Tanggal 4 Agustus 2019 menjadi salah satu hari paling kelabu dalam dunia kelistrikan Tanah Air. Hari itu, dan keesokan harinya, aliran listrik mati total di sebagian besar wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dalam waktu yang bersamaan.
Matinya aliran listrik lebih dari enam jam itu mengakibatkan wilayah DKI dan wilayah penyangganya lumpuh total. Hampir seluruh aktivitas perekonomian, mulai dari transportasi umum, industri, hingga perdagangan, mengalami kelumpuhan. Bahkan, kelumpuhan kegiatan juga terjadi di seluruh aktivitas dan kegiatan ekonomi yang berbasis teknologi daring, seperti transportasi daring, e-dagang, dan media sosial. Hal ini karena matinya aliran listrik juga mengakibatkan matinya jaringan internet di hampir semua penyedia jaringan.
Matinya aliran listrik di DKI ini jadi pukulan telak bagi Indonesia mengingat saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya mengampanyekan kesiapan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang berbasis teknologi daring dan sangat mengandalkan kesiapan sektor kelistrikan. Selain itu, matinya aliran listrik ini terjadi di ibu kota negara yang menjadi wajah dan sampul depan negara Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, sangat dapat dipahami jika Presiden Joko Widodo sangat kecewa terhadap kejadian tersebut.
Meski PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) telah memberikan keterangan teknis cukup rinci soal fenomena ini, masih terdapat beberapa catatan penting yang belum terjawab secara tuntas, terutama masalah-masalah substantif berkaitan dengan tingkat daya tahan dan keberlanjutan sumber energi listrik di Indonesia.
PLN telah menjelaskan penyebab utama matinya aliran listrik di wilayah DKI, Jawa Barat, dan Banten adalah adanya gangguan transmisi saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) 500 kV di Ungaran dan Pemalang. Gangguan transmisi ini terjadi karena ada kelebihan beban listrik, khususnya di wilayah Jakarta, Bekasi, dan Banten. Gangguan ini mengakibatkan transfer energi dari timur ke barat mengalami kegagalan dan diikuti trip seluruh pembangkit di sisi tengah dan barat Jawa.
Terlepas dari penjelasan teknis PT PLN mengenai gangguan yang menjadi penyebab matinya aliran listrik di wilayah barat Jawa, sistem ketenagalistrikan Indonesia yang sudah menggunakan sistem interkoneksi ternyata masih memiliki kelemahan cukup riskan. Dengan segala kelebihannya, ternyata sistem interkoneksi memiliki kelemahan-kelemahan yang apabila tidak ditangani dengan baik, kelemahan itu dapat menyebabkan gangguan sistemik ke seluruh jaringan yang interkoneksi tersebut.
Sumber energi alternatif
Selama ini pasokan listrik di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten berasal dari tiga pembangkit, yaitu pembangkit di Suralaya (Cilegon) dan Muara Karang, serta tambahan dari pembangkit di timur Jawa. Sistem aliran listrik dari ketiga wilayah itu sudah menggunakan jaringan interkoneksi sehingga ketika terjadi gangguan di salah satu pembangkit, gangguan tersebut bisa menjalar ke pembangkit lain.
Kejadian matinya aliran listrik di wilayah barat Pulau Jawa menjadi bukti rentannya sistem interkoneksi tenaga listrik di Indonesia. Sistem interkoneksi akan sangat berisiko jika sumber energi listrik sangat terbatas seperti sekarang. Saat ini sumber pasokan utama energi listrik di wilayah DKI, Jawa Barat, dan Banten masih mengandalkan pembangkit Suralaya, Muara Karang, dan wilayah timur Jawa. Dengan hanya mengandalkan ketiga sumber tersebut, otomatis sistem interkoneksi tenaga listrik di wilayah barat Jawa akan sangat berisiko.
Indonesia sangat kaya sumber energi, seperti tenaga angin, air, dan matahari, tetapi selama ini hanya mengandalkan energi fosil tak terbarukan untuk sumber energi, termasuk energi listrik. Sampai saat ini sebagian besar mesin pembangkit PLN masih mengandalkan bahan bakar minyak dan batubara yang tak ramah lingkungan dan harga serta pasokannya dipengaruhi stabilitas ekonomi politik.
