Sorot matanya sangat tajam. Ingatannya masih prima. Gaya bicaranya tegas dan fasih.  Di usia yang lebih dari 90 tahun, sosok karismatik ini masih sanggup membaca apa pun saja, termasuk membacakan kitab kuning (balah) di hadapan para santri dengan tanpa menggunakan alat bantu kacamata.
Kiai Maimun Zubair, akrab dipanggil Mbah Moen, adalah sosok yang tak bisa diceritakan dalam satu-dua kali kesempatan. Luas pengetahuan dan dalamnya keteladanan membuat kita harus bekerja keras untuk menampung samudra ilmu dan teladan yang diwariskannya.
Sekali waktu, saya pernah sowan ke Kiai Maimun di kediamannya, di Sarang, Rembang. Saya ingat sekali, bagaimana Mbah Moen bercerita panjang lebar tentang bagaimana ajaran Islam merespons dinamika perkembangan zaman. Mbah Moen menegaskan, Islam menghargai kebinekaan.
Dari Mbah Moen saya mendapatkan ilmu soal makna kata lita’arafu dalam Al-Hujurat: 13 Ya ayyuhan-nas, inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa, wa jaalnakum syuuban wa qabaila lita’arafu. Makna saling mengisi dan bekerja sama jauh lebih progresif dan kontekstual dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang berkembang selama ini yang cenderung mengartikan lita’arafu dengan hanya sebatas saling mengenal.
Saling mengisi adalah kata kunci yang ingin dikemukakan Mbah Moen. Indonesia yang berdiri di atas bangunan kebinekaan dan keragaman suku, bangsa, budaya harus ditopang kesadaran individunya untuk saling mengisi dan bekerja sama satu dengan yang lainnya.
Tafsir ini, bagi saya pribadi, melesat melampaui zamannya. Bagi saya, tafsir semacam ini tak akan lahir dari pribadi yang tak memiliki kejernihan mata batin serta rasa cinta Tanah Air yang mendalam.
Maret 2017, ketika turbulensi politik meningkat dan isu kebinekaan memanas, Kiai Maimun sebagai mustasyar (penasihat) PBNU menjadi tuan rumah Silaturahim Ulama Nusantara di Pesantren Al-Anwar, Sarang. Sebanyak 99 ulama berkumpul dipimpin Mbah Moen. Pertemuan menghasilkan rumusan yang sangat brilian dan menyejukkan umat.
Kelak rumusan itu diberi tajuk ”Risalah Sarang”. Ada lima poin penting yang dihasilkan di forum ini. Pertama, Nahdlatul Ulama senantiasa mengawal Pancasila dan NKRI serta keberadaannya tak dapat bisa dipisahkan dari keberadaan NKRI itu sendiri.
Kedua, pemerintah diimbau agar menjalankan kebijakan-kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi isu sosial termasuk dengan menerapkan kebijakan yang lebih berpihak ke yang lemah (afirmatif) seperti reformasi agraria, pajak progresif, pengembangan strategi pembangunan ekonomi yang lebih menjamin pemerataan serta pembangunan hukum ke arah penegakan hukum yang lebih tegas dan adil dengan tetap menjaga prinsip praduga tak bersalah di berbagai kasus yang muncul.
Ketiga, pemerintah dan para pemimpin masyarakat diimbau terus membina dan mendidik masyarakat agar mampu menyikapi informasi-informasi yang tersebar secara lebih cerdas dan bijaksana sehingga terhindar dari dampak negatif.
Keempat, para pemimpin negara, pemimpin masyarakat, termasuk pemimpin NU agar senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat dengan senantiasa arif dan bijaksana dalam menjalankan tugas masing-masing dengan penuh tanggung jawab, adil, dan amanah dengan menomorsatukan kemaslahatan masyarakat dan NKRI.
Kelima, mengusulkan diselenggarakannya forum silaturahmi di antara seluruh elemen bangsa guna mencari solusi berbagai permasalahan yang ada, mencari langkah-langkah antisipatif terhadap kecenderungan perkembangan di masa depan, dan rekonsiliasi di antara sesama saudara sebangsa.
Pengayom umat dan visi kebangsaan
”Risalah Sarang” adalah salah satu bukti betapa karisma Mbah Moen sebagai pengayom umat tak bisa dimungkiri. Di hadapan kiai-kiai sepuh yang lain, dengan tegas Mbah Moen memaparkan argumen dan visi kebangsaan yang membuat peserta merasa seperti disiram air keteladanan. Sosok Mbah Moen juga tak bisa dilepaskan dari kegigihan dalam menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang dirahmati Allah SWT.
Bagi Mbah Moen, Indonesia baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara yang baik dan dapat ampunan dari Allah). Pikiran-pikiran keindonesiaan yang cerdas sering diungkapkan dalam pelbagai forum di depan khalayak ramai saat mengisi pengajian. Salah satunya misalnya tentang dimensi keberkahan dalam hari kemerdekaan RI. Bagi Mbah Moen, tak ada yang kebetulan. Semua telah ditulis dan ditakdirkan Allah SWT, termasuk tanggal, bulan, dan tahun.
Tanggal 17 memiliki ikatan kuat dengan jumlah rakaat shalat wajib yang dijalankan umat Islam dalam tempo sehari semalam. Dalam lambang Garuda Pancasila terdapat dua sayap dengan jumlah bulu 17 di kanan dan 17 di kiri. Mbah Moen menjelaskan angka 17 ini merupakan jumlah rukun shalat, yakni niat, takbiratul ihram, berdiri, membaca Al Fatihah, rukuk, thumakninah dalam rukuk, iktidal (berdiri bangun dari rukuk), thumakninah dalam iktidal, sujud dua kali, thumakninah dalam sujud, duduk di antara dua sujud, thunakninah dalam duduk di antara dua sujud, membaca tasyahud akhir. Dan 17 bulu di sayap kiri berarti jumlah rakaat shalat wajib.
Sementara Agustus atau bulan kedelapan dalam sistem penanggalan Masehi merupakan bulan diturunkannya Al Quran. Kita juga ingat Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan dalam sistem penanggalan Hijriah. Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat Muslim. Angka 45 yang merujuk tahun kemerdekaan berarti setiap orang Islam harus membaca syahadat sebanyak empat dan lima kali. Malam empat kali, saat shalat Maghrib dan Isya. Siang lima kali, Subuh, Dzuhur, dan Ashar.
Di lain kesempatan, Kiai Maimun berpesan kepada nahdliyin. Pesan ini selalu diulang-ulang dengan maksud menanamkan kesadaran kecintaan Tanah Air dan merawat kebinekaan. Pesan itu berisi wejangan bahwa Kantor PBNU memiliki korelasi dengan empat pilar kebangsaan. P berarti Pancasila. B berarti Bhinneka Tunggal Ika. N berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia. U adalah Undang-Undang Dasar 1945.
Pesan ini khas dan otentik lahir dari gagasan dan pemikiran jernih KH Maimun Zubair. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia kita harus menundukkan kepala seraya melangitkan doa. Putra terbaik bangsa, sosok pengayom umat dan pribadi yang gigih berjuang untuk kemaslahatan bangsa dan negara telah berpulang di Tanah Suci, Makkah Mukarramah.
Tak ada cara terbaik mengenang kematian selain mengenang kebaikan dan keteladanan. Sebagaimana dikatakan Rumi, ”Tatkala kita mati, jangan cari pusara kita di Bumi, tetapi carilah di hati para kekasih”. Selamat jalan, Mbah Moen. Selamat jalan pengayom umat dan pengawal Pancasila.
(A Helmy Faishal Zaini ;  Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)