Ekspor dan investasi. Dua hal tersebut terus digaungkan Presiden RI dalam beberapa kesempatan, terutama dalam upaya mengatasi persoalan defisit neraca perdagangan dan jasa. Dua hal tersebut jugalah yang menjadi inti pokok pelaksanaan diplomasi ekonomi, yang beberapa tahun ini menjadi salah satu primadona bagi kebijakan luar negeri Indonesia.
Diplomasi ekonomi kini hadir sebagai respons dari globalisasi serta dinamika perubahan geoekonomi dan geopolitik dunia. Setelah Perang Dingin berlalu, dunia tidak lagi mengangkat senjata, tetapi memakai kebijakan ekonomi sebagai alat ”perang”.

Vietnam terus menggenjot kesepakatan perdagangan bebas (free
trade agreement/FTA) dengan sejumlah negara dan blok ekonomi; Thailand dan Malaysia melalui kegiatan international cooperation agency (ICA) melakukan penetrasi ke sejumlah wilayah dan blok ekonomi; China dengan Belt and Road Initiative (BRI); Jepang menggunakan public private partnership (PPP) untuk ekspansi bisnis perusahaan serta banyak contoh lain.
Dalam perkembangannya, diplomasi ekonomi terus berkembang, tidak hanya melibatkan pemerintah (negara), tetapi juga non-government actors, seperti swasta, lembaga keuangan, LSM, dan masyarakat sipil.
Tak ada konsep spesifik yang dapat mendeskripsikan diplomasi ekonomi meski beberapa jurnal literatur mencoba menjelaskan fenomena ini. Saner dan Yiu (2003) mendefinisikan diplomasi ekonomi berkaitan dengan isu kebijakan ekonomi, dengan kehadiran diplomat ekonomi yang memantau dan melaporkan kebijakan ekonomi di luar negeri sebagai pertimbangan kebijakan ekonomi domestik.
Moons, Selwyn, dan Van Bergeijk (2009) menambahkan, diplomasi ekonomi adalah pemanfaatan seluruh spektrum ekonomi di sebuah negara untuk mencapai kepentingan nasional, termasuk kebijakan terkait ekspor, impor, investasi, pinjaman, bantuan, pasar bebas, dan lainnya. Bayne and Woolcock (2016) menyebutkan, diplomasi ekonomi adalah cara dan/atau metode untuk mencapai tujuan ekonomi nasional lewat hubungan internasional.
Diplomasi ekonomi, tentu saja, konsep baru bagi Indonesia. Diplomasi merupakan konsep politis dan seni negosiasi demi kepentingan nasional yang selama ini telah dilaksanakan Kementerian Luar Negeri. Misalnya, menyusun kebijakan ekonomi yang tak mungkin terlepas dari kondisi politik, diplomasi ekonomi pun sangat terkait dengan diplomasi politik yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Bahkan, belakangan ini kata keduanya sulit dipisahkan dan memang sepatutnya  tak dilihat secara terpisah-pisah. Salah satu tolok ukur yang sering digunakan adalah manfaat ekonomi yang dihasilkan dari suatu keberhasilan diplomasi politik atau sebaliknya.
Sejak Presiden Jokowi menjabat pada 2014, diplomasi ekonomi sudah diupayakan menjadi poros utama kebijakan luar negeri Indonesia, selain perlindungan WNI. Hingga kini, rapor diplomasi ekonomi sudah menunjukkan arah positif. Tahun 2018, Indonesia berhasil meraup Rp 6,75 triliun pada perhelatan Indonesia-Africa Forum.
Di Amerika Latin dan Eropa Timur, Indonesia juga memperoleh respons positif, khususnya proses pengenalan pasar Indonesia ke negara- negara tersebut. Perjanjian perdagangan bebas Indonesia-Chile sudah disepakati, Indonesia-EFTA (European Free Trade Association) Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) juga sudah ditandatangani, berbagai kesepakatan dagang sedang didiskusikan, termasuk dengan Uni Eropa (UE).

Pekerjaan rumah
Secara keseluruhan, implementasi diplomasi ekonomi Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah yang perlu dieksekusi dengan efektif. Peluang kerja sama ekonomi dan pengembangan pasar di sejumlah negara belum digarap maksimal, penjajakan berbagai komoditas yang dapat menggerakkan neraca perekonomian Indonesia belum dikerjakan secara menyeluruh.
Diplomasi ekonomi masih belum diuraikan dengan baik.
Setidaknya ada dua hal yang perlu menjadi fokus untuk memacu diplomasi ekonomi di Indonesia, yaitu kebijakan yang terintegrasi dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan. Diplomasi ekonomi sebaiknya tak lagi dipandang sebagai milik eksklusif Kemenlu, sebagaimana diplomasi pada awalnya. Butuh pendekatan holistik dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan.
Pertama, integrasi kebijakan dalam implementasi diplomasi ekonomi harus dilakukan pada level nasional dan internasional. Indonesia harus merancang diplomasi ekonomi yang sejalan dan selaras, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dan evaluasi dengan indikator keberhasilan yang lebih detail. Diplomasi ekonomi sebaiknya tak dilakukan secara sporadis, tetapi terpusat dengan sasaran dan target pada skala nasional.
Apabila kita dapat menentukan program yang jelas, termasuk jenis komoditas, tujuan negara, target nilai jual, tenggat, serta forum yang akan digunakan, kementerian dan lembaga (K/L) yang terkait dapat berjalan beriringan dengan fokus yang sama. Kondisi ini juga diharapkan dapat diterapkan pada proses pengawasan dan evaluasi sehingga perbaikan dapat terus dilakukan pada tolok ukur yang sama dan tidak saling menyalahkan.
Kendala lain yang dihadapi adalah kurangnya sumber data dan lembaga kajian (think tank) untuk pelaksanaan diplomasi ekonomi. Data yang dipakai masih berbasis kepentingan K/L tertentu sehingga tak dapat dirujuk secara nasional. Lembaga kajian pun masih tersebar di berbagai institusi dengan pembahasan substansi berbeda. Data dan informasi yang baik akan menentukan keberhasilan negosiasi dalam perundingan kesepakatan perdagangan dan penetrasi pasar oleh eksportir, termasuk penetrasi ke pasar nontradisional.
Kebijakan yang terintegrasi memang menuntut koordinasi yang mapan, sesuatu yang masih jadi pekerjaan rumah republik ini. Dalam implementasi diplomasi ekonomi, Indonesia harus memiliki koordinator yang tak hanya dapat jadi ujung tombak di kancah internasional, tetapi juga memobilisasi potensi dan sumber daya pada tingkat nasional.
Walaupun ekspor dan investasi berkaitan erat dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), implementasi diplomasi ekonomi hingga kini masih dimiliki Kemenlu. Oleh karena itu, sudah saatnya Kemenlu mencarikan bentuk kerja sama atau koordinasi yang efektif, sejak awal proses sampai tahap pemantauan. Bahkan, bukan tak mungkin dilakukan perubahan nomenklatur Kemenlu dan pembentukan kelompok kerja khusus antar-kementerian.
Kedua, para pemangku kepentingan terkait diplomasi ekonomi juga harus meningkatkan kapasitasnya. Koordinasi dalam pengembangan kapasitas (capacity building) juga sangat diperlukan, baik untuk keperluan peningkatan kualitas negosiasi maupun pengembangan database dan analisis.
Diplomat masa kini harus dilengkapi dengan pengetahuan tentang perdagangan, industri, investasi, selain mempertajam keahlian dalam negosiasi. Diplomasi masa kini dituntut lebih transparan, dengan penyampaian informasi yang lebih jelas dan akurat, serta dapat diakses umum sehingga dapat dimanfaatkan oleh seluruh pemangku kepentingan.
