Membaca dokumentasi harian Kompas, Senin 6 Juni 1977, ada berita, ”Hukuman Penjara Seumur Hidup untuk Budiadji”. Budiadji adalah mantan Kepala Depo Logistik Kalimantan Timur. Dia dituduh korupsi dan menyelewengkan keuangan negara hasil penjualan beras Rp 7,6 miliar. Jaksa menjerat dengan UU Pemberantasan Kegiatan Subversi. Dia dituntut 20 tahun penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri Balikpapan Sof Larosa sepakat dengan jaksa terkait konstruksi UU Subversi. Hakim memvonis Budiadji dengan hukuman lebih berat; seumur hidup!
Vonis seumur hidup terhadap Budiadji terjadi pada era Orde Baru. Penjeratan korupsi sebagai subversi adalah tindakan keras pada era Orde Baru. Tindakan Budiadji dianggap mengguncang perekonomian nasional.
Gerakan reformasi Mei 1998 memaksa Presiden Soeharto berhenti. Gerakan reformasi itu mendorong lahirnya Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Rahim reformasi yang berdarah tahun 1998 itu telah melahirkan lembaga antikorupsi, seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang kemudian dilikuidasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Ombudsman. Raison d’etre pembentukan KPK pada waktu itu ialah ketidakpercayaan publik pada lembaga penegak hukum untuk memberantas korupsi. Maka itu, niat terselubung melemahkan KPK adalah pengingkaran terhadap reformasi.
Dua peristiwa itu, subversi untuk Budiadji dan gerakan reformasi Mei 1998, layak kita lihat kembali di era Reformasi, 21 tahun kemudian. Sistem politik berganti dari otoriter ke demokrasi, tetapi korupsi tetap marak. Bahkan, cenderung memprihatinkan. Ada tren korupsi melibatkan keluarga; suami-istri, keponakan, diajak menjarah uang negara. Mulai muncul gejala residivis korupsi. Bupati Kudus, Jawa Tengah, Muhammad Tamzil, yang pernah divonis penjara karena korupsi, begitu keluar dari penjara berbuat lagi dan ditangkap lagi.
Semangat reformasi harus melihat dirinya kembali. Prof Dr Azyumardi Azra dalam kolomnya di harian Kompas, 8 Agustus 2019, menulis, ”agaknya bisa dipastikan, korupsi adalah salah satu masalah pokok yang dihadapi negara bangsa dan Pemerintah Indonesia.” Dengan nada geram, Azyumardi menulis, ”Memandang korupsi yang terus merajalela, koruptor harus benar-benar dibuat kapok. Mereka harus dijatuhi hukuman seberat-beratnya; mungkin bukan hukuman mati yang kontroversial, melainkan penjara seumur hidup, misalnya.”
Mengutip The Borgen Project tahun 2018, korupsi di Indonesia merugikan negara 401,45 juta dollar AS. Jumlah itu sudah turun 55,4 juta dollar AS dibandingkan dengan tahun 2017, salah satunya karena agresivitas KPK menjerat korupsi.
Membaca wacana kegeraman publik soal korupsi, saya teringat Tajuk Rencana harian Kompas, 14 September 1967 berjudul ”Pentjoleng Ekonomi” yang sudah sering saya kutip. Di awal kalimat penulis tajuk menulis demikian, ”Soal pentjoleng ekonomi sekarang ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering kali didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah pembitjaraan lagi tapi tindakan konkret: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak! Latar belakang dan suasana revolusioner tentunya ikut mewarnai penulisan tajuk itu.
Korupsi memang sudah sampai pada taraf membahayakan. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut 10 menteri dan 20 gubernur masuk penjara. Data KPK menunjukkan, dari kurun waktu 2004-2018, 105 kepala daerah terjerat korupsi. Hampir semua profesi punya perwakilan di penjara korupsi. Ada polisi, ada jaksa, ada hakim, ada advokat, ada bupati, ada gubernur, ada pimpinan partai politik, ada pimpinan BUMN. Hari Kamis, 8 Agustus 2019, KPK menangkap sejumlah orang, termasuk anggota DPR, terkait suap pengurusan izin impor 20.000 ton bawang putih.
Dalam diskusi Satu Meja The Forum, saya bertanya kepada Budayawan Radhar Panca Dahana, apakah bangsa ini serius memberantas korupsi, dan dijawab dengan tegas, ”tidak”. Mereka yang tertangkap hanyalah orang-orang yang sedang sial. Bahkan seorang terpidana kasus korupsi yang bebas mengatakan, ”Itu ibarat lotre saja.”
Radhar mengusulkan langkah radikal menghadapi koruptor. Koruptor adalah pengkhianat terhadap konstitusi. ”Sebaiknya dilepas kewarganegaraannya,” katanya. Ada juga yang mengusulkan hukuman mati untuk koruptor. Namun, dua model hukuman itu tetap kontroversi karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia.
Memerangi korupsi butuh dukungan partai politik dan pimpinan nasional, termasuk Presiden Joko Widodo. Parpol bisa membuat undang-undang memperkecil ruang untuk korupsi atau menerapkan pembuktian terbalik—bukan hanya melaporkan harta—bagi calon penyelenggara negara. Penting pula UU perampasan aset dan pembatasan transaksi tunai.
Presiden Jokowi punya modal sosial memberantas korupsi, tapi butuh kemauan politik. Sama seperti Presiden membangun infrastruktur. Presiden tak punya beban membersihkan korupsi di negeri ini. Jika Presiden Jokowi punya gagasan menghadirkan rektor asing memimpin universitas agar perguruan tinggi naik kelas, Presiden Jokowi tentu bisa melakukan apa saja untuk menjadikan Indonesia negara bebas korupsi, setara dengan negara-negara Skandinavia. Hanya saja, seorang politisi senior pernah menyampaikan pesan, ”Jangan salah pilih teman Pak Jokowi.” ***