Wafatnya Uskup Timika John Philip Saklil, 3 Agustus 2019, sempat memviralkan cuplikan video: Bapak Uskup—kelahiran 20 Maret 1960—menari ‘seka’ dengan lincah dan bebas. Uskup dengan nama samaran ‘Gaiyabi’ ini, memang mencintai dan memilih seni sebagai media perjuangan.
Sebagai putera kelahiran Papua (Kokonao Mimika), Saklil paham betul dengan peran bakipiare, yaitu orang yang memperoleh ilham dari semesta. Alam memberikan aneka sinyal yang hanya bisa ditangkap oleh manusia yang peka. Semua sinyal ini, dipadu dengan pergulatan, penderitaan, dan tentu saja kegembiraan, diungkapkan secara simbolis lewat syair, lagu, dan tarian.
Maka dengan nama Gaiyabi—artinya sang pemikir dan inspirator—ia menggubah lagu ‘Tuhan Biarkanlah’. Diaransemen oleh Laurens Kerowe Hokeng, lagu itu  mengungkapkan realitas Papua yang keras. Papua memang dijuluki ‘kering’,  ‘gelap’, ‘tanpa hiasan’. Di sana berkecamuk aneka konflik yang bila tidak diantisipasi, bisa berakhir fatal.
Terhadap potensi yang ada, Uskup Saklil hanya menengada ke langit, memohon kepada ‘Amo’oipuaro’ (Tuhan) untuk membiarkan hujan membasahi, matahari menyinari, dan  bintang menghiasi Bumi. Mengapa seni (musik) menjadi pilihan? Tidak mudah menjawabnya. Tetapi hal itu barangkali terjawab juga secara simbolis oleh Lao Tzu: semesta mendengar musik dalam jiwa.
Uskup Saklil seperti kebanyakan orang Kamoro, umumnya memiliki keahlian memahami bahasa alam. Ia seperti ‘bakipiare’, yang mengartikan bisikan alam sebagai bagian dari kerinduan sekaligus jalan damai dan pengampunan sebagai bagian dari solusi.
Sebagaimana lagu, maka akan lebih enak didengar ketika dinyanyikan dalam kebersamaan. Di sana pelbagai jenis suara berpadu sambil diiringi oleh ‘dnikiarawe’ (pengiring lagu) dan ‘jagwari pikara’ (penegas atau penutup lagu). Ini menjadi simbol tentang solusi yang hanya bisa ditemukan dalam suatu kolaborasi.
Tanpa kata
Kepergian sang gembala terlalu cepat. Dua hari sebelumnya, ia baru kembali dari Merauke, melaksanakan tugas  baru sebagai administrator apostolik untuk Keuskupan Agung Merauke.  Tetapi ‘Amo’oipuaro’ (Tuhan) empunya kehidupan punya rencana lain. Ia memanggil sang inspirator dan sang pemikir yang memiliki moto Parate viam Domini (siapkan jalan bagi Tuhan).
Kepergian yang terlalu cepat itu mengingatkan kita akan Khalil Gibran: “Di kedalaman jiwaku, ada lagu tanpa kata”. Sebuah kepergian tanpa kata yang tentu hanya bisa dipahami dalam keheningan.
Itulah teladan tanpa kata Uskup Saklil, yang selalu mengajak umatnya menjadikan ‘tungku api’ sebagai indikator  mengukur realitas hidup umat. Di atas tungku api terbaca kehidupan dan pergulatan nyata.
Yang terserap dalam pergulatan akan terbukti melalui apa yang dimakan, hal mana ia mengajak setiap pemimpin untuk tidak terkecoh dengan tampak depan rumah yang kerap tidak terbaca secara utuh. Justru di atas tungku api terbaca perjuangan riil untuk diselami tiap  pemimpin.
Jalan sunyi tanpa kata perlu terus digali dalam menyikapi permasalahan sosial sehubungan dengan perjuangan masyarakat berhadapan dengan masalah Freeport. Sang gembala selalu jadi ‘sandaran’ semua pihak yang bekonflik. Peran pemersatu yang sekaligus ‘diplomat’ yang harus menjaga keseimbangan dan tarik menarik berbagai pihak.
Meminjam Simon Fisher dkk dalam Working with Conflict, Skill & Strategies for Action, 2000, Uskup Saklil tahu tentang potensi konflik yang mengancam, mulai dari aneka konfrontasi berupa demonstrasi hingga pertikaian sporadik, yang bila tidak disikapi, akan menjadi konflik terbuka.
Hal lain yang menjadi perhatiannya adalah dialog antar-agama dan kepercayaan. Ia tidak hentinya merangkul para peziarah dari pelbagai agama lain termasuk umat Kristen Protestan dan Islam.
Baginya, setiap agama dengan cara berbeda mengungkapkan keindahan yang menggambarkan ‘Amo’oipuaro’ yang tidak dibatasi pada satu format tetapi terbuka terhadap dimensi plural yang kian menggambarkan keagungan Tuhan, melampaui semua sanjungan.
(Robert Bala ; Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Politik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.)