Seorang petani di Aceh terancam bui setelah disangka mengedarkan benih padi (IF8) yang dikembangkannya. Kasus serupa menimpa petani di Nganjuk dan Kediri. Benih IF8 dinyatakan belum dilepas menteri pertanian sebagaimana disyaratkan Pasal 12 Ayat 1 UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Padahal, benih ini diklaim memiliki produktivitas menakjubkan di kisaran 11 ton per hektar dan mendapatkan banyak penghargaan.
Sebenarnya, selain badan hukum, perseorangan (termasuk petani) dapat mengedarkan varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri setelah dilepas pemerintah. Ini dinamakan benih bina. Namun, itu saja tidak cukup. Masih perlu sertifikasi sesuai standar pemerintah dan wajib diberi label.
Tak dimungkiri, tujuan normatif regulasi ini sangat mulia: mencegah timbulnya pencemaran lingkungan. Namun, tak dapat disalahkan pula jika ada kecurigaan hanya untuk membela kepentingan perusahaan.
Penerjemahan dalam aturan yang lebih teknis sangat sulit dilaksanakan oleh perseorangan (terutama petani) yang umumnya memiliki sumber daya terbatas. Bagaimana tidak, merujuk pada Permentan 39/Permentan/OT.140/2006 tentang produksi, sertifikasi, dan peredaran benih bina, syaratnya sangat sulit dilakukan oleh petani pada jamaknya. Petani minimal harus sudah mempekerjakan 10 tenaga tetap, memiliki aset di luar tanah dan bangunan minimal Rp 500 juta, dan omzet penjualan Rp 5 miliar per tahun.
Padahal, berkaca pada Survei Pertanian Antarsensus (Sutas) 2018, rumah tangga petani masih didominasi petani kecil atau petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 ha, yaitu 15,8 juta. Data ini ditunjang paparan statistik pendapatan BPS per Februari 2018 yang menyatakan rata-rata pendapatan per bulan petani masih di kisaran Rp 963,4. Sangat berat.
Tak pelak, implementasi di lapangan regulasi ini menimbulkan banyak masalah. Terbukti dengan adanya gugatan oleh 12 pemohon terkait regulasi ini ke MK. Termaktub dalam putusan No 99/PUU-X/2012, amar putusan MK telah mengubah Pasal 12 Ayat 1 UU No 12/1992, dengan menyatakan ”Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah kecuali hasil pemuliaan oleh perorangan petani kecil dalam negeri”.
Respons juga datang dari legislatif dan eksekutif. DPR bersama DPD telah memasukkan RUU tentang perubahan atas UU No 12/1992 dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Dalam perkembangannya, saat ini DPR bersama pemerintah sedang dalam tahap pembahasan RUU.
Harapan RUU
Selayaknya draf RUU itu dapat mengakomodasi putusan MK dengan mengecualikan petani kecil dalam mengedarkan varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri. Artinya, diharapkan petani kecil diizinkan mengedarkan hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri tanpa perlu menunggu pelepasan pemerintah di tahap awal dan sertifikasi serta pelabelan di tahap lanjutan.
Solusinya, petani kecil cukup melaporkan sebagai bentuk peregistrasian kepada lembaga yang menaungi baik di daerah maupun di pusat. Dalam hal ini dapat berjenjang, dari dinas pertanian kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Pada sisi lain lembaga yang menaungi juga harus aktif merespons tatkala ada temuan varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri.
Dalam hal ini, fungsi pembinaan dan pendampingan perlu dijalankan. Agar lebih fair, tatkala ada kompromi ini perlu juga diatur terkait peredarannya. Sambil menunggu proses pelepasan oleh pemerintah, sertifikasi dan pelabelan, peredarannya perlu dibatasi. Misalkan tetap diperbolehkan untuk digunakan sendiri dan/atau oleh kelompok atau komunitas dalam jumlah atau skop tertentu.
Semoga di akhir sisa periode jabatan ini RUU tersebut dapat rampung agar petani kian bergairah untuk berinovasi dan berbuah apresiasi. Bukan bui.
(Ihsannudin ; Dosen Agribisnis Universitas Trunojoyo, Madura, Bangkalan, dan Narasumber RDP-U Revisi UU 12/1992 DPR RI)