Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin diharapkan dapat menyusun strategi kebijakan ekonomi yang ampuh dan memilih personel yang kompeten untuk kabinetnya. Kebijakan yang ampuh dapat segera mewujudkan cita-cita tahun emas 2045 menjadikan Indonesia sebagai negara industri maju.
Ada dua jenis perubahan mendasar kebijakan ekonomi yang perlu ditempuh. Pertama, mengubah orientasi pembangunan ekonomi ke arah ekspor dengan memanfaatkan rantai pasokan global (global supply chain/GSC) dan posisi silang Indonesia yang strategis di antara dua samudra besar (Samudra Hindia dan Pasifik) serta dua benua besar (Asia dan Australia).
GSC terjadi berkat kemajuan teknologi transportasi dan telekomunikasi yang memungkinkan terjadinya proses produksi dalam berbagai rangkaian dan tahapan sehingga tahapan produksi dapat dilakukan di berbagai negara.
Mengikuti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, Deng Xiaoping mengubah strategi berdikari pembangunan ekonomi China dari berdikari ala Mao Zedong ke arah yang berorientasi pada ekspor. Ekspor padat karya China diawali dengan ekspor tusuk gigi, dan kerajinan serta pakaian jadi murahan yang bisa diproduksi oleh rakyat banyak.
Setelah menguasai teknologi, baru secara perlahan China mengekspor produk teknologi canggih, termasuk tas dan pakaian mewah, microchip G5 yang canggih, kereta api supercepat, dan kapal terbang penumpang.
Selama 40 tahun terus-menerus, sejak 1987, ekonomi China tumbuh 7-10 persen per tahun, pendapatan per kapita naik pesat, dan rasio kemiskinan menjadi berkurang. Sekarang produk domestik bruto (PDB)-nya sudah melampaui Jepang dan nomor dua setelah AS.
Kedua, meningkatkan tabungan nasional dari sumber: (i) pajak; (ii) lembaga-lembaga keuangan; dan (iii) pembagian keuntungan perusahaan negara (BUMN dan BUMD). Hanya dengan demikian Indonesia dapat lebih mandiri dan mengurangi ketergantungan pada hibah dan pinjaman luar negeri.
Beberapa isu krusial
Setelah 74 tahun Indonesia merdeka, rasio penerimaan pajak terhadap PDB sangat mengecewakan, hanya 10 persen atau separuh dari tingkat rata-rata di negara-negara berkembang lainnya. Sistem self-assessment yang digunakan untuk menghitung kewajiban pajak sejak reformasi perpajakan tahun 1983 tidak diikuti dengan sistem audit pajak yang ketat dan penegakan tertib hukum bagi penggelapan pajak.
Sejak kita merdeka, pembiayaan APBN hanya bergantung pada dua sumber, yakni (i) hibah dan pinjaman luar negeri serta (ii) mencetak uang. Untuk memudahkan transfer uang dari Bank Indonesia ke Departemen Keuangan (kini Kementerian Keuangan), pada 1965 pemerintah mengintegrasikan seluruh bank negara ke Bank Indonesia dan berada di bawah Departemen Keuangan. Bank yang terintegrasi itu disebut dengan Bank Berjuang.
Pencetakan uang secara besar-besaran yang dilakukan untuk menutup defisit APBN telah menimbulkan inflasi yang merusak sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Puncak inflasi terjadi pada 1965 dan 1966, mencapai di atas 650 persen, sehingga menggulingkan pemerintahan.
Terkait industri keuangan, industri keuangan yang perlu dibangun adalah dana pensiun, asuransi, dan Bank Tabungan Pos yang merupakan lembaga keuangan jangka panjang yang disebut sebagai institutional investors. Karena menerima simpanan berjangka panjang, institutional investors dapat membeli Surat Utang Negara (SUN) dan obligasi berjangka panjang untuk membangun proyek investasi berjangka panjang, seperti infrastruktur.
Dewasa ini, dana pensiun yang ada baru terbatas pada sektor negara dan sekelompok kecil perusahaan besar. BTN dan BRI perlu dikembalikan pada fungsi semula agar dapat melayani petani, nelayan, koperasi, serta golongan masyarakat berpendapatan rendah di semua pelosok hingga perdesaan.
Sementara kemampuan semua BUMN dan BUMD, termasuk empat bank negara (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), harus dapat ditingkatkan sehingga dapat menjadi pemain dunia, setidaknya di tingkat ASEAN.
Pembangunan yang berorientasi pada ekspor diharapkan akan menghasilkan devisa untuk dapat mengimpor barang dan jasa yang diperlukan dari luar negeri. Penghasilan devisa sekaligus dapat digunakan untuk melunasi utang luar negeri dan memupuk cadangan devisa. Cadangan devisa diperlukan untuk menutup defisit neraca berjalan pada neraca pembayaran luar negeri serta untuk memelihara stabilitas kurs rupiah.
Sebagai awal untuk menghemat devisa dan meningkatkan ekspor, pemerintah, misalnya, dapat mewajibkan jemaah umrah dan haji Indonesia untuk menggunakan pakaian ihram, kerudung, alas kaki, tasbih, dan termos buatan Indonesia. Dengan bantuan kredit dari Dana Haji, rumah makan yang menyediakan makanan khas Indonesia seperti makanan Padang, soto Kudus, dan soto Banjar dapat dibangun di Jeddah, Mekkah, maupun Madinah untuk melayani orang Indonesia yang bermukim ataupun berkunjung.
Ekonomi yang berorientasi pada ekspor harus mengikutsertakan semua lapisan masyarakat sesuai dengan kemampuan atau penguasaan teknologi masing-masing. Sebelum menjadi wali kota Solo, Jokowi sudah memberikan contoh dengan usaha pertukangan kayunya yang hasilnya diekspor ke Eropa.
Baju keperluan umrah dan haji maupun kaligrafi, penganan dan konsumsi jemaah di Tanah Suci dapat dihasilkan oleh tenaga kerja dengan pendidikan rendah. Kaligrafi dapat dibuat oleh pemahat di Jawa Tengah dan Bali. Pembukaan restoran Indonesia di luar negeri sekaligus dapat meningkatkan ekspor dan menciptakan lapangan kerja.
Dewasa ini ada 115 BUMN yang bergerak di berbagai sektor perekonomian. Setiap pemda memiliki BUMD sendiri. Di antara BUMN, ada 84 perusahaan yang merupakan persero dan 17 persero Tbk serta 84 perusahaan umum. Jumlah aset seluruh BUMN mencapai Rp 8.207 triliun. Jumlah karyawan BUMN, sebanyak 903.596 orang, lebih banyak daripada jumlah anggota TNI. Peran sosial-politik BUMN juga meluas karena menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp 113,9 triliun pada 2018 serta Program Ekonomi Keluarga Sejahtera.
Sebagian besar dari BUMN dan BUMD itu eks perusahaan milik Belanda dan asing lainnya yang dinasionalisasi pada waktu Trikora 1956-1957. Perusahaan negara menamakan dirinya sebagai agen pembangunan (agent of development), penyeimbang dominasi modal asing maupun penyeimbang pemilikan aset perekonomian antar rasial.

Hingga saat ini, beban BUMN dan BUMD pada keuangan negara masih lebih besar daripada kontribusinya. BUMN dianggap tidak boleh bangkrut sehingga tetap dibantu oleh pemerintah jika menghadapi kesulitan keuangan. Pada April 1975, Pertamina tidak mampu melunasi utang komersial senilai 40 juta dollar AS sehingga harus diambil alih oleh pemerintah.
Kebangkrutan berbagai BUMN dicegah dengan menyuntikkan penyertaan modal pemerintah ke dalamnya. Sewaktu krisis ekonomi tahun 1997-1998, lebih dari dua pertiga dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dipergunakan untuk memperkuat modal bank-bank negara.
Kemampuan BUMN dan BUMD sangat terbatas untuk merambah ekspor ke pasar internasional. Belum ada di antara BUMN dan BUMD yang sudah menyamai kelompok Salim dan Sinar Mas yang telah mampu mengekspor mi instan, kelapa sawit, dan kertas ke mancanegara.
Kemampuan BUMN dan BUMD pun terbatas dalam hal pengolahan bahan baku maupun dalam hal penggunaan teknologi dalam proses produksi, manajemen maupun pemasaran. Padahal, perkebunan dan pertambangan asing diwajibkan untuk mengolah hasil kebun dan tambang di dalam negeri sebelum diekspor ke mancanegara.
Setelah pencetakan uang, bantuan dan pinjaman luar negeri merupakan sumber utama kedua dari pembiayaan APBN sejak Indonesia merdeka. ABRI kuat sebelum 1966 dan berbagai proyek seperti Gelora Bung Karno, jembatan Musi, dan Kota Palangkayara dibangun dengan bantuan Rusia. Selama 32 tahun masa Orde Baru, 1996-1998, defisit APBN ditutup dengan hibah dan utang dari IGGI. APBN yang defisitnya ditutup dengan hibah serta pinjaman dari IGGI itu disebut oleh Orde Baru sebagai anggaran belanja berimbang.
Sebelum reformasi 1998, Indonesia masih menerima Official Development Aid (ODA) dari IGGI. ODA berjangka panjang dan bersyarat lunak dengan tingkat suku bunga jauh di bawah tingkat suku bunga pasar. ODA digunakan untuk membangun infrastruktur jalan raya, pelabuhan, bandara, sekolah, puskesmas, maupun infrastruktur sosial.
Karena dua hal, ODA berhenti setelah reformasi. Alasan pertama adalah karena tingkat pendapatan per kapita Indonesia sudah meningkat dari tadinya di bawah 100 dollar AS pada 1966 menjadi 857 dollar AS (2000) dan 3.932 dollar AS (2018). Alasan kedua karena masifnya korupsi pada zaman Orde Baru. Negara-negara donor memberikan hibah dan pinjaman untuk meningkatkan ekonomi masyarakat miskin dan bukan untuk memperkaya segelintir pemimpin.
Adanya hibah dan pinjaman IGGI menggantikan pembiayaan defisit APBN melalui pencetakan uang. Ini meredam inflasi turun secara drastis menjadi 10 persen pada awal Pelita I, April 1969. Setelah pembiayaan defisit APBN dari pencetakan uang tidak diperlukan lagi, pada tahun 1966, Bank Berjuang dibubarkan.
Posisi independensi dan tugas BI sebagai bank sentral dipulihkan kembali. Undang-Undang BI melarangnya membeli langsung SUN dari Departemen Keuangan. Organisasi dan fungsi bank-bank negara sebagai bank umum pun dikembalikan seperti semula.
Pada masa Orde Baru, 1966-1998, seluruh pinjaman luar negeri dan dalam negeri dikontrol ketat oleh Profesor Dr Widjojo Nitisastro, Menko Perekonomian dan Ketua Bappenas. Widjojo menjadi negosiator ke luar negeri dan sekaligus mengontrol langsung jumlah bantuan dan pinjaman, asalnya, syarat-syaratnya, maupun arah penggunaannya. Kontrol seperti itu yang mulai pudar dewasa ini karena berbagai departemen teknis hingga BUMN boleh bertindak sendiri.
Pinjaman dalam negeri tidak populer sejak perang kemerdekaan karena banyak yang tidak dibayar, dipotong ataupun erosi dimakan oleh inflasi, sanering, dan devaluasi rupiah.
Penjualan SUN Rupiah pada bank-bank komersial dan pada investor luar negeri sangat berbahaya. Penjualan SUN dan kredit bank komersial untuk membangun infrastruktur sangat berbahaya karena simpanan bank komersial bersifat jangka pendek. Penjualan SUN seperti ini juga menimbulkan ”overcrowding” di pasar uang karena pemerintah bersaing dengan dunia usaha untuk mendapatkan tabungan bank yang terbatas.
Overcrowding di pasar uang itu akan meningkatkan tingkat suku bunga. Lebih dari dua pertiga dari SUN Rupiah yang dijual di Bursa Efek Indonesia, dewasa ini, dibeli oleh pemodal asing. Ini sangat berbahaya karena pemodal asing sangat sensitif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dan gejolak politik dan ekonomi nasional.
Penjualan SUN pada bank-bank komersial dan investor asing juga terjadi karena terbatasnya kemampuan institutional investors untuk menyerapnya.
Kabinet yang andal
Program pemerintah hanya dapat berjalan baik jika dijalankan oleh anggota kabinet yang andal, punya pendidikan dan pengalaman yang cukup akan tugas pokoknya, punya integritas, tidak korup, punya kepemimpinan, serta punya visi yang sama dengan Presiden.
Di masa lalu, Presiden Soekarno terguling dari kekuasaan karena kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang morat-marit dan tingkat laju inflasi yang sangat tinggi. Padahal, menteri keuangannya, Mr Sumarno, dan Gubernur BI Jusuf Muda Dalam dari partainya sendiri, PNI, yang ternyata tidak mampu menjalankan tugasnya.
Presiden Soeharto sukses pada masa awal pemerintahannya karena punya para pembantu orang hebat, termasuk para teknorat, doktor ekonomi dari Universitas California di Berkeley, salah satu universitas terkemuka di dunia. Pada masa akhir jabatannya, Presiden Soeharto menggunakan kroni dan putra-putrinya, dengan kualifikasi yang sangat rendah, dalam pemerintahan.
Soeharto dilengserkan oleh rakyat karena tingkat laju pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sebesar 13 persen pada tahun 1998, inflasi meningkat drastis, kurs dollar AS terhadap rupiah melonjak tujuh kali lipat, dan industri perbankan kolaps.
(Anwar Nasution ; Guru Besar FEB-UI)