Dengan perkasa Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR) pada 18 Juli dan 22 Agustus 2019, masing-masing 25 basis poin atau 0,25 persen, dari 6 persen menjadi 5,50 persen. Masalahnya, mampukah penurunan bunga acuan itu menyetrum penurunan suku bunga kredit?
Pun BI menurunkan suku bunga simpanan (dalam rupiah) bank di bank sentral 25 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen dan suku bunga pinjaman bank dari bank sentral turun 25 bps menjadi 6,25 persen. Penurunan BI 7 DRRR secara beruntun itu disebabkan beberapa alasan, antara lain inflasi terkendali pada level 3 persen.
Faktor kunci keberhasilan
Faktor kunci keberhasilan apa saja yang harus dipenuhi sehingga mampu segera menekan suku bunga kredit? Sangat diharapkan, penurunan BI 7 DRRR itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertama, transmisi penurunan suku bunga acuan menuju penurunan suku bunga kredit senantiasa berjalan lambat. Mengapa? Karena BI 7 DRRR sudah bertengger di level 6 persen selama delapan bulan sejak November 2018. Artinya, bank harus menghitung kembali berapa biaya yang harus dikeluarkan dengan memberikan suku bunga deposito lebih tinggi kepada deposan.
Hal itu mengandung arti biaya dana (cost of  fund) semakin tinggi. Kini setelah suku bunga acuan turun dua kali berturut-turut mencapai 50 bps, biaya dana itu akan surut berangsur-angsur mengingat suku bunga deposito segera turun pelan tetapi pasti. Untuk itu, suku bunga kredit baru akan turun sekitar tiga bulan ke depan.
Kedua, ketika suku bunga acuan turun, kupon Surat Berharga Negara (SBN) kian mencorong di mata investor, terutama dalam negeri. Beberapa bulan ini, kupon SBN lebih tinggi daripada suku bunga deposito. Kupon saving bond ritel (SBR) seri SBR007 sebesar 7,50 persen jauh lebih tinggi daripada bunga rata-rata deposito 6,7 persen untuk tenor 1 bulan.
Lebih dari itu, pajak kupon SBN 15 persen lebih rendah daripada pajak bunga deposito 20 persen. Ini membuat calon deposan kian melirik untuk menanam dana di SBN yang lebih gurih daripada deposito. Logis. Hal itu sekaligus menjawab pertanyaan mengapa dana pihak ketiga (DPK) masih gersang. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 22 Agustus 2019, menunjukkan DPK hanya tumbuh secara tahunan (year on year) 7,27 persen, lebih rendah dari pertumbuhan kredit 9,84 persen per Juni 2019.
Namun, rasio simpanan perbankan terhadap PDB Indonesia masih rendah, 34,8 persen, jauh lebih rendah daripada Filipina 46 persen dan Singapura 49 persen pada 2015 (BPS). Sarinya, masih banyak dana masyarakat tersimpan ”di bawah bantal”. Ini tantangan serius bagi bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk menggali aneka potensi dana yang masih melimpah ruah itu. Angka itu per Juni 2019. Padahal, efektif 1 Juli 2019, BI sudah melakukan relaksasi giro wajib minimum (GWM) menjadi 6 persen. Relaksasi itu dapat memberi ruang likuiditas Rp 25 triliun bagi bank untuk ekspansi kredit.
Pertumbuhan DPK dan kredit yang tak seimbang itu mengakibatkan rasio kredit terhadap DPK (loan to deposit ratio/LDR) naik dari 92,76 persen per Juni 2018 menjadi 94,98 persen per Juni 2019. Ini di atas rasio LDR ideal 78-92 persen yang ditetapkan OJK. Artinya, masih terdapat likuiditas ketat di pasar keuangan.
Ketiga, bagaimana hubungan suku bunga acuan yang mencapai 6 persen selama delapan bulan dari medio November 2018 hingga medio Juli 2019 dengan laju pertumbuhan kredit? Data SPI mencatat, kredit tetap melaju 5,96 persen dari Rp 5.160,16 triliun per November 2018 menjadi Rp 5.467,65 triliun per Juni 2019.
Total kredit itu terdiri dari kredit investasi yang melaju 10,32 persen, disusul kredit modal kerja 5,28 persen dan kredit konsumsi 3,29 persen pada periode sama. Apa maknanya? Di tengah kondisi ekonomi yang lesu dan tingginya suku bunga acuan, ternyata kredit masih tumbuh cukup signifikan. Makna lain, kredit akan semakin subur manakala suku bunga acuan semakin menyusut sehingga mendorong penipisan suku bunga kredit.
Harapan finalnya adalah sektor riil segera mencairkan fasilitas kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik (undisbursed loan). Sayangnya, data SPI terakhir menunjukkan bahwa kredit demikian masih naik 5,09 persen dari Rp 1.442,72 triliun per Juni 2018 menjadi Rp 1.516,20 triliun per Juni 2019. Angka itu 27,73 persen dari total kredit Rp 5.467,65 triliun pada periode yang sama. Tetapi, itu data Juni 2019, sedangkan penurunan suku bunga acuan baru mulai Juli dan Agustus 2019. Ringkas tutur, akan terbit asa baru yang lebih cerah.
Keempat, untuk itu diperlukan keteladanan bank papan atas dalam menurunkan suku bunga kredit lebih segera. Bank papan atas itu Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4 yang meliputi BRI, Bank Mandiri, BCA, dan BNI.
Mengapa? Lantaran mereka dengan modal inti di atas Rp 30 triliun pasti akan memiliki ruang lebih leluasa dalam menurunkan suku bunga kredit dengan lebih cepat. Dalam praktiknya, tatkala pemimpin pasar (market leader) segera menurunkan suku bunga kredit, BUKU lainnya akan segera mengikutinya. Jika tidak, mereka akan kalah bersaing dalam merebut pasar sehingga pangsa pasar (market share) justru menipis.
Kelima, selain itu penurunan suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS Rate) 6,75 persen untuk bank umum dan 9,25 persen untuk BPR akan membantu penurunan suku bunga deposito. Awalnya, LPS Rate selalu mengikuti perubahan (kenaikan atau penurunan) suku bunga acuan. Namun, kemudian LPS Rate berubah menjadi representasi suku bunga rata-rata simpanan bank.
Coba simak, ternyata LPS Rate 6,75 persen itu lebih tinggi daripada suku bunga rata-rata deposito 6,70 persen untuk tenor 1 bulan. Karena itu, akan lebih prospektif ketika LPS Rate itu berjalan seiring suku bunga rata-rata deposito menurut OJK.
Alhasil, LPS Rate menjadi simbol suku bunga simpanan tertinggi bagi bank umum dan BPR yang akan membantu meluruhkan suku bunga deposito. Bank umum dan BPR yang menawarkan bunga simpanan lebih tinggi daripada LPS Rate akan menanggung sendiri potensi risikonya.
Keenam, ada faktor kunci keberhasilan utama dalam mendorong penurunan suku bunga kredit yang akhirnya menyuburkan pertumbuhan ekonomi. Katakanlah, inflasi terkendali yang kini 3,32 persen per akhir Juli 2019, naik sedikit dari 3,28 persen per akhir Juni 2019, di tengah target inflasi 3,5 persen plus-minus 1 persen ditambah nilai tukar rupiah yang cukup stabil.
Tak berhenti di situ. Insentif fiskal seperti penurunan pajak menjadi faktor pendorong utama. Jangan lupa bahwa pertumbuhan ekonomi nasional masih amat bergantung pada konsumsi rumah tangga yang menyumbang 56,82 persen terhadap PDB per triwulan I-2019. Hal itu melampaui pembentukan modal bruto 32,17 persen, ekspor barang dan jasa 18,48 persen, dan konsumsi pemerintah 6,35 persen.
Ketujuh, dalam Program Legislasi Nasional 2019 terdapat 55 rancangan undang-undang (RUU). Salah satunya RUU Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Inilah kesempatan emas bagi DPR untuk mengembangkan persaingan usaha yang lebih efektif.
Revisi UU sudah semestinya memberikan wewenang lebih besar kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menjatuhkan sanksi dan hukuman lebih berat kepada perusahaan yang bersalah. Upaya itu langkah konkret untuk mengerek tingkat persaingan yang sehat sehingga mampu menyuburkan pertumbuhan ekonomi.
Kedelapan, celakanya penurunan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) berlangsung lebih lambat. Selama ini, ketika suku bunga acuan naik, pada umumnya bank dengan tangkas menaikkan suku bunga KPR. Sebaliknya ketika suku bunga turun, bank seolah enggan menurunkan suku bunga KPR.
Oleh karena itu, debitor KPR harus segera mengajukan permintaan penurunan suku bunga KPR ke kantor pusat bank tempat KPR diajukan. Sehubungan dengan itu, bank akan segera menurunkan suku bunga KPR. Sejatinya, ada atau tidak ada permintaan debitor, bank wajib segera menurunkan suku bunga KPR segera setelah BI 7 DRRR menipis.
Kesembilan, pada pidato kenegaraan dalam HUT Ke-74 Kemerdekaan RI dalam Sidang Bersama DPR dan DPD pada 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa dalam menghadapi puncak bonus demografi Indonesia pada 2020-2024, Indonesia harus menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Untuk itu, Indonesia harus menggenjot kompetensi SDM untuk meningkatkan daya saing. Dalam laporannya per Desember 2018, Bank Dunia menyarankan agar Indonesia meningkatkan ketersediaan tenaga kerja terampil yang sangat langka dengan mengizinkan masuknya lebih banyak tenaga profesional dari luar negeri.
Data Bank Dunia menunjukkan Indonesia hanya memanfaatkan 0,06 persen tenaga profesional asing untuk mengatasi kesenjangan tenaga kerja dalam negeri pada 2016. Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Vietnam 0,15 persen (pada 2015), Thailand 4,47 persen, Malaysia 12,35 persen, dan Singapura 43,05 persen.
Terkait ini, pemerintah harus bertindak hati-hati mengingat adanya resistensi tinggi. Gejala itu tampak ketika Presiden Jokowi menyatakan akan mengundang rektor asing untuk memperkokoh iklim penelitian di perguruan tinggi di Nusantara.
Nah, ketika aneka faktor kunci keberhasilan itu terpenuhi, penurunan suku bunga acuan akan mampu menyetrum penurunan suku bunga kredit untuk mempercepat laju roda sektor riil. Ekonomi pun tumbuh kian subur.
(Paul Sutaryono ; Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan; dan Mantan Assistant Vice President BNI)