan karena tidak mampu meredam gejolak intoleransi, disharmoni, dan konflik yang menjadi aspek kemanusiaan ibadah tersebut.
Jika semua orang terjebak dalam penonjolan tymos masing-masing, lalu siapa yang rela berkorban untuk merajut dan bahkan menghentikannya agar tymos tidak menjadi peregang kehidupan bersama?
Ikhlas jadi kunci
Baik ibadah kurban maupun haji dipersembahkan oleh manusia untuk Tuhan. Karena itu, keikhlasan menjadi kunci pelaksanaan kedua ibadah ini. Namun, Tuhan menyisipkan wisdom (pesan moral atau hikmah) di dalam ibadah tersebut sebagai iktibar bagi manusia.
Memetik hikmah dari ibadah kurban, pengorbanan yang secara simbolik dilaksanakan dalam bentuk penyembelihan hewan kurban mengandung makna bahwa berkorban atau pengorbanan adalah panggilan jiwa (inner self) setiap diri manusia.
Dengan berkorban, jiwa manusia yang memiliki karakter ingin diakui itu didamaikan dengan kenyataan kehidupan sosial dan politik di luar bahwa banyak manusia yang menunggu pengorbanan kita. Karena itu, orang yang rela berkorban untuk kepentingan orang lain sejatinya bisa disebut sebagai manusia yang bermartabat.
Socrates, filsuf Yunani, menyatakan, jika martabat adalah gelar bagi mereka yang rela berkorban untuk melayani kemanusiaan, Ibrahim adalah contoh manusia bermartabat karena rela berkorban untuk Tuhan-nya dan untuk martabat kemanusiaan (human dignity).
Ibadah haji sebagai ziarah manusia atas Tuhan-nya juga merefleksikan soal kesatuan atas solidaritas kemanusiaan. Dalam ritual haji, masyarakat Muslim dari seluruh penjuru dunia berkumpul dengan niat dan atribut yang sama.
Jika manusia modern memiliki kecenderungan penonjolan akan identitas masing-masing, ibadah haji adalah praktik keagamaan di mana pelbagai identitas (multiple identities) tidak mustahil kita satukan. Jika identitas bisa digunakan untuk memecah dan membelah kemanusiaan, dalam praktik ibadah haji, identitas juga bisa menyatukan identitas-identitas yang berbeda.
Jangan hanya ritual
Namun, pesan kesalehan kemanusiaan dalam ibadah ini sering dikalahkan dengan cara pandang verbalistik. Sebagai manusia beragama, jika beribadah, kita sering berhenti pada aspek ritual saja. Ibadah kurban berhenti pada penyembelihan hewan dan haji berhenti pada pelaksanaan serangkaian ritual haji yang diwajibkan.
Jika ibadah kita memiliki makna bagi identitas kemanusiaan, kita tidak boleh berhenti pada pemenuhan syarat rukun ibadah tersebut saja, tetapi harus terus berlanjut ke dalam kehidupan kemanusiaan. Jika ini bisa terlaksana, jadilah kita beribadah sebagaimana ibadahnya orang-orang yang bermartabat. (Hanya Allah SWT yang Mahamengetahui dan Mahabenar, wallahu a’lam bish shawab).
Syafiq Hasyim ; Pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama, PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar