Berturut-turut tiga lembaga negara, yakni Badan Pemeriksa Keuangan, Ombudsman RI, dan DPR, menyoroti kinerja Otoritas Jasa Keuangan.
Apa yang salah  dengan  lembaga superbodi OJK  dengan nilai pengawasan yang demikian besar?
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS)  II/2017 BPK, setidaknya ada dua hal yang membuat penunjukan  Pengelola Statuter Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera oleh OJK menyalahi aturan sehingga  penyelesaian permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB) dinilai berlarut-larut. OJK tak melakukan  uji kepatutan dan kelayakan kepada jajaran pengelola statuter  yang ditunjuk untuk merestrukturisasi perusahaan asuransi tertua di Indonesia itu.
Menurut BPK, ini menyalahi aturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Pasal 12 Ayat 1 menyatakan anggota direksi, anggota dewan komisaris atau yang setara anggota direksi dan anggota komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan.
Selain itu, penunjukan itu juga melanggar Peraturan OJK No 41/POJK.05/2015 tentang Tata Cara Penetapan Pengelola  Statuter pada Lembaga Jasa Keuangan dan Surat Edaran OJK No 31/SEOJK.05/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan Nonbank. BPK melihat pengelola statuter yang ditunjuk  tak melaksanakan tugas dengan baik dan OJK dinilai tak tegas dalam pengawasan atas Bumiputera.
Peraturan perundang-undangan yang diamanatkan UU No 40/2014 tentang Perasuransian belum seluruhnya terbentuk. UU No 40/2014 antara lain mengamanatkan pembentukan UU tentang penjaminan polis dan  peraturan pemerintah (PP) yang mengatur badan hukum usaha bersama. Kedua peraturan ini belum ada sampai saat ini.
Hal ini antara lain mengakibatkan hak pemegang polis tak sepenuhnya terjamin dan ada ketidakpastian hukum atas perusahaan asuransi dengan bentuk usaha bersama. Kondisi ini akibat pembentukan UU dan PP itu melibatkan berbagai pihak, serta yang menetapkan adalah DPR dan pemerintah.
Selanjutnya  dalam IHPS I/2018, BPK mengungkapkan temuan atas  penerimaan pungutan OJK 2015-2017 sebesar Rp 493,91 miliar belum diserahkan ke negara, penggunaan penerimaan atas pungutan melebihi pagu sebesar Rp 9,75 miliar, gedung yang disewa dan telah dibayar Rp 412,31 miliar tetapi tidak dimanfaatkan,  utang pajak badan OJK per 31 Desember 2017 sebesar Rp 901,10 miliar belum dilunasi.
Permasalahan ini disebabkan Dewan Komisioner OJK lalai menyetorkan kelebihan penerimaan pungutan yang melebihi anggaran yang disetujui DPR, dan tak menyetorkan dana yang berasal dari sisa anggaran yang tak digunakan OJK ke kas negara sesuai ketentuan UU No 21/2011 tentang OJK dan PP No 11/2004 tentang Pungutan OJK.
Ombudsman RI berpandangan  lambannya  upaya penyelamatan  industri asuransi jiwa nasional terjadi karena jajaran OJK gagap dalam menghadapi kasus gagal bayar yang saat ini terjadi di Bakrie Life, AJB Bumiputera, dan Jiwasraya (Persero).
Sebagai regulator di industri keuangan , Ombudsman menilai seharusnya jajaran OJK  memiliki standardisasi yang baku dalam mengawasi hingga menyikapi tatkala terdapat perusahaan  asuransi bermasalah. Terakhir diberitakan Komisi XI DPR mewacanakan untuk mengevaluasi secara menyeluruh kinerja OJK. Evaluasi secara menyeluruh dilakukan menyusul  lemahnya kinerja jajaran OJK dalam mengawasi industri keuangan nasional.
Evaluasi terhadap kinerja OJK dinilai harus dilakukan demi meminimalkan dampak sistemik dari banyaknya masalah di sektor keuangan, mulai dari perundang-undangan, fungsi pengawasan, hingga soal  sumber daya manusia yang dimiliki OJK. Dengan berbagai temuan dan evaluasi ketiga lembaga negara, kita mempertanyakan apa yang salah dengan OJK sebagai lembaga dengan kekuasaan demikian besar untuk mengawasi industri keuangan nasional.
Kelemahan pengawasan
Pembentukan OJK merupakan rekomendasi dari Dana Moneter Internasional (IMF) dengan mengambil contoh Financial Service Authority (FSA) di Inggris. IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga keuangan yang terpisah  dari kementerian keuangan dan bank sentral dengan mengambil model FSA di Inggris. Dalam kenyataannya, FSA justru dipandang gagal  melaksanakan tugas dan wewenangnya, khususnya ketika Inggris dihadapkan  kepada krisis finansial global 2008.
FSA Inggris pun tak dapat mendeteksi kondisi keuangan The Northern Rock, bank penyedia kredit perumahan skala kecil yang menempatkan dananya dalam porsi cukup besar di sub prime mortgage yang menjadi masalah di AS. Pemerintah Inggris terpaksa mengambil alih bank itu untuk menyelamatkannya.
Belakangan Inggris justru mengembalikan sistem pengawasan bank dari model otoritas jasa keuangan atau FSA ke bank sentral.  Pada 19 Desember 2012, Financial Security Act 2012 disetujui  oleh Kerajaan  Inggris  dan  1 April 2013 FSA dibubarkan  dan diganti Financial Conduct Authority dan Prudential Regulatory Authority  di bawah pengawasan Bank Sentral Inggris.
Pendirian OJK telah mengundang pro-kontra panjang tentang pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan   industri nonbank yang semula di tangan Badan Pengawas  Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sejak  31 Desember 2012 dan industri perbankan  dari tangan Bank Indonesia  ke OJK sejak 31 Desember 2013  berdasarkan UU No 21/2011 tentang OJK.
OJK bahkan menghadapi uji materi di Mahkamah Konstitusi dalam perkara No 25/PUU-XII/2014 atas permohonan Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa  yang mempersoalkan konstitusionalitas  independensi OJK. Terkait fungsi pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap keseluruhan  kegiatan sektor jasa keuangan dinilai  dapat berdampak penumpukan kewenangan yang  menimbulkan potensi moral hazard  sehingga menjadi sulit terkontrol.
Pemohon uji materi juga mendalilkan pungutan OJK terhadap bank dan industri jasa keuangan justru dapat mengurangi kemandirian OJK dan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan industri jasa keuangan. Dalam hal terjadi kelebihan hasil pungutan, dikatakan akan diserahkan sebagai penerimaan negara yang memicu tanda tanya akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN.
Uji materi ditolak, tetapi MK  mengabulkan  permohonan para pemohon untuk sebagian  dengan menyatakan frasa ”dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata independen, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat  .
Uji materi yang lain terkait dengan kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK seperti termuat dalam Pasal 1 Angka 1  dan Pasal 9 Huruf c UU  No 21/2011 tentang OJK. Menurut para pemohon perkara nomor 102/PUU–XVI/2018 yang terdiri atas para pengajar fakultas hukum, Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta  Sekar Bidara, wewenang OJK melakukan penyidikan bertentangan dengan konsep due process of law yang terkandung dalam konsep negara hukum Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945  dan kepastian hukum yang adil Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945. Sebab, dalam Pasal 6 KUHAP, wewenang penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil.
Melakukan pengawasan atas  aset industri keuangan senilai Rp 16.000 triliun bukan perkara mudah bagi OJK. Salah satunya adalah  SDM pengawas yang dinilai kurang, baik dalam jumlah maupun kualitas, meskipun OJK telah melakukan perekrutan sejak berakhirnya masa transisi pengawas  eks BI akhir 2015 di mana sebagian kecil telah memilih kembali ke BI. Sebagai perbandingan, Monetary  Authority of Singapore memiliki sekitar 5.000 personel dan selalu melakukan perekrutan terbuka.