Sebagai contoh, implementasi diplomasi ekonomi dapat dilakukan, antara lain, melalui peningkatan daya saing produksi dalam negeri dan pembukaan akses pasar yang seluas-luasnya buat industri nasional ke pasar internasional. Selain itu, diplomasi ekonomi juga dapat membantu investasi, bukan hanya mengundang investasi luar negeri ke dalam, tetapi juga sebaliknya, mempromosikan pengusaha dalam negeri untuk investasi ke luar negeri.
Konsep nation branding juga dapat digalakkan untuk mempromosikan Indonesia melalui ”paket lengkap” perdagangan, pariwisata, dan investasi (trade, tourism, investment/ TTI), seperti diadopsi Korea dengan konsep Global Korea.
Langkah yang ditempuh Malaysia dan Thailand, melalui pembentukan ICA, mungkin bisa ditiru. Langkah ini menjadi penting untuk mendukung pendekatan holistik, terutama menciptakan pasar bagi produk nasional, khususnya di negara-negara berkembang. Dengan demikian, para pemangku kepentingan sudah sepatutnya saling berbagi peran untuk mewujudkan visi dan misi yang sama.
Diplomasi ekonomi yang efektif juga sepatutnya melibatkan badan legislatif, BUMN, pihak swasta, dan LSM. Stereotip istilah diplomasi yang erat kaitannya dengan politik luar negeri sering kali tak mempertimbangkan peranan badan legislatif, pihak swasta, dan LSM. Badan legislatif dibutuhkan untuk melakukan otorisasi kebijakan yang berkaitan dengan diplomasi ekonomi; LSM untuk menyuarakan opini publik; serta pihak swasta, yang saat ini sudah banyak mendukung transaksi dagang dan investasi, merupakan para pemangku kepentingan yang harus diperhatikan.
Peranan sektor keuangan BUMN dan pihak swasta juga penting dalam membantu para pengusaha eksportir yang memerlukan dukungan di bidang pendanaan, asuransi, dan permodalan, terutama  dalam upaya internasionalisasi UKM yang juga merupakan bagian penting dalam diplomasi ekonomi.
Keterlibatan seluruh pemangku kepentingan harus dilihat sebagai kondisi yang berkesinambungan, bukan insidental. Pihak non-pemerintah masih dipandang sebagai pemeran pembantu, yang hanya dilibatkan jika pemerintah sudah tak punya kapasitas lagi. Diplomasi ekonomi pada prosesnya bukan sekadar pameran dagang atau penandatanganan perjanjian dagang bebas, melainkan keseluruhan program dan aksi yang dilakukan untuk meningkatkan perekonomian nasional. Setiap pihak yang terlibat dapat memainkan peranan masing-masing tanpa perlu berebut jatah.
Dalam Sidang Kabinet Paripurna 8 Juli 2019, Presiden RI kembali menyoroti isu ekspor dan investasi serta mengharapkan para menteri dapat memberikan solusi yang menguntungkan. Tak hanya di dalam negeri, Presiden juga tegas memberikan arahan untuk meningkatkan nilai perdagangan dan investasi, sebagai agenda kerja utama bagi seluruh perwakilan RI, yang disampaikan pada kesempatan Rapat Kerja Kepala Perwakilan Republik Indonesia (Raker Keppri) pada Februari 2018. Diplomasi ekonomi sudah jadi tugas dan tanggung jawab kita bersama di dalam negeri ataupun melalui kantor perwakilan RI di mana pun.
Meminjam istilah mantan Menlu RI Hasan Wirajuda, diplomasi ekonomi pun merupakan konsep inter-mestik (internasional domestik). Dengan kata lain, seluruh pihak harus melakukan koordinasi yang bersinergi pada pelaksanaannya agar tercapai tujuan pencapaian nilai ekspor dan investasi.
(Muliaman Hadad ; Duta Besar RI untuk Konfederasi Swiss dan Keharyapatihan Liechtenstein)