Pemerintah pusat dan daerah gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Gairah pembangunan ini bisa berbuah keadilan dan berdampak pada ketidakadilan ekologis. Isu pembangunan yang masih menyisakan ketidakadilan ekologis memunculkan benturan dan gerakan sosial di sejumlah tempat yang melibatkan masyarakat yang paling terdampak, kalangan aktivis dan tokoh, untuk mengoreksinya.
Kasus yang terjadi di kawasan Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Pati dan Rembang, yang melibatkan petani; di bantaran Tambakrejo, Kota Semarang, yang melibatkan nelayan; di kawasan Cagar Budaya Candi Gedong Songo terkait rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Gunung Ungaran yang melibatkan seniman budayawan lintas agama, adalah beberapa contoh.
Dari pengalaman sedikitnya 11 tahun terakhir penulis terlibat dalam gerakan ini, keadilan ekologis bukanlah ilusi dan utopia. Di ketiga kawasan itu, perspektifnya adalah memperjuangkan keadilan ekologis demi keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup. Ada yang berhasil. Ada yang masih terus berjuang. Ada yang baru mulai berjuang lagi sesudah hampir sepuluh tahun berhenti.
Perjuangan bersama nelayan di Tambakrejo termasuk kategori berhasil dan bisa menjadi contoh positif inspiratif. Indikatornya, sesudah penggusuran yang tak manusiawi, para pihak terkait bisa duduk bersama untuk berdialog. Wali kota mendengarkan masukan berbagai pihak. Fakta penggusuran pun berbuah dialog dan kesejahteraan korban. Keadilan ekologis pembangunan pun terwujud.
Pemerintah kota tak hanya memfasilitasi hunian sementara, tetapi juga merancang hunian tetap bagi warga, termasuk memastikan tersedianya mushala dan taman pendidikan Al Quran. Posisi korban diubah dengan kesejahteraan. Rencana penataan pembangunan kawasan setempat dilakukan dengan melibatkan warga secara manusiawi. Inilah contoh proses positif inspiratif keadilan ekologis pembangunan. Tak berhenti sampai di sini. Prosesnya tetap masih harus terus dikawal oleh berbagai pihak.
Bukan ilusi
Diakui atau tidak, percepatan pembangunan di negeri ini masih sering bermuara pada ketidakadilan ekologis dalam proses dan hasil pembangunan yang tak ramah lingkungan. Bahkan tak jarang cenderung menumbalkan warga dan semesta. Lingkungan hidup rusak. Keutuhan ciptaan jangka panjang hancur. Kesejahteraan jangka pendek segelintir orang tak sebanding dengan masa depan keadilan ekologis. Kesejahteraan jangka panjang warga setempat dan generasi selanjutnya jauh panggang dari api.
Dalam kasus pembangunan pabrik semen yang banyak disoroti, pada tahap awal saja, kerugian disinyalir jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang menyejahterakan petani, di antaranya rusaknya kawasan karst yang berdampak pada kekeringan. Sumber mata air bersih yang sangat dibutuhkan warga hancur. Petani terancam kesulitan menggarap lahan.
Akibatnya, bukan hanya sumber penghidupan mereka yang terpengaruh, melainkan juga kepentingan masyarakat luas. Mereka yang sudah telanjur menjual lahan, hasil penjualan lahan tak bisa bertahan untuk kehidupan jangka panjang. Mereka tak lagi punya lahan, satu-satunya kekayaan untuk diwariskan ke generasi berikut.
Dari sejumlah survei ekologis terhadap berbagai proyek pembangunan yang berlangsung selama ini, setelah mengakhiri proyek pembangunan, tak jarang investor justru meninggalkan masalah baru bagi masyarakat dan lingkungan setempat. Pengangguran meningkat. Cadangan alam tertentu menipis. Terjadi deforestasi, pemiskinan pertanian dan peternakan lokal. Lubang-lubang alam terbuka. Bukit-bukit hancur. Sungai tercemar. Segelintir karya sosial tak lagi dapat diteruskan (Fransiskus, 2015).
Dalam konteks itulah, keadilan ekologis dalam percepatan pembangun menjadi hal yang tak boleh lagi diabaikan. Benturan dengan masyarakat dan kepentingan jangka panjang lingkungan seharusnya tak terjadi jika ada komitmen dan kemauan politik semua pihak, untuk mengawal program pembangunan, agar tidak justru mengorbankan masyarakat dan lingkungan setempat sebagai sasaran akhir dari program pembangunan itu sendiri.
Pengalaman di Tambakrejo, di mana dialog antara pimpinan daerah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait, berbuah pada pemberdayaan dan perlindungan terhadap masyarakat setempat, perlu dicontoh untuk kasus-kasus lainnya. Alih-alih menyisakