Informasi memang masih harus dicari dan keterangan lengkap belum terumuskan dengan jelas. Konferensi pers Menko Polhukam Wiranto, 19 Agustus 2019, yang saya dengar dari siaran RRI di dalam kendaraan, tak menggambarkan apa-apa tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Yang ”mengesankan” dari Wiranto adalah ungkapan apresiasinya bagi Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Malang Sutiaji yang secara spontan meminta maaf. Namun, tidak dijelaskan kepada siapa permintaan maaf itu ditujukan.
Bagi saya, persoalan sedikit lebih jelas karena menerima pesan Whatsapp intelektual muda Jawa Timur dan dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, sehari sebelum konferensi pers Wiranto, tentang ”insiden bendera merah-putih Surabaya” hari itu. Juga telepon kawan yunior saya, Muhammad Subarkah, tentang soal yang sama.
Dan melalui berita media yang saya baca, kerangka masalah relatif tergambar. Duduk perkara adalah pencampakan bendera merah-putih oleh seorang mahasiswa asal Papua di asrama mereka di Surabaya. Aksi ”semikekerasan” yang dilakukan organisasi pemuda dan pengamanan aparat atas mahasiswa Papua itu menimbulkan reaksi balik sebagian warga di Papua atas ”insiden Surabaya dan Malang”.
Indonesia adalah kreasi bersama
”Insiden” inilah yang mendorong pertanyaan: ”Bagaimana Mencintai Indonesia?” ”Insiden” ini mengingatkan saya pada pesan ayah: ”Katuleh phat teumphat Aceh lam perjuangan kemerdekaan Indonesia” (Kamu tulis di mana tempat Aceh dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia), perintahnya. ”Mangat bandum thee Indonesia kon ji peudom dek saboh kaum mantong” (Biar semua tahu bahwa Indonesia tidak ditegakkan hanya oleh satu golongan saja). Ayah saya bukan saja tahu tentang sejarah perjuangan Aceh di masa kemerdekaan, melainkan salah satu ”pejuang” yang berusaha menahan kembalinya Belanda ke Aceh dalam periode paling menentukan itu.
Frasa ”Indonesia tidak ditegakkan hanya oleh satu golongan” berjalan searah dengan fakta sejarah. Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tanpa komando, berbagai daerah menyambut kedatangan bangsa baru ini. Di Aceh, para ulama membuat Makloemat Oelama (15 Oktober 1945) berisi sikap siap berdiri di belakang Ir Soekarno dalam mempertahankan kemerdekaan. Di Masjid Raya Banda Aceh, dalam pidatonya, Teungku M Daud Beureue-’eh menyatakan: ”Siapa yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan adalah syahid.”
Pernyataan ini dilanjutkan dengan pendirian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bawah Kolonel Sjamaun Gaharu yang berlanjut dengan pendirian berbagai laskar perjuangan. Di Sumatera Barat, tokoh pendidikan Muhammad Sjafi’i dari lembaga pendidikan Institut Kayu Tanam pada 29 Agustus 1945 membacakan ”proklamasi” Sumatera Barat yang berisi dukungan atas Proklamasi Soekarno-Hatta di Jakarta. Dan tanpa bantuan apa pun, duet Dahlan Djambek dan Ismail Lengah mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Sumatera Barat.
Sementara di Gorontalo, Sulawesi Utara, pejuang lokal Nani Wartabone telah mendahului Soekarno-Hatta karena ”memproklamasikan” kemerdekaan Indonesia pada 1942 ketika Belanda melarikan diri dari Indonesia.
Di Sulawesi Selatan, dua aristokrat daerah ini, Andi Djemma dan Andi Mappadjuki, melakukan tindakan ”berani”: memihak Republik Indonesia pascaproklamasi Soekarno-Hatta.
Mengapa ”berani”? Karena daerah ini di dalam Revolusi 1945-1949 berada di bawah tentara Australia yang menganggap Belanda tetap punya hak atas Hindia Belanda. Juga ”berani” karena kedua tokoh ini sama sekali tak mengetahui adanya kesepakatan Van Mook dengan PM Sjahrir atas ”Konsep 6 Maret 1946”.
Seperti dikisahkan Anak Agung Gde Agung dalam Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat (1985), konsep ini berbunyi: Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Republik Indonesia atas Jawa. Kendati pada 27 Maret 1946 konsep itu ”terkoreksi” dengan memasukkan juga Sumatera dan Madura, posisi Sulawesi Selatan dalam kerangka bangsa baru itu tetap tak jelas. Toh Andi Djemma, Andi Mappadjuki, Manai Sophian, dan lain-lain tetap memihak RI.
Empat contoh itu memperlihatkan Indonesia tidaklah dibangun oleh sebuah kaum, melainkan karya bersama. Maka, mencintai Indonesia harus diungkap dengan penolakan konsep hierarkis dalam hubungan antara ”pusat” dan ”daerah”. Dan struktur hubungan politik harus dibangun secara horizontal atau egaliter. Sebab, tanpa gerakan-gerakan otonom berbagai daerah luar Jawa dalam mempertahankan kemerdekaan, apa yang kita pahami tentang Indonesia dewasa ini tak akan pernah ada.
Melihat dari pinggir
Tentu, secara struktural terjadi apa yang disebut the aggrandizement and centralization of the state power (perluasan dan pemusatan kekuasaan negara) pasca-Revolusi 1945-1949. Perluasan dan pemusatan kekuasaan ini menghapus hubungan egaliter pusat-daerah selama revolusi. Usaha pusat menciptakan negara birokrasi modern melahirkan hubungan impersonal atas-bawah dan membuat daerah tak lagi bisa mengekspresikan hubungan emosional untuk diproyeksikan ke pusat.
Dengan kewenangan terpusat sebuah negara modern, Jakarta melakukan intervensi impersonal ke daerah. Hasilnya, terjadi alienasi daerah yang diekspresikan dalam bentuk keresahan. Pemberontakan Aceh (1953-1962) dan gabungan pemberontakan Sumatera Barat-Sulawesi Utara dalam bentuk PRRI-Permesta (1958-1964) adalah fakta telanjang sejarah.
Pemberontak itu sejatinya para pendiri negara-bangsa di tingkat wilayah. Di masa Orde Baru (1967-1998), perluasan dan pemusatan kekuasaan pusat kian kentara. Bercorak semi-militeristik, Orde Baru lebih mengekspresikan kecurigaan yang diproyeksikan ke daerah. Penempatan militer sebagai gubernur, wali kota dan bupati di daerah-daerah kebijakan pusat yang dibimbing kecurigaan semi-militeristik.
Maka, ada dua hal yang tampil dan membekas ke dalam persepsi otoritas politik dan massa di ”pusat” sebagai akibat perluasan dan pemusatan kekuasaan negara itu. Pertama adalah kegagalan memahami persoalan bangsa dari pinggir. Secara teknikal, perluasan dan pemusatan kekuasaan itu dianggap aplikasi manajemen modern atas pengelolaan negara, demi efisiensi.
Namun, secara konseptual, ini membentuk psikologi politik penyeragaman pendapat. Sebagai akibatnya, otoritas politik pusat dan berbagai organisasi massa tak mampu mendeteksi keresahan daerah dari kacamata pinggiran. Keresahan dianggap perbedaan dan perbedaan berarti penantangan terhadap pusat.
Kedua, perluasan dan pemusatan kekuasaan negara melahirkan bibit fasisme. Sebagaimana dinyatakan Alexander J Groth dalam Major Ideologies: An Interpretative Survey of Democracy, Socialism and Nationalism (1971), fasisme adalah pengagungan (glorification) berlebihan terhadap konsep bangsa yang, akibatnya, menimbulkan pemaksaan pemikiran yang seragam. Fasisme ini tampil ketika, kutip J Groth atas ucapan Field Marshall Count Helmuth von Molde di depan Parlemen (Reichstag) Jerman pada 1887, ”the army takes the first place among the institutions of every country” (angkatan bersenjata mengambil tempat utama di antara berbagai lembaga di setiap negara).
Karena itu, di Jerman, angkatan perang dilihat kala itu sebagai simbol utama kepentingan nasional. Bahkan, di Perancis pada periode yang sama, kaum nasionalis bergantung kepada angkatan bersenjata untuk membalas penghinaan atas kekalahan di Sedan dan ”to rally the pariotic spirit of the people” (membantu membangun semangat patriotik rakyat). Penyatuan militerisme dengan nasionalisme tanpa sikap nalar demokrasi inilah yang menjadi inkubator fasisme.
Dalam sejarah, ini terjadi di Perancis pada 1880-an ketika kaum nasionalis berharap Menteri Perang yang populer, Jenderal Boulanger, ”would rescue them from the peril of parliamentary democracy” (menyelamatkan mereka dari bahaya demokrasi parlementer). Patriotisme berlebihan yang bergabung dengan militerisme ini berbuah fasisme dan berujung kepada sikap antidemokrasi.
Maka, mencintai Indonesia dalam konteks dewasa ini bukanlah pengulangan slogan kebangsaan dan Pancasila tanpa makna. Sebab, tanpa disadari, melalui absennya nalar dan kesadaran matang demokrasi, pengulangan slogan itu lebih mengarah kepada penyeragaman pemikiran. Mencintai Indonesia, dengan demikian, adalah usaha memahami masalah bangsa dari kacamata wilayah pinggiran dan penolakan fasisme.
Papua saudara bungsu
Dalam perspektif inilah kita harus melihat Papua. Berbeda dengan wilayah Indonesia lain yang berpartisipasi dalam pembentukan bangsa, masyarakat Papua baru masuk dalam radar administrasi Indonesia secara resmi melalui referendum di bawah pengawasan PBB pada 1969. Dengan demikian, masyarakat ini bukan saja tak berada di dalam struktur emosi yang sama produk Revolusi Nasional 1945-1949, melainkan, sebagaimana dinyatakan Cilian Nolan, Sydney Jones, dan Solahudin dalam ”The Political Impact of Carving Up Papua” (dalam Hal Hill, ed, Regional Dynamics in a Decentralized Indonesia, 2014), masyarakat ini tak membagi budaya dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. ”Secara budaya,” tulis Nolan dan kawan-kawan, ”masyarakat Papua adalah Melanesia, bukan Melayu.” Dan yang terpenting dari semua itu adalah fakta bahwa masyarakat pulau raksasa ini terdiri atas 200 suku asli.
Persoalannya adalah kendatipun qua sejarah terposisi begitu distingtif, dan pengalaman keindonesiaan begitu berbeda, otoritas politik pusat telah memproyeksikan pandangannya seakan-akan Papua dan masyarakatnya adalah ”anggota tua” dari gugusan daerah yang membentuk konstituen negara Republik Indonesia. Dengan mengambil asumsi mempunyai ”otoritas penuh” atasnya, pemerintah pusat telah mengubah ketetapannya sendiri dengan menganulir, lanjut Nolan dan kawan-kawan, pembentukan tiga provinsi di Papua menjadi dua.
Dan meskipun, pada 2001, mereka memperoleh status daerah khusus, proyeksi pandangan ”konvensional” Jakarta atas Papua berlanjut. Ini terlihat pada program pemekaran wilayah administrasi yang berlangsung progresif.  Akan tetapi, semua proses biased Jakarta ini melahirkan hal tak terduga: kebutuhan meningkatkan jumlah penduduk dan elite lokal yang berambisi politik. Proses peningkatan jumlah penduduk yang sebelumnya bergantung pada migrasi etnik lain sejak 1970-an dan 1980-an, terakomodasi pada lapangan okupasi baru sebagai akibat pemekaran wilayah yang tak bisa dipenuhi penduduk setempat.
Pada saat yang sama, pemekaran ini menciptakan fantasi baru elite lokal atas kehidupan material. ”Aksi” ini melahirkan insentif material bagi elite lokal, karena dengan itu mereka mempunyai akses terhadap berbagai bantuan (block grants) program pembangunan desa. Pembiakan jumlah kecamatan dan kabupaten meningkatkan nafsu kekuasaan kalangan elite lokal. Sebab, unit-unit pemerintahan itu menjadi wadah, kata Nolan dan kawan-kawan, ”where political and fiscal power is concentrated” (di mana kekuasaan politik dan fiskal terpusat).
Tentu diperlukan penelitian saksama untuk menyempurnakan pengetahuan kita atas Papua dewasa ini. Namun, apa yang jelas, sejak 1969, ketika terintegrasi ke dalam Republik Indonesia, rakyat kebanyakan Papua tak memperoleh kemajuan berarti.
Dalam catatan Nolan dan kawan-kawan, kedua provinsi pulau itu masih tetap berada di garis terbawah Indeks Pembangunan Manusia (HDI) kendati telah digelimangi kekayaan besar dari sektor industri ekstraktif dan, dewasa ini, perkebunan kelapa sawit. Dalam arti kata lain, hampir seluruh kebijakan yang diproyeksikan Jakarta ke Papua lebih menghasilkan migrasi etnik lain ke dalam relung-relung ekonomi Papua dan elite lokal yang terpapar fantasi baru akan kehidupan material.
Maka, pertanyaan bagaimana mencintai Indonesia di dalam konteks Papua dewasa ini harus dijawab dengan melihatnya sebagai ”saudara bungsu” yang sedang belajar beradaptasi dalam lingkungan baru. Keresahan-keresahan yang timbul, seperti ”insiden bendera Surabaya”, harus dipahami sebagai ungkapan pertanyaan tentang apa artinya masyarakat Papua menyatu ke dalam Republik Indonesia. Sebab, bukankah sejauh ini proyeksi kebijakan Jakarta secara struktural lebih banyak menarik kedatangan etnik lain dan bangkitnya elite lokal dengan fantasi material?
Demonstrasi masyarakat Papua yang merespons ”insiden bendera Surabaya” adalah bukti yang tak bisa dibantah. Bukankah sikap fasisme dalam menyikapi ”insiden bendara Surabaya” justru menimbulkan perpecahan Indonesia?
Fachry Ali ; Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia)