Tepat sekali simbol yang dipilih untuk rekonsiliasi kedua peserta pemilu presiden: naik gerbong yang sama. Sebuah kereta tidak akan mencapai tujuan jika keluar dari rel. Bahkan, kereta yang keluar rel akan mencelakakan penumpangnya.
Demikian pula organisasi, butuh rencana atau ”rel kereta” untuk mencapai tujuan. Organisasi atau ”kereta” harus dijaga untuk terus bergerak di rel hingga selamat tiba di tujuan.
Dalam konteks hidup bernegara, tujuan nasional kita adalah mencapai Indonesia Raya Sejahtera Berdasarkan Pancasila. Setiap tujuan perlu tenggat agar tak hanya di angan-angan. Kiranya tidaklah muluk-muluk apabila kita targetkan tujuan dapat dicapai paling lambat 2045, satu abad pascaproklamasi kemerdekaan.
Tujuan nasional ini adalah tujuan segenap rakyat, termasuk seluruh perangkat negara, apa pun agama, suku, pilihan politik, profesi, umur, dan segala identitas lainnya. Tujuan ini adalah ”stasiun” di mana rel-rel perencanaan pembangunan nasional mengarah. Perjalanan Pembangunan Indonesia Raya Sejahtera harus dipahami sebagai perjalanan panjang, melintasi berbagai era kepemimpinan nasional.
Titik dan garis
Walaupun setiap lima tahun bangsa Indonesia bebas menentukan pemimpin nasional yang adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, hendaknya tujuan nasional tetap dipegang teguh. Pemilu adalah sebuah ”titik” dalam perjalanan demokrasi, sementara upaya pembangunan bangsa adalah ”garis” yang berkelanjutan dan konsisten arahnya.
Jika tidak, Indonesia akan bergerak tanpa arah, terombang-ambing kepentingan jangka pendek yang berubah seiring bergantinya kekuasaan. ”Kereta” besar di mana rakyat adalah penumpangnya akan terancam terjungkal karena tidak terus berada di rel dan pada akhirnya akan sulit, bahkan mungkin tidak mencapai tujuan nasional.
Dalam konteks hidup bernegara, tujuan nasional kita adalah mencapai Indonesia Raya Sejahtera Berdasarkan Pancasila. Rencana itu harus berdasarkan data dan keilmuan yang obyektif, tidak sekadar memuaskan kepentingan politik tertentu.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai institusi yang bertanggung jawab telah beberapa kali menerbitkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Hendaknya dalam menyusun RPJMN dimulai dengan evaluasi jujur terhadap capaian RPJMN sebelumnya. Dengan demikian, ”rel” yang akan kita lalui bersama benar-benar kredibel.
Program-program di dalam RPJMN hendaknya  mampu membawa Indonesia keluar dari middle income trap dengan memanfaatkan demographic dividend yang sedang kita alami. Biaya tenaga kerja Indonesia sudah tidak lagi murah untuk menjadi basis produksi biaya rendah, tetapi ekonomi kita juga belum cukup produktif untuk menghasilkan nilai tambah yang kompetitif terhadap negara-negara maju.
Rencana pembangunan kita juga harus mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berimbas kepada seluruh gatra kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat jangka panjang. Harus diusahakan agar program-program itu berjalan konsisten.
Sebagai contoh, di bidang yang sangat penting, tetapi kurang mendapat perhatian, adalah sektor energi. Inisiatif Industri 4.0 yang telah dicanangkan pemerintah tidak akan terealisasi tanpa dukungan energi 4.0, yang artinya pemanfaatan energi berbasis energi terbarukan, ramah lingkungan dengan ”zero carbon emission”, efisien dan berkelanjutan. Di mana posisi pengelolaan energi saat ini? Di tahap apa? Apakah 1.0, 2.0, atau 3.0?
Ketersediaan energi merupakan prasyarat kegiatan ekonomi. Pengelolaan sektor energi yang baik dan konsisten perlu untuk mencapai Industri 4.0. Namun, di sektor yang sangat padat modal dan teknologi ini,  kebijakan hari ini baru terlihat hasilnya paling tidak 5-10 tahun ke depan, itu pun apabila implementasinya konsisten.
Kebijakan fiskal
Ketersediaan energi, baik terbarukan maupun fosil, hanya akan tumbuh sesuai Rencana Umum Energi Nasional, itu pun perlu diiringi kebijakan fiskal yang mendukung investasi.
Kebijakan fiskal yang tidak menarik berdampak pada tidak adanya pihak yang mau menanamkan investasi maupun mendidik sumber daya manusia (SDM) di bidang energi. Investasi dan SDM disebut dalam sasaran prioritas Presiden Joko Widodo, dan keduanya sangat relevan bagi pembangunan multisektor. Sangat disayangkan, dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia tujuh kali berganti menteri pimpinan sektor energi yang  menerbitkan berbagai kebijakan yang tidak kondusif terhadap iklim investasi.
Seperti terlihat sekarang, betapa sulit meningkatkan produksi dan cadangan migas, suatu dampak negatif  pada neraca perdagangan. Di sektor energi, dampaknya juga pada lambatnya pertumbuhan energi terbarukan. Padahal, keduanya merupakan prasyarat pembangunan ekonomi. Migas tidak hanya berperan sebagai sumber pendapatan negara, tetapi sebagai mesin pendorong pembangunan ekonomi nasional.
Transisi energi dari fosil menuju energi terbarukan dalam mitigasi perubahan iklim harus dimaknai sebagai upaya untuk mencari bauran pemanfaatan kedua energi dalam jumlah dan waktu yang tepat sekaligus memenuhi komitmen global.
Inilah pentingnya kita sebagai bangsa memiliki proyek besar untuk mengembangkan kepemimpinan di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita hanya akan bisa keluar dari middle income trap apabila dari demographic devidend kita mampu memunculkan para pemimpin yang dapat meningkatkan produktivitas perekonomian Indonesia.
Kita telah sampai pada ”the point of no return”, tak ada jalan lain, kita harus siap dengan perencanaan matang dan eksekusi cermat. Apabila tidak, bukan demographic devidend yang kita dapat, melainkan hanya demographic liabilities yang membelenggu dalam middle income trap, bahkan terperosok lebih dalam lagi.
Menurut World Productivity Database yang dikelola United Nations Industrial Development Organization, total factor productivity Indonesia adalah 0,27, sementara Malaysia lebih produktif (0,36). Demikian pula dengan Singapura, tingkat produktivitas setara negara-negara Eropa Barat (0,55).
Peningkatan produktivitas negara murni bergantung pada manusia-manusia pemimpin bangsa. Produktivitas adalah bagaimana mengelola sumber daya, apa pun sumber dayanya.
Para pemimpin selain kompeten juga harus memiliki kemauan besar untuk maju, disiplin, dan berintegritas. Meritokrasi harus menjadi budaya dalam berbagai organisasi dari tingkat nasional sampai daerah, pemerintahan maupun swasta.
Putra-putri terbaik bangsa yang mau dan mampu berkontribusi harus diberi kesempatan sesuai bidangnya. Labelisasi apa pun yang tidak relevan terhadap integritas, kemampuan, dan kemauan seseorang untuk bekerja harus dibuang.
Sejarah bangsa Indonesia telah menghadapi berbagai masalah, tetapi harus selalu dapat melaluinya. Para pemimpin dan calon pemimpin Indonesia hendaknya bersinergi mengejar tujuan mewujudkan Indonesia Raya Sejahtera tahun 2045 berdasarkan Pancasila sebagaimana para pemimpin bangsa seabad lalu mewujudkan Indonesia merdeka.
Jika dulu ”menang” berarti mengalahkan lawan, kini ”menang” adalah membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera. Dalam budaya kita, menang bukan berarti ada yang kalah, tetapi tercapainya suatu tujuan bersama, yaitu kemajuan dan kesejahteraan segenap bangsa Indonesia.
(Subroto ; Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Ketua dan Pendiri Bimasena)