Dengan kekayaan sumber energi melimpah, Indonesia seharusnya memiliki banyak cadangan energi listrik. Semua wilayah seharusnya tak hanya mengandalkan sumber yang terbatas, baik dari sisi jumlah maupun output produksinya. Indonesia punya potensi pembangkit listrik tenaga air (hydropower) 75 GW (HPPS 1983). Dari potensi ini, baru dimanfaatkan sekitar 4 GW atau hanya sekitar 5,3 persen. Begitu pula sumber energi lain seperti energi matahari dan angin yang pemanfaatannya jauh di bawah potensi.
Pemanfaatan sumber energi alternatif ini memang butuh investasi awal sangat besar dan ini jadi kendala terbesar di tengah kondisi keuangan negara yang sangat terbatas. Namun, pembangunan sumber energi alternatif harus tetap direncanakan dengan baik karena dalam jangka panjang bisa jauh lebih murah dibandingkan dengan energi fosil.
Dengan berbagai sumber energi listrik, Indonesia memiliki tingkat diversifikasi energi yang sangat baik dan tentu akan menjadikan Indonesia memiliki lebih banyak cadangan energi yang bisa meningkatkan ketahanan energi nasional secara keseluruhan.
Investasi awal yang sangat mahal itu sejatinya bisa dilakukan dengan pola kerja sama dengan swasta. Pemerintah bisa membuka peluang investasi swasta di bidang energi, terutama energi terbarukan. Pemerintah harus bisa menawarkan imbal hasil yang cukup tinggi serta insentif mengingat investasi di bidang tersebut memiliki risiko tinggi.
Hambatan investasi
Sayang, sejauh ini Indonesia masih dikenal sebagai negara yang kurang ramah terhadap investasi di bidang energi. Data OECD tentang Regulatory Restrictiveness Index (RRI) membuktikan Indonesia termasuk negara dengan hambatan regulasi tertinggi di dunia, peringkat ke-44 dari 69 negara dengan nilai FDI RRI Index 0,31, jauh di atas rata-rata negara OECD yang hanya 0,07. Tidak mengherankan jika kinerja investasi energi di Indonesia masih rendah.K
Proyek pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW menjadi contoh riil permasalahan ini. Masalah pembebasan lahan, regulasi yang sinergis antara pusat dan daerah, serta sinergi kebijakan antarkementerian dan lembaga sampai saat ini masih jadi permasalahan yang merintangi pembangunan proyek yang sangat prestisius tersebut. Akibatnya, proyek ini masih jalan di tempat, padahal sangat diperlukan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sampai titik optimal.
Tingkat elastisitas antara ketersediaan energi listrik dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam rentang 10 tahun terakhir berkisar 0,5 sampai 1,6.
Dengan kata lain, Indonesia membutuhkan tambahan produksi listrik dalam jumlah besar jika ingin melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi, kebutuhan ketersediaan energi listrik berkisar setengah sampai 1,6 kali pertumbuhan ekonomi tersebut.
Matinya aliran listrik di DKI, Jawa Barat, dan Banten pada 4 Agustus lalu hanya puncak dari gunung es yang masih menyimpan permasalahan substansial sangat besar. Matinya aliran listrik secara massal bisa terus berulang jika permasalahan substansialnya tak bisa diselesaikan dengan baik. Peran swasta sangat diharapkan untuk menyelesaikan masalah listrik ini, tetapi tentu pemerintah juga harus menjamin kepastian hukum jangka panjang. Jangan sampai instabilitas politik jangka pendek bisa memengaruhi regulasi dan kebijakan yang telah dibuat.
Jika PLN mampu meningkatkan produksinya dalam jumlah signifikan, cadangan energi listrik untuk seluruh wilayah Indonesia akan terpenuhi serta masalah pemadaman bergilir dan matinya aliran listrik seperti kemarin akan terselesaikan dengan sendirinya.
(Agus Herta Sumarto ; Dosen FEB Universitas Mercu Buana dan Peneliti Indef)