Komik propaganda hidup berdampingan dengan komik (sejarah) perjuangan. Namun, jika komik perjuangan bertujuan agar publik menghargai fakta historis dan terkobarkan patriotismenya, seperti khawatir sejarah dan kepahlawanan memudar dalam jarak waktu, komik propaganda lahir dari situasi konflik.
Dalam konteks situasi konflik yang sedang berlangsung, terluncurkanlah komik propaganda dengan tujuan membuat pembacanya berpihak.
Dua komik yang digubah Este, Pelaksana2 Trikora (1963) dan Hantjurnja Kubu Nekolim (1963), jelas dibuat dalam rangka kampanye Rebut Irian Barat (1962-1963) dari Belanda dan Konfrontasi Malaysia (1962-1966) untuk membebaskan ”Kalimantan Utara” (Brunei Darussalam, Sabah, Sarawak) dari penguasaan ”Nekolim” (Neo-kolonialisme—maksudnya Inggris) yang membuat Malaysia sebagai—dalam istilah Soekarno—”negara boneka”. Dalam kedua komik ini, terhadap pihak lawan dalam konflik, dilakukan peng-iblis-an (demonisasi), menjadikan karakternya hitam, sementara penduduk lokal dan tentara Republik Indonesia (RI) tentulah karakternya putih karena digambarkan serba baik adanya.
Jika tentara Belanda dan Inggris digambarkan kejam, tak berperikemanusiaan, kadang ”bodoh” pula, dengan serdadu Malaysia jadi anteknya, yang merupakan klise sebuah propaganda; masih tetap menarik untuk menengok pengaturan posisi antara penduduk lokal dan RI yang tentaranya digambarkan sebagai ”pembebas” nan superior.
Terhadap Belanda atau Inggris, meski persenjataannya unggul, kecerdikan pihak RI dapat dipastikan bisa mengatasinya. Terhadap penduduk atau pejuang lokal, tentara RI menjadi pembimbing, bahkan pelindung, meski terhadap pihak lokal ini tetap diberi peran dalam kontribusi bagi kemerdekaannya sendiri.
Sehalus-halusnya propaganda
Dalam pengamatan, kiranya intra-kontestasi atau pertandingan di dalam suatu pihak justru lebih menarik dan perlu dibongkar, antara lain karena perspektif waktu sudah menetralisasi efek propagandanya, dengan menilainya kembali dalam konteks historis: apa yang selanjutnya terjadi, dan bagaimana jadinya wilayah-wilayah konflik tersebut pada masa kini.
Pembongkaran intra-kontestasi ini menjadi penting, ketika propaganda tersisip halus, karena jarak waktu yang panjang belum tentu menghapus konflik, kali ini dalam legitimasi historis. Ini terjadi misalnya dengan komik Seri Perjuangan Sudirman yang diterbitkan Pusat Sejarah TNI.
Seperti komik perjuangan yang komersial, mungkin kepentingannya sama: menegaskan bahwa aksi militer berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia. Namun, jika komik perjuangan komersial lebih mementingkan kreativitas dalam penghiburan, Seri Perjuangan Sudirman ini (seperti Perintah Siasat [Raestu Dwi Atmaja/Kusuma, 2016], Supit Urang [Nur Samsudin/Kusuma, 2016], Rumah Gerilya Sobo [Raestu Dwi Atmaja/Kusuma, 2016], Serangan Umum Solo [Sigit Sujatmiko/Nike Pangat Widayanti, 2016]), begitu mementingkan akurasi sejarah, yang tentu tidak ada salahnya.
Masalahnya, segenap akurasinya bukan sekadar demi kepentingan historis, melainkan politis: siapa yang lebih berperan, tentara atau politikus, perang gerilya atau diplomasi?
Secara eksplisit bahkan disebut, betapa diplomasi tidak membawa langkah berarti. Jadi, Seri Perjuangan Sudirman adalah propaganda juga, bukan melawan Belanda, melainkan dalam intra-kontestasi dengan peranan sipil, dalam hal ini politikus.
Dari kasus gubahan Este terbitan Pantja Djaja, Bandung, ataupun gubahan tim Pusat Sejarah TNI, kategori propaganda tidak dapat diingkari: apakah itu propaganda ”kasar” seperti peng-iblis-an Belanda dan Inggris ataukah yang ”halus”, seperti pembentangan fakta perjuangan militer, tetapi menunjukkan kekurangberdayaan sipil.
Hantjurnja Kubu Nekolim dan Pelaksana2 Trikora tampak digubah oleh orang yang sudah terbiasa bikin komik, dengan gambar, alur, komentar, serta balon yang penyusunannya lebih dari memadai sehingga dengan segenap sikap kritis terhadap beban propagandanya tetap enak diikuti.
Sebaliknya, dalam Seri Perjuangan Sudirman meski akurasi fakta sejarahnya lebih dari mencukupi, tidak terimbangi dengan memadai sebagai komik sehingga kekayaan datanya tidak termanfaatkan dengan baik. Ibarat kata belum menjadi komik yang konsepnya paduan kata dan gambar karena masing-masingnya masih tempelan.
Propaganda kritis
Ini berarti komik propaganda masih berpeluang diakui sebagai komik yang baik, bahkan terbaik, jika cara berceritanya mengerahkan kreativitas yang mengabdi pada kualitasnya sebagai naratif gambar. Komik Bentjah Menggelegak (1962) gubahan Taguan Hardjo juga dapat digolongkan sebagai propaganda agar berpihak pada Indonesia dalam sengketa wilayah Irian Barat (Papua dan Papua Barat sekarang) dengan Belanda, tetapi yang diikuti pembaca adalah tragedi manusia dalam kemelut sejarah.
Betapa bukan tragedi jika Amnah, budak Belanda yang menikah dengan Ramut, putra Papua, secara Islam, melahirkan anak hasil pemerkosaan Hoender, majikannya, sementara suaminya terserap pusaran di laut gelap dalam pengejaran? Namun, tragedi yang sebenarnya baru terjadi ketika setelah dewasa, dalam konflik Indonesia dan Belanda, Cita, anak Amnah itu, membunuh Hoender.
Kemenangan Indonesia, tetapi luka bagi kemanusiaan. Propaganda ironis yang membuat komiknya bermutu. Bukan hanya dengan cara bertutur klasik baris-komik tanpa balon, melainkan juga gambarnya yang rinci, kelam, dan sendu melalui teknik realis yang nyaris puitis dalam penggambaran membumi.
Dalam komik ini, empati terhadap penduduk lokal mengundang pemikiran kritis terhadap kepentingan pihak luar di bumi Papua. Apabila ”bencah menggelegak” dimaksud sebagai nama kampung, berarti penamaan itu simbolik, dan segalanya pun menjadi simbolik. Konstruksi identitas Cita dapat ditafsir sebagai keberadaan Papua masa depan, yakni hari ini: bukan anak Ramut, melainkan Amnah dan Hoender. Empati tergugah bagi suatu kerumitan. Ironis sekaligus kritis.
Demikianlah kiranya, bagaimana propaganda tidak mesti merendahkan komik sebagai seni bercerita.
SENO GUMIRA AJIDARMA, Wartawan