PEMERINTAHAN
Agenda Otonomi dan Birokrasi dalam Kabinet
Topik pemerintahan, sebagai materi debat capres putaran keempat 30 Maret lalu, tentu mewarnai pertimbangan pemenang Pilpres 2019 (Joko Widodo-Ma’ruf Amin) saat menyusun formasi kabinet dan mencari figur menteri yang pas untuk menjalankannya lima tahun mendatang.
Bahkan, aneka program besar lain yang dijanjikan selama masa kampanye hanya bisa terkonversi menjadi output pembangunan jika alat kerja Presiden, yakni birokrasi dan pemda, benar-benar siap pakai dan mampu bergerak dalam kekuatan penuh.
Konsistensi dan ketegasan
Risalah visi-misi ”Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju” dari presiden-wapres terpilih mematri jelas misi yang diemban dua isu tadi. Reformasi birokrasi berintikan ”pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif dan tepercaya” (misi 8), sementara otonomi diarahkan kepada ”sinergi pemda dalam kerangka Negara Kesatuan” (misi 9). Jika berkaca pada tantangan saat ini dan intervensi ke depan, jabarannya dalam portofolio kerja dan menteri yang dipilih patut bertaut dengan tiga kebutuhan dan tantangan krusial.
Pertama, reformasi birokrasi yang diniatkan sebagai jalan perubahan menuju sektor publik berkelas dunia mensyaratkan kerangka kebijakan yang solid. Jika kita bersepakat untuk membawa birokrasi bersaing di level tinggi, segala kebijakan kunci ihwal perekrutan pegawai, desain institusional hingga digitalisasi layanan (dilan) haram untuk salah fatal, menjadi ajang coba-coba, atau lebih buruk lagi sebagai tempat barter dan kompromi politik.
Sejumlah blunder hari ini mesti dikoreksi. Perekrutan CPNS, sebagai pintu masuk memperoleh material unggul (kualitas input), diarahkan untuk menjaring orang-orang kelas satu (lulus passing grade tinggi), bukan malah berkompromi memakai sistem peringkat yang berorientasi pemenuhan kuota kebutuhan.
Setali tiga uang, PPPK mesti diisi para profesional yang diarahkan menjadi game changer dalam sektor publik, bukan tempat ”tampungan” bagi pegawai honorer yang selama ini menuntut peningkatan status otomatis menjadi PNS.
Kedua, otonomi yang didorong menjadi instrumen kolaborasi sinergis daerah dengan pusat mensyaratkan standardisasi nasional sembari menjaga ruang bagi variasi lokal dan kemandirian pemda yang seimbang (desentralisasi berkeseimbangan). Untuk itu, kebijakan harus konsisten dan penegakan aturan dilakukan tegak lurus. Sesungguhnya, misi ”sinergi pemda” Jokowi-Amin tak perlu jadi suatu aksentuasi baru kalau saja UU No 23/2014 tak hanya jadi macan kertas seperti sekarang.
Kepala daerah yang resisten melimpahkan perizinan ke PTSP atau OSS hingga soal perjalanan ke luar negeri tanpa sepengetahuan pusat sudah diatur segala sanksinya di beleid otonomi itu. Demikian juga perkara esensial terkait dukungan pemda bagi pencapaian prioritas nasional, transfer berbasis kinerja, alokasi wajib (mandatory spending) bagi anggaran perlindungan sosial dan layanan dasar, semua diatur secara imperatif dan hanya perlu komitmen dan kepemimpinan tegas menteri untuk bisa menghidupinya.
Ketiga, selain dimensi vertikal, sinergi pemerintahan juga dipengaruhi relasi horizontal antarkementerian di pusat. Berlakunya otonomi daerah berarti menjadikan rezim desentralisasi sebagai rujukan rezim sektoral. Artinya, setiap kementerian teknis yang memiliki peran di daerah harus merujuk UU Pemda sebagai kerangka kerja (semacam UU pokok), selanjutnya baru UU sektoral terkait yang mengatur substansi program.
Artinya pula, setiap kementerian tidak bisa menafikan Kemendagri sebagai pintu ke luar dari pusat dan kepala daerah sebagai pintu masuk saat di daerah. Bukan asal ”selonong” begitu saja ke dinas sektoral yang memiliki portofolio atau nomenklatur sama dan memperlakukan mereka seolah sebagai ”cabang” kementerian tersebut di lini kewilayahan.
Untuk bisa menjaga marwah rezim desentralisasi, figur mendagri harus bisa menjadi primus inter pares di antara menteri-menteri lain tatkala urusannya sudah menyangkut daerah. Di sini soal komunikasi dan kepemimpinan menjadi batu uji. Selama ini, para pejabat eselon satu hingga staf di setiap kementerian dibiarkan berjibaku dan bahkan konflik dengan sejawat mereka di kementerian-kementerian lain, dari masalah prinsipal hingga instrumentasi operasional.
Celakanya, apabila kata sepakat gagal dibuat, bukannya antara bos (para menteri) yang membereskannya tetapi dibiarkan saja masing-masing daerah mengambil respons sendiri. Fragmentasi di pusat berdampak buruk di daerah: bingung, tak sinergis, bahkan terjebak secara hukum.
Keempat, pada aras lokal, noda hitam otonomi berupa korupsi dan diskriminasi sungguh gawat. Ruang gelap kekuasaan yang melahirkan korupsi politik dan praktik perburuan rente hingga pelembagaan diskriminasi negara lewat regulasi atau instrumen fiskal atas kelompok rentan dan kaum minoritas sungguh menggerus kemanusiaan, keadaban ruang publik dan bahkan integrasi sosial kita.
Seorang menteri tidak bisa lagi hanya merasa prihatin dan mengimbau saat litani kejahatan korupsi dan diskriminasi terus berulang.
Pemerintah yang hadir
Kita butuh pemerintah yang hadir memerintah, sekaligus bisa mencari solusi menyeluruh bagi pembenahan ekosistem pemerintahan yang bersih. Peran Kemendagri sebagai pembina umum atas pemda harus mewujud dalam komunikasi politik hingga penegakan sanksi yang tegas. Solusi pencegahan berbasis sistem terintegrasi, transparan, dan praktis dirumuskan secara solid dan diberlakukan sebagai norma, standar, proses
(Robert Na Endi Jaweng ; Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar