Gagasan untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) muncul secara berkala di hadapan publik. Kali ini bahkan merupakan bagian dari keputusan kongres PDI-P, partai pemenang Pemilu Legislatif 2019. Tak diketahui secara detail pertimbangan dimunculkannya gagasan itu selain bahwa GBHN diusulkan sebagai ketetapan MPR yang juga direkomendasikan untuk kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Jika yang diharapkan adalah peningkatan efektivitas perencanaan pembangunan, maka sebaiknya energi kita tak dihabiskan untuk mengutak-atik konstitusi guna menghadirkan kembali GBHN tetapi diarahkan untuk memperbaiki Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang saat ini diatur melalui UU No 25 Tahun 2004.
Sudah ada RPJP
Mengapa kita tak perlu menghidupkan kembali GBHN jika ini melulu soal efektivitas perencanaan pembangunan? Jawaban singkatnya, karena kita sudah punya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional yang juga ditujukan untuk memberi arah pembangunan negara-bangsa dalam kurun waktu 20 tahun, yang untuk masa sekarang terwujud dalam UU No 17/2007 tentang RPJPN 2005 – 2025.
Namun, mengapa sampai banyak pihak merasakan ketiadaan arah yang jelas dalam pembangunan bangsa Indonesia sejak era Reformasi dimulai hingga saat ini, sehingga memunculkan gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN? Kemungkinan besar hal ini karena kurang meluasnya “rasa kepemilikan” terhadap RPJPN.
Ada kesan, RPJPN terlalu teknokratik dan hanya dipahami oleh segelintir orang, khususnya para perencana di Bappenas. Ada kemungkinan juga para pengusul GBHN belum sempat mempelajari RPJPN maupun SPPN itu.
Di samping itu, ideologi pragmatis yang tercermin pada RPJPN juga sering mengundang pandangan bahwa rencana jangka panjang ini “kosong ideologi” dan karenanya seolah-olah tak memberikan gambaran keberpihakan yang jelas. Padahal visi Indonesia yang mandiri, maju, adil dan sejahtera yang tercantum dalam RPJPN sangat berpotensi jadi haluan bagi langkah-langkah jangka menengah maupun pendek agar lebih terarah.
Rasa kepemilikan yang kurang meluas terhadap RPJPN mungkin juga akibat proses pembuatannya yang kurang melibatkan partisipasi luas. Sebagai sebuah UU, penetapan RPJPN tentu sudah melalui proses politik di DPR. Namun tampaknya waktu itu kurang dapat perhatian media massa, masyarakat sipil, dunia usaha serta aktor politik di luar DPR.
Hal ini kemudian diperparah dengan diskursus publik yang cenderung seputar pembangunan jangka menengah karena di situlah janji kampanye dimasukkan. Tak dilanjutkannya konsep Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), produk pemerintahan Presiden SBY yang diganti dengan Nawacita oleh pemerintahan Presiden Jokowi adalah sah secara politis, namun dapat memberi kesan ketiadaan arah pembangunan jangka panjang di negeri ini. Akibatnya timbul kekuatiran yang wajar bahwa apa yang sedang dirintis saat ini bisa tak berlanjut setelah 2024 jika situasi politik berubah.
Meski demikian, membawa kembali GBHN bukanlah jawaban permasalahan di atas. Malah hal ini berpotensi menambah persoalan baru, seperti bagaimana kaitan GBHN dengan RPJP dan RPJM di tingkat nasional maupun daerah. GBHN di masa Orde Baru pun sebenarnya lima-tahunan atau setara RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Kesan konsisten mungkin timbul karena presidennya sama selama 32 tahun. Tentu kita tidak ingin kembali ke situasi tersebut.
Karena itu energi sebaiknya kita berikan untuk meningkatkan efektivitas perencanaan pembangunan di tengah realitas baru yang berbeda dengan realitas saat GBHN berlaku di masa Orde Baru.
Realitas baru
Realitas baru tersebut adalah tata pemerintahan yang terdesentralisasi dan terdemokratisasi di tengah situasi ekonomi-politik dunia yang kian bergejolak, tak pasti, kompleks dan tak jelas (VUCA – volatile, uncertain, complex, ambiguous). Perkembangan teknologi komunikasi informasi yang sering disebut disruptif juga menambah rumitnya realitas baru.
Desentralisasi memberi peran sangat besar kepada pemerintah daerah sedangkan demokratisasi membuka ruang keterlibatan yang luas bagi pemangku kepentingan lain dalam pembangunan, khususnya masyarakat sipil. Belum lagi andil pelaku swasta yang sering memiliki cara pikir sendiri dan tak terakomodasi dalam perencanaan pembangunan.
Tata kelola yang terfragmentasi ini tak lagi dapat didekati dengan pendekatan perencanaan top-down dan pelaksanaan melalui command and control seperti di masa lalu. Masing-masing daerah tentu punya mau dan masalahnya sendiri. Demikian pula, tiap komponen di masyarakat punya kepentingan berbeda.
Bagi kita yang terbiasa dengan suasana serba teratur terkendali tentu ini terasa seperti kacau (chaotic) dan memusingkan. Namun perangkat tata kelola terkendali seperti di masa lalu sudah tak bisa dipakai lagi. Dunia telah berubah dan akan terus berubah semakin cepat.
Efektivitas perencanaan
Saran paling ekstrem terhadap dunia yang berubah dengan cepat adalah dengan pendekatan anti-planning atau laissez-faire: tak perlu ada rencana pembangunan! Biarkan “pasar” dan “tangan-tangan tak terlihat” yang menentukan langkah-tindakan secara lebih efisien. Alasannya, kita tak akan mampu memperkirakan keadaan mendatang, apalagi jangka panjang. Dan karenanya, rencana apapun sangat mudah meleset.
Namun jika pandangan ini yang kita turuti, tentu sangat ironis karena ini juga pandangan usang. Walau dengan alasan berbeda, Adam Smith telah mengemukakannya dua setengah abad lampau ketika perubahan dunia belum bergulir secepat sekarang, dan ketika kesadaran akan keterbatasan sumber daya alam masih belum meluas.
Kalau begitu kita tetap harus membuat rencana, karena dengan demikian sumber daya yang terbatas bisa digunakan untuk mencapai hasil yang optimal. Namun rencana yang bagaimana yang efektif di tengah-tengah realitas baru yang terfragmentasi?
Sebenarnya SPPN sebagaimana diatur UU No 25 Tahun 2004 sudah mengakomodasi adanya fragmentasi pusat-daerah serta perbedaan aspirasi politis-populis dan teknis-teknokratis lewat proses yang mengombinasikan pendekatan top-down dan bottom-up.
Proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di berbagai tingkatan, dari desa hingga nasional merupakan upaya menggabungkan berbagai aspirasi dan kondisi yang terfragmentasi. Memang hingga kini pendekatan ini belum sepenuhnya efektif dan efisien. Namun, daripada membuangnya, lebih baik kita memperkuat dan memperbaikinya.
Untuk itu setidaknya tiga langkah perlu dilakukan. Pertama, mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran sehingga APBN (dan APBD) benar-benar merupakan “cermin finansial” dari rencana pembangunan. Hal ini berarti perlu pengintegrasian UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 25/2004 tentang SPPN.
Tak akan mudah memang. Namun Peraturan Pemerintah No 17/2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional dapat jadi langkah awal yang perlu terus dipantau dan dievaluasi pelaksanaannya.
Kedua, mengintegrasikan perencanaan pembangunan dengan perencanaan tata ruang sedemikian sehingga rencana tata ruang benar-benar jadi “cermin spasial” dari rencana pembangunan, termasuk tahun berlakunya yang saat ini kadang berbeda-beda. Ini tak mudah karena UU yang mengatur tak satu. Ada UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang selain UU terkait SPPN di atas. Upaya menyelaraskan telah dilakukan namun masih perlu terus dipantau dan dievaluasi efektivitas pelaksanaannya.
Ketiga, komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan perlu digalakkan, baik dengan politisi, pelaku swasta maupun komponen masyarakat sipil. Di atas kertas, proses musrenbang sebagaimana diatur di SPPN memang sudah mencoba mengakomodasi ini. Namun efektivitasnya masih sering dinilai rendah sebagaimana terlihat dari banyaknya pembangunan yang terjadi di luar rencana.
Pemanfaatan teknologi komunikasi informasi yang saat ini sudah mulai banyak digunakan melalui e-Musrenbang atau e-planning masih perlu terus ditingkatkan efektivitasnya. Teknologi sangat berpotensi untuk menjaring partisipasi lebih luas. Penghargaan Pembangunan Daerah (dulu Anugerah Pangripta Nusantara) yang telah berlangsung sejak 2011, juga dapat dilihat sebagai bagian dari komunikasi.
Dari pengamatan penulis yang kebetulan jadi anggota Tim Penilai Independen 2012 hingga 2019, terdapat indikasi kian baiknya keterkaitan antara perencanaan daerah dan nasional, konsistensi pernyataan masalah dengan usulan programnya, kelengkapan dan kedalaman analisis yang diperlukan serta keterukuran sasaran yang hendak dicapai. Belakangan aspek inovasi dan pencapaian pembangunan juga mendapat perhatian khusus.
Kerja-kerja senyap di telinga publik maupun politisi di atas sebenarnya secara perlahan telah memperbaiki sistem perencanaan pembangunan di Indonesia. Masih sangat jauh dari sempurna. Namun daripada menegasi apa yang sudah kita miliki dan mencari barang baru, meski diambil dari masa lalu, lebih baik curahkan energi untuk meningkatkan efektivitas sistem perencanaan nasional yang sudah ada sehingga bisa memenuhi tuntutan zaman yang terus berubah.
(Wicaksono Sarosa ; Direktur Ruang-Waktu Knowledge-hub for Sustainable (Urban) Development)