Ketua Transparency International Delia Ferreira Rubio pada 2018 mengatakan, ”Korupsi jauh lebih mungkin berkembang di mana fondasi demokrasi lemah, dan seperti yang telah kita lihat di banyak negara, di mana politisi yang tidak demokratis dan populis dapat menggunakannya untuk keuntungan mereka.”
Transparency International juga merilis pada awal 2019 bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2018 menduduki peringkat ke-89 dengan skor 38, meningkat satu angka dari tahun 2017 dan 2016 dengan skor 37, dan naik dua angka dari 2015 dengan skor 36.  Artinya, selama empat tahun, Indonesia hanya mampu mencetak perbaikan IPK sebanyak dua skor, suatu upaya perbaikan panjang yang sangat sulit.
Skor Indonesia
Di lingkungan Asia Pasifik, IPK Indonesia 2018 menduduki peringkat ke-14. Bahkan, kita kalah dengan negara tetangga, seperti  Singapura yang berada di peringkat ke-1 dengan skor 85, Australia peringkat ke- 2 dengan skor 77, Brunei Darussalam peringkat ke-6 dengan skor 63, Malaysia peringkat ke-9 dengan skor 47, Vanuatu peringkat ke-10 dengan skor 46, Kepulauan Solomon  peringkat ke-11 dengan skor 44, India peringkat ke-12 dengan skor 41, dan China peringkat ke-13 dengan skor 39.
Dengan angka skor 44 dari maksimum 100 (skala 0-100, di mana skor 0 paling koruptif dan skor 100 paling tidak koruptif), dapat diartikan bahwa Indonesia masih terjebak dalam pusaran kleptokrasi yang parah. Hal ini menjadi antitesis, di mana suatu tatanan negara yang berlandaskan negara demokrasi seyogianya bisa mencapai skor IPK mendekati skor 100, tetapi justru Indonesia terjebak dalam kubangan kleptokrasi  dengan IPK Indonesia berskor 38.
Dalam perspektif  etymology dictionary,  kleptokrasi (kleptarchy) adalah bentuk korupsi politik dan pemerintahan, di mana pemerintah ada untuk meningkatkan kekayaan pribadi dan kekuatan politik pejabat dan kelas penguasa dengan mengorbankan populasi yang lebih luas, sering kali dengan kepura-puraan layanan yang jujur. Jenis korupsi pemerintah ini sering dicapai dengan penggelapan dana negara. Penggelapan keuangan negara adalah bagian dari delik korupsi yang memperkaya diri, kelompok atau perusahaan secara ilegal.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (7/8/2019) mengatakan, ”Dulu kita sulit menjalankan ekonomi karena negeri kita negara korup. Begitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Jaksa Agung memberantasnya, di Indonesia sudah ada 10 menteri masuk penjara dan 20 gubernur.” Tersandungnya begitu banyak pejabat dengan KPK merupakan indikasi negara dalam cengkeraman kleptokrasi.
Beberapa pejabat negeri, seperti Menteri Perdagangan, Menteri Agama, Menteri Pemuda dan Olahraga; dan juga beberapa direksi BUMN, seperti Direktur Utama PLN,  Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, dan Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II, kesemuanya terduga tersandung pada perilaku kleptokrasi yang koruptif.
Sejauh apa sesungguhnya cengkeraman kleptokrasi di Indonesia bisa kita susuri dari hulu ke hilir bagaimana kegiatan ekonomi berjalan di Republik ini. Kegiatan ekonomi yang berjalan dewasa ini tentunya berjalan sesuai dengan tata laksana hukum ketatanegaraan, dengan hadirnya trias politika, yaitu adanya lembaga eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR dan DPRD), dan yudikatif (kehakiman, kejaksaan, kepolisian, serta Bea dan Cukai dengan berbagai perangkat pendukungnya).
Namun, fakta menunjukkan, komponen trias politika dimaksud tidak bebas dari perilaku kleptokrasi. Setiap komponen memainkan perannya dalam melakukan kejahatan luar biasa.   Kejahatan luar biasa yang dapat dipotret dari versi statistik KPK tentang tindak pidana korupsi (TPK)  selama 2004-2018 diuraikan berdasarkan profesi dari yang tertinggi ke yang rendah secara berturut-turut, yaitu profesi anggota DPR dan DPRD  (247 orang), swasta (238 orang), eselon I/II/III (199 orang), lain-lain (109 orang), wali kota/ bupati dan wakil wali kota/bupati 101 orang), hakim (22 orang), gubernur (20 orang), pengacara (11 orang), komisioner (7 orang), jaksa (7 orang), korporasi (5 orang), duta besar (4 orang), dan polisi (2 orang). Secara total telah terjaring sebanyak 998 orang.
Sementara berdasarkan jenis perkara sejak 2004-2018, secara berurutan dari yang tertinggi ke yang rendah adalah  1)  penyuapan (564 perkara), 2) pengadaan barang/jasa (188 perkara), 3) penyalahgunaan anggaran (46 perkara), 4) TPPU (31 perkara), 5) pungutan (25 perkara), 6) perizinan (23 perkara), dan 7) merintangi proses KPK (10 perkara). Sementara TKP atas dasar instansi/lembaga didominasi yaitu 1) kementerian/lembaga (321  perkara), 2) pemerintah kabupaten/kota (295  perkara), 3) pemerintah provinsi (128 perkara), 4) DPR dan DPRD (67  perkara), 5) BUMN/BUMD (56 perkara), 6) komisi (20 perkara).
Gambaran di atas baru data yang terungkap dari KPK, belum lagi data yang terungkap dari kepolisian dan kejaksaan yang tentu lebih banyak lagi.
Memerangi kleptokrasi
Presiden Joko Widodo dalam ”Pidato Visi Indonesia” (14/7/2019)  menegaskan dengan berapi-api, ia menginginkan ”birokrasi di Indonesia betul-betul efisien dan melayani rakyat. Secara eksplisit ini adalah pernyataan perang terhadap perilaku kleptokrasi.  Wibawa negara harus ditegakkan, pemerintah harus mampu mengikis semua pengaruh perilaku kleptokrasi, bahkan perang total terhadap kuasa kleptokrasi.
Sesuai dengan  Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi, Bab I, Pasal 1, Ayat 3, ”Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 4). Idealnya setiap insan Indonesia memahami, mengetahui, dan memiliki ”ruh” yang melekat  (embeded) tentang ”apa itu tindak pidana korupsi?”.
Dengan adanya persepsi yang sama terhadap tindak pidana korupsi, pelaksanaan pemberantasan korupsi akan semakin terarah, tepat sasaran, efisien, dan efektif. KPK juga berfungsi sebagai trigger mechanism atau lembaga pendorong bagi lembaga yang sudah ada dalam memerangi korupsi, baik secara sistem maupun perilaku kleptokrasi dari aparat.
Korupsi merupakan ”kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dapat dilakukan oleh individu atau kelompok yang ingin memperkaya diri sendiri atau kelompok, orang lain, dan perusahaan secara ilegal. Setiap warga negara harus memaknai secara mendasar bahwa korupsi  adalah juga tindakan yang mencederai nilai- nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara, terutama sila kelima, ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Karena  korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan tindakan menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, maka upaya pemberantasan korupsi juga harus dilakukan dengan cara- cara yang luar biasa, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, peran KPK harus dikedepankan.
Menurut Soekanto (2010: 212-213), ”Tidak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan.” Peranan merupakan aspek dinamis dari suatu kedudukan, bilamana individu atau suatu lembaga  melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka individu atau lembaga dimaksud telah menjalankan perannya. Sesuai dengan UU No 30/2002 tentang KPK Pasal 3, KPK adalah lembaga negara yang melaksanakan tugasnya secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Juga secara tegas dinyatakan, KPK adalah lembaga negara, bukan lagi sebagai badan ad hoc dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Dalam menjalankan perannya, KPK harus merujuk pada UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3, yaitu ”Indonesia adalah negara hukum”. Oleh karena itu, KPK harus menjadikan hukum sebagai panglima yang memiliki  nilai keadilan. Karena tanpa keadilan sebagai tujuan ultimate, hukum bisa terperosok menjadi alat pembenar kesewenang-wenangan penguasa (perilaku kleptokrasi). Jadi fungsi utama dari hukum adalah menegakkan keadilan (Kusumohamidjojo, 1999: 126).
Cengkeraman kleptokrasi terjadi dalam hubungan segitiga, yaitu antara negara, pengusaha, dan masyarakat. Oleh karena itu, KPK harus mampu menjadi lembaga kredibel dalam menerima pengaduan dan melakukan investigasi terhadap praktik-praktik korupsi, baik di sektor publik maupun swasta, meninjau ulang prosedur administrasi di kementerian/lembaga untuk mengeliminasi terjadinya praktik korupsi. Secara undang-undang, KPK memiliki kemandirian politis sehingga KPK harus mampu memainkan independensinya dalam melaksanakan strategi dan manajemen KPK secara simultan.
Juga diperlukan percepatan sinkronisasi dan inisiatif global terkait sektor jasa keuangan dan perpajakan, antara BI, OJK, Kementerian Keuangan, PPATK, perbankan, Kejaksaan Agung, Polri, Kehakiman, dan KPK, khususnya dalam menangani hidden-crime pada lembaga jasa keuangan, baik dalam langkah preventif maupun tindakan represif, harus segera.
Demikian juga dengan pemidanaan terhadap korporasi secara serius, karena dampaknya bisa mencapai sepuluh kali lipat dari pidana biasa, juga untuk menjamin bebas fraud dan korupsi; serta penyelesaian segera terhadap aset-aset yang dinyatakan status hukumnya sudah inkrah, mencakup penyitaan dan pelelangan yang ada di dalam dan luar negeri.
Terakhir, memprioritaskan segera masalah hukum yang sudah masuk dalam investigasi dan penyelidikan oleh KPK, terutama kasus-kasus mega- skandal, seperti BLBI, KLBI, rekapitalisasi perbankan,  kasus Bank Century, klaim-klaim kepemilikan dana oleh masyarakat yang tidak bisa dicairkan (tabungan, deposito, obligasi, asset paper lainnya, dan juga dana-dana yang tidak bertuan di perbankan). Bahkan juga terhadap dana-dana milik korban bencana seperti tsunami Aceh yang tidak jelas yang ada di perbankan nasional, hanya akibat adanya diskresi dan inkonsistensi kebijakan, dana dimaksud menjadi bagian dari legalisasi kleptokrasi.
(Batara M Simatupang ; Lektor MM Indonesia Banking School ; Ketua Bidang Perbankan AIMBA)