Kasus demi kasus investasi bodong, kredit macet, maupun gagal bayar asuransi dan emiten   menunjukkan kelemahan OJK dalam pengawasan. Kita ambil contoh kasus Primaz, Cakrabuana Sukses Indonesia, Q Net, PT Sukses Bangun Indonesia, PT Alsi Investindo Utama  (2016), Asuransi Bumiputera (2017), Asuransi Jiwasraya, SNP Finance (2018), dan Duniatex  baru-baru ini  yang setara Rp 18,61 triliun.
Sejumlah paradoks
Kita melihat sejumlah paradoks yang melekat pada eksistensi OJK saat ini. Pertama, sebagai lembaga independen pengatur dan pengawas industri keuangan yang terlepas dari BI dan Kementerian Keuangan, OJK justru  sebagian besar diawaki tenaga eks BI dan Kementerian Keuangan. Dari total pengawas  bank di OJK sebanyak 1.800 orang, 1.075 orang merupakan pinjaman dari BI. Selebihnya dari Bapepam-LK, Kementerian Keuangan, dan hasil perekrutan OJK.
Dari 1.075 pegawai BI yang ”dipinjamkan” ke OJK, hanya sebagian kecil yang akhirnya kembali ke BI. Dewan Komisioner OJK, baik  periode 2012-2017  maupun  periode sekarang, tak menyisakan satu pun komisioner dari  luar birokrat dan perbankan.
Kedua,  dengan fungsi perlindungan konsumen yang dimiliki, OJK bahkan tidak memiliki tenaga komisioner yang mewakili kelompok konsumen pengguna jasa keuangan. Dalam banyak kasus pengaduan klaim asuransi nasabah ke  OJK sangat minim perhatian dan kepedulian OJK dalam menangani keluhan nasabah. Termasuk kasus nasabah asuransi yang ditutup atau dipailitkan oleh OJK, nasabah harus berjuang sendiri tanpa fasilitas mediasi dan advokasi yang tersedia di OJK.
Ketiga,   OJK lembaga   independen, tetapi dibiayai dari  pungutan iuran industri. Hal ini menimbulkan benturan kepentingan dengan fungsi perlindungan konsumen OJK berhadapan dengan para pelaku sektor jasa keuangan yang menjadi sumber pungutan  iuran OJK.
Dari sisi pelaku industri jasa keuangan, iuran yang dipungut OJK dipandang memberatkan. Besar iuran 0,045 persen dari aset, sedangkan bagi semua lembaga keuangan besaran aset tak selalu produktif menghasilkan pendapatan atau laba. Terlebih pada saat rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) tinggi sebagai cermin ketidakefisienan.
OJK dalam Statistik Perbankan  Indonesia menyebutkan per Januari 2019 posisi BOPO perbankan  naik ke tingkat 87,79 persen   dari akhir Desember 2018 sebesar 77,86 persen, dibandingkan BOPO  rata-rata bank di ASEAN berkisar 40-60 persen.  Data riset sebuah media atas neraca publikasi asuransi 2017 menunjukkan rasio beban (klaim, usaha, dan komisi) terhadap pendapatan premi neto asuransi umum  rata-rata 125,08 persen dan asuransi jiwa rata-rata 118,02 persen.
Dengan gambaran itu, maka, pertama, kita perlu meningkatkan pengawasan atas OJK. Saat ini belum ada lembaga pengawasan yang terpisah dari struktur organisasi OJK seperti halnya Badan Supervisi BI yang bertanggung jawab kepada DPR. Kedua, mempercepat penyelesaian UU perlindungan pemegang polis dan PP tentang  bentuk badan usaha bersama.
Ketiga, dengan kian pesatnya perkembangan teknologi  keuangan  era digitalisasi dan  meningkatnya ancaman cyber crime di industri keuangan,   DPR bersama pemerintah yang akan datang perlu melakukan terobosan legislasi dalam satu paket sekaligus merevisi UU OJK, UU Perbankan, dan UU BI untuk mewaspadai risiko sistemik industri keuangan keseluruhan.
(Irvan Rahardjo ; Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia)