Presiden Joko Widodo, didampingi Ny Iriana, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, didampingi Ny Mufidah, bersama anggota Kabinet Kerja dan pasangan mereka bersiap untuk difoto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin ( 27/ 10/14). Kompas/Alif Ichwan (AIC)
Seorang presiden dalam negara yang mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial memegang dua jabatan sekaligus, yaitu sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan.
Sebagai kepala pemerintahan, presiden menyelenggarakan dua tugas dan kewenangan (fungsi), yaitu menetapkan undang-undang/UU (legislasi) dan menetapkan APBN (budget); dan melaksanakan UU dan APBN tersebut. Tugas dan kewenangan yang pertama dilaksanakan dengan DPR, sedangkan tugas dan kewenangan yang kedua dilaksanakan oleh presiden sendiri.
Selain menyusun UU bersama presiden, DPR juga memiliki tugas dan kewenangan yang dilaksanakan sendiri, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, presiden dibantu seorang wakil presiden, dan para menteri dan pejabat setingkat menteri (kabinet) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Karena itu efektivitas pemerintahan baik dari segi perumusan kebijakan publik (legislasi dan budget) maupun dari segi implementasi kebijakan publik sangat terkait dengan kinerja kabinet.
Kabinet macam apakah yang mampu membantu presiden menciptakan pemerintahan presidensial yang efektif? Banyak rumusan yang ditawarkan tentang apa itu pemerintahan yang efektif. Salah satu di antaranya pemerintahan yang efektif (to gets things done) dilihat dari dua aspek, yaitu aspek pembuatan kebijakan publik, dan aspek implementasi kebijakan publik.
Dari segi pembuatan kebijakan, pemerintahan disebut efektif bila pemerintah mampu membuat kebijakan publik (UU, APBN) yang tak hanya sesuai dengan aspirasi rakyat tetapi juga mampu memecahkan masalah yang dihadapi bangsa.
Karena Indonesia mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial, pemerintahan presidensial dapat dikategorikan efektif bila presiden mampu: (a) merumuskan rencana kebijakan publik (RUU dan RAPBN), berdasarkan visi, misi dan program yang dijanjikan kepada rakyat pada waktu kampanye pemilu, (b) disetujui oleh DPR, (c) didukung sektor ekonomi masyarakat (kecil, menengah dan besar) dan berbagai organisasi masyarakat sipil.
Kebijakan publik (UU dan APBN) yang ditetapkan presiden dapat dikategorikan sesuai dengan aspirasi rakyat karena tiga hal. Pertama, mayoritas rakyat dan mayoritas daerah memilih presiden karena rencana kebijakan (visi, misi dan program) yang dijanjikan pada masa kampanye pemilu.
Kedua, rencana kebijakan publik yang diusulkan presiden disetujui oleh DPR (mayoritas atau seluruh anggota DPR) dengan atau tanpa perubahan. Ketiga, rencana kebijakan publik yang diusulkan mendapat dukungan dari sektor ekonomi dan organisasi masyarakat sipil.
Karena berdasarkan hasil Pemilu 2019 terdapat sembilan parpol di DPR yang memiliki jumlah kursi relatif seimbang (tak ada parpol yang mencapai 25 persen kursi DPR), maka diperlukan kepemimpinan politik yang efektif dari seorang presiden untuk mendapatkan persetujuan DPR dan dukungan dari masyarakat.
Kepemimpinan politik presiden sangat menentukan efektivitas pemerintahan dari segi pembuatan legislasi dan budget. Kepemimpinan politik adalah kemampuan mendayagunakan sumber pengaruh yang dimiliki untuk mendapatkan persetujuan DPR dan dukungan dari sektor ekonomi dan masyarakat sipil.
Apakah presiden menggunakan kepemimpinan transaksional (persetujuan dan dukungan partai/fraksi diperoleh dengan membagi pasal, anggaran, dan jabatan kepada mereka) atau menggunakan kepemimpinan transformatif (mengajak semua pihak untuk menyepakati suatu rumusan kebijakan publik yang tidak hanya sesuai dengan aspirasi rakyat tetapi juga mampu memecahkan masalah yang dihadapi bangsa).
Pemerintahan yang efektif dari segi legislasi dan budget dalam bentuk pemerintahan presidensial tidaklah mudah terutama bila keanggotaan DPR berasal dari banyak parpol yang memiliki jumlah kursi relatif seimbang.
Bila presiden menggunakan kepemimpinan politik transaksional untuk dapat persetujuan DPR dan dukungan masyarakat, pemerintahan tak akan efektif karena yang diuntungkan hanya elite berbagai partai. Pemerintahan akan efektif dari segi pembentukan legislasi dan anggaran jika presiden menggunakan kepemimpinan politik transformatif.
Kabinet koalisi
Yang membuat draf rancangan undang-undang (RUU) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) bukan presiden dan wakil presiden melainkan para menteri anggota kabinet berdasarkan visi, misi dan program yang dijanjikan presiden pada waktu kampanye pemilu dan di bawah kepemimpinan politik presiden. Yang melakukan pembahasan dan permufakatan dengan komisi atau panitia khusus di DPR bukanlah presiden dan wakil presiden melainkan para menteri yang diberi tugas oleh presiden.
Yang menjawab pertanyaan dan kritik anggota komisi DPR bukan presiden atau wakil presiden melainkan menteri yang menjadi mitra komisi DPR tersebut. Karena itu para menteri yang kompeten sesuai bidang tugasnya mutlak diperlukan untuk menyusun RUU dan RAPBN, bermusyawarah dengan panitia khusus DPR untuk pembahasan RUU dan RAPBN, dan menjawab pertanyaan dan kritik anggota komisi DPR.
Selain menteri yang kompeten, presiden juga memerlukan dukungan sekurang-kurangnya mayoritas anggota DPR. Karena keanggotaan DPR berasal dari sembilan partai/fraksi, maka merupakan kebutuhan politik presiden membentuk suatu kabinet yang sebagian berasal dari partai politik yang mendukung pencalonan presiden pada pemilu.
Tiga catatan perlu dikemukakan dalam membentuk kabinet koalisi. Pertama, yang diperlukan oleh presiden adalah dukungan solid dari mayoritas anggota DPR. Dukungan solid niscaya akan dapat diperoleh dari partai/fraksi yang sejak awal mengusulkan pencalonan presiden dan wakil presiden baik karena visi, misi dan program maupun kepemimpinan dan integritas pribadinya.
Kedua, karena merupakan masa jabatan kedua Presiden Jokowi maka dapat diduga bila penampilan dalam kabinet merupakan salah satu jalan yang efektif bagi seorang politisi untuk mempersiapkan diri memasuki persaingan dalam penentuan bakal calon presiden dan wakil presiden untuk periode 2024-2029.
Situasi seperti ini jelas menjadi ancaman bagi pemerintahan yang efektif.
Ketiga, bila membentuk kabinet koalisi yang mencakup semua atau sebagian besar partai, maka kabinet menjadi ajang pertarungan antar partai. Bila ini terjadi pemerintahan niscaya tak akan efektif.
Kabinet pemerintahan presidensial bukan ajang perdebatan politik karena kata akhir semua urusan berada pada presiden. Para menteri dipersilakan bermusyawarah menjabarkan apa yang dijanjikan presiden kepada rakyat. Forum perdebatan politik pada negara yang menggunakan bentuk pemerintahan presidensial berada di DPR antara pemerintah dan pendukung rencana yang diusulkan presiden dengan partai/fraksi yang menjadi oposisi di DPR.
Bila Presiden mengajukan RUU dan RAPBN yang merupakan penjabaran visi, misi dan program yang dijanjikan kepada rakyat, yang didukung mayoritas anggota DPR, maka dari perdebatan politik terbuka di DPR sekurang-kuranya pemerintah akan mengetahui pandangan pihak lain terhadap rencana pemerintah.
Implementasi
Efektif (to gets things done) dari segi implementasi kebijakan publik mungkin lebih rumit karena melibatkan banyak pihak dengan kepentingan beragam. Tekanan berbagai kepentingan dapat mengalihkan tujuan dan fokus kebijakan dari rencana semula.
Pengaruh konteks dan tekanan dari berbagai kepentingan mungkin dapat dikurangi bila perumusan kebijakan publik melibatkan berbagai pihak dengan kepemimpinan politik transformatif presiden. Implementasi kebijakan publik di Indonesia dimulai dari penjabaran UU dalam berbagai bentuk peraturan pelaksanaan.
Presiden membentuk peraturan pemerintah (PP) untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya (Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945). PP mungkin harus dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan presiden, peraturan menteri, dan pembuatan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Tujuan yang hendak dicapai setiap kebijakan publik dirumuskan secara lebih konkret dalam bentuk peraturan pelaksanaan sesuai UU dan APBN. Tujuan yang dimaksud adalah apa yang menjadi output, outcome, dan dampak langsung setiap kebijakan publik.
Output dari suatu kebijakan publik seperti pembangunan infrastruktur misalnya jalan tol adalah jalan tol sekian kilometer seperti yang direncanakan. Outcome dari kebijakan pembangunan infrastruktur berupa jalan tol adalah mobilitas manusia dan barang makin lancar.
Dampak dari kebijakan pembangunan infrastruktur berupa jalan tol adalah kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh jalan tol yang memperlancar mobilitas manusia dan barang itu, dan kelompok masyarakat yang dirugikan atau tak dapat memanfaatkan infrastruktur jalan tol.
Yang paling sulit tentu bila kebijakan itu hanya tidak dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga masyarakat. Keadaan seperti ini harus sudah diidentifikasi dan diantisipasi oleh pemerintah sebelum merumuskan PP, perpres dan permen. Tak ada satu kebijakan publikpun yang menguntungkan semua kelompok masyarakat dalam waktu yang bersamaan.
Karena pemerintah membuat banyak ragam kebijakan publik, maka keadilan akan tercipta bila suatu kebijakan hanya menguntungkan pada sebagian kelompok masyarakat saja sedangkan kebijakan lain harus menguntungkan sebagian kelompok masyarakat yang lain. Pemerintah akan bertindak tak adil bila setiap kebijakan yang dibuat selalu menguntungkan kelompok masyarakat tertentu tetapi selalu merugikan kelompok masyarakat yang lain.
Langkah selanjutnya untuk implementasi kebijakan adalah koordinasi horizontal dengan instansi terkait dan koordinasi vertikal dalam bentuk pengarahan terhadap instansi bawahan, menyiapkan berbagai persyaratan dan memenuhi sejumlah prosedur untuk alokasi dan pencairan anggaran, dan menyiapkan berbagai unsur masyarakat agar dapat berpartisipasi/ikut menggunakan akses dan kesempatan dalam pelaksanaan kebijakan publik itu.
Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kebijakan sesuai rencana operasional yang telah ditetapkan sebelumnya. Monitoring dan evaluasi atas setiap langkah pelaksanaan kebijakan merupakan tindakan yang selanjutnya mutlak dilakukan karena hasil monitoring dan evaluasi akan dapat digunakan untuk mengambil langkah perbaikan di tengah jalan sehingga tujuan (dalam arti output, outcome, dan dampak langsung kepada warga masyarakat) dapat tercapai seperti direncanakan.
Implementasi kebijakan publik, seperti pembuatan PP, perpres, dan permen tak bisa diserahkan sepenuhnya kepada Aparat Sipil Negara (ASN) karena substansi peraturan pelaksanaan ini sarat bermuatan politik dalam arti penjabaran output menjadi outcome, dan penjabaran outcome menjadi dampak langsung kepada berbagai unsur masyarakat.
Implementasi kebijakan seperti ini merupakan tugas para menteri di bawah kendali presiden. Karena itu kompetensi yang diperlukan dari seorang menteri bukan hanya dalam hal pembuatan kebijakan tetapi juga kompetensi dalam implementasi. Kepemimpinan administrasi seorang presiden diperlukan tak hanya untuk memastikan para menteri fokus pada visi, misi dan program yang dijanjikan kepada rakyat tetapi juga untuk memastikan agar output, outcome dan dampak langsung setiap kebijakan terwujud seperti direncanakan.
(Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)