Isi undang-undang yang berupa norma dan arahan umum mempunyai ruang lebar dan dapat digunakan untuk berbagai bentuk kebijakan. Bahkan, isi kebijakan dapat disisipi berbagai kepentingan. Hal ini juga terjadi pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Persoalan kehutanan tak hanya ditentukan oleh ”kehutanan” yang dibatasi lingkupnya dalam UU (pasal 1), tetapi juga perilaku masyarakat yang amat ditentukan oleh insentif/disinsentif yang mereka terima. Misal, kondisi pasar, informasi/pengetahuan, atau segala aspek yang memengaruhi biaya dan manfaat yang mereka terima.
Tinjauan 20 tahun pelaksanaan UU Kehutanan dibatasi hal-hal yang menjadi perhatian dan kebutuhan masyarakat. Tujuan jangka panjang menjamin keberadaan hutan, meningkatkan kemampuan dan keberdayaan masyarakat, serta menjamin distribusi manfaat tetap menjadi tonggak masa depan.
Isu pokok
Setidaknya terdapat lima isu pokok pelaksanaan UU Kehutanan. Pertama, kawasan hutan. Sejak 2005 terdapat delapan putusan MK yang mengubah isi UU Kehutanan, terutama mengenai kawasan hutan, seperti soal definisi/batasan kawasan hutan serta hak menguasai negara yang melingkupi hak individual, termasuk tambang di hutan lindung. Terkait kawasan hutan, belum terdapat mekanisme penyelesaian konflik lahan/hutan. Maka, apabila tidak dapat diselesaikan lewat program Perhutanan Sosial, dilaksanakan melalui resettlement dan penegakan hukum.
Dalam praktik, solusi itu sulit dijalankan antara lain akibat luasnya permasalahan dan dampak negatif sosial politiknya. Untuk wilayah dengan luas kawasan hutan kurang dari 30 persen, seperti di Pulau Jawa, Bali, dan Provinsi Lampung, penyelesaian harus melalui tukar-menukar yang tidak mudah.
Pelimpahan pengakuan masyarakat hukum adat dengan hutan adatnya dengan perda (pasal 67), secara operasional juga menjadi hambatan administrasi dan politik, dan praktiknya kalah oleh kecepatan pengurusan izin pemanfaatan hutan di lokasi yang sama oleh swasta.
Kedua, soal efisiensi usaha kehutanan. Secara umum, UU Kehutanan tidak dapat memberi terobosan perizinan ataupun ekonomi pemanfaatan hasil hutan agar menjadi efisien. Bentuk perizinan per komoditas hasil hutan dalam UU (pasal 23-39) menjadi dasar panjangnya rantai perizinan serta menjadi hambatan tumbuhnya inovasi meningkatkan produktivitas.
Ketiga, mengenai rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Sejauh ini, RHL berjalan berdasarkan sistem kontrak sehingga bukan bagian dari pengembangan masyarakat serta masih berdasarkan dana hibah yang tidak mempunyai jangkauan untuk keberlanjutan hasilnya.
Ketimpangan organisasi
Keempat, mengenai ketimpangan organisasi. Problematika kehutanan berada di lapangan, sementara kapasitas organisasi timpang dengan pemusatan sumber daya di Jakarta dan ibu kota provinsi. Karakteristik pengelolaan sumber daya hutan yang khas, yaitu cenderung bersifat open access dengan high exclusion cost sehingga cukup besar upaya mengeluarkan pihak- pihak yang tidak berhak, belum menjadi dasar pembentukan organisasi kehutanan. KPH masih repot dengan fungsi administrasi sehingga kurang mampu menjalankan mandat.
Kelima, hubungan kehutanan dengan UU lainnya perlu perhatian, misalnya dalam pelaksanaan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang terdapat kasus-kasus yang menjadi ajang pemutihan atas ketelanjuran penggunaan kawasan hutan. Selain itu, belum ada kejelasan norma hubungan antara pembangunan kehutanan dan UU lain, seperti UU No 32/2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya dalam hal integrasi pengelolaan DAS dengan hutan lindung dan kawasan konservasi.
Dengan UU No 9/2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PNBP semestinya tidak sekadar sebagai pendapatan pemerintah, tetapi juga berfungsi sebagai pengendalian dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Selain itu, dengan UU No 25/2004 tentang Perencanaan Pembangunan juga belum terdapat norma perlunya perencanaan multi-years dan perhatian terhadap karakteristik pembangunan berbasis sumber daya alam dan masyarakat yang khas. Misalnya, belum ada penetapan pengelolaan tapak sebagai basis informasi perencanaan, dasar penetapan output/outcome (produktivitas hutan) pelaksanaan program/kegiatan serta delegasi kewenangan akibat ragam situasi lapangan.
Tidak kalah penting, dengan UU No 7/2014 mengenai Perdagangan, dapat dipergunakan menjadi pengatur harga sebagai insentif membangun hutan ataupun evaluasi terhadap perlindungan industri pengolahan kayu yang telah berjalan dalam 40 tahun terakhir melalui proteksi harga bahan baku (log).
Selain berbagai UU itu, selayaknya pembangunan kehutanan juga berkepentingan atas gagasan lahirnya UU Pengelolaan Kekayaan Negara. Dengan adanya UU ini, diharapkan terdapat kedudukan hutan sebagai aset yang diperhitungkan dalam akuntansi usaha ataupun dalam pengelolaan hutan.
Pengaruh cara berpikir
Adanya doktrin scientific forestry ”kayu sebagai unsur utama (timber primacy)”, ”kelestarian hasil (sustained yield)”, ”jangka panjang (the long term)”, dan ”standar mutlak (absolute standard)” di dunia kehutanan umumnya telah diketahui sebagai penyebab kesulitan dalam melakukan inovasi karena ada hambatan akibat dari pemikiran yang cukup sempit (kayu), a-sosial, konservatif, dan teknikal-absolut sehingga cenderung terjadi penyeragaman.
Perubahan fakta lapangan—kian luasnya kebangkrutan usaha hutan alam, ketimpangan akses, dan ketidakpastian kawasan—belum dapat mengubah doktrin itu. Ditambah dali-dalil administrasi, kekakuan sifat birokrasi, serta berjalannya hukum positif, terbentuklah pemikiran, sikap, dan tindakan ”baku”, padahal sifat-sifat sumber daya hutan beserta kondisi sosial politiknya sangat beragam. Teks UU dimaknai secara terbatas dan kondisi lapangan dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan cenderung diabaikan.
Sebagai norma landasan pembangunan yang melingkupi sekitar 65 persen luas daratan Indonesia, UU Kehutanan menjadi dasar mewujudkan tujuan pembangunan nasional, tetapi terdapat kelemahan-kelemahan seperti ditunjukkan sebelumnya. Sampai batas tertentu, kelemahan-kelemahan itu dapat ditutupi atas dukungan politik nasional, misalnya terkait kebijakan afirmatif untuk mewujudkan keadilan akses pemanfaatan hutan.
Dua kelemahan
Dua hal setidaknya menjadi kelemahan atas kondisi demikian itu. Pertama, perjalanan politik nasional selama ini terbukti tidak stabil. Pergantian rezim dapat mengubah arah kebijakan. Dalam hal ini, kelemahan UU Kehutanan justru dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan kelompok dan bukan diatasi demi kepentingan publik.
Kedua, kelemahan UU Kehutanan juga tak memungkinkan perbaikan pembangunan kehutanan akibat pertimbangan masyarakat sendiri melalui insentif/disinsentif mekanisme pasar (market transactions). Perjalanan sejauh ini, ”sistem paksaan” (administrative transactions) cenderung menjadi pendorong, dan ini rentan terhadap kembalinya perilaku ke kondisi semula.
Perubahan isi UU Kehutanan dengan demikian mendesak dilakukan. Namun, UU tak dapat sendirian jadi pendorong perbaikan pembangunan kehutanan. Arah politik nasional dan kekuatan masyarakat sipil sangat penting untuk mewujudkan tujuan UU itu.

Hariadi Kartodihardjo ; 
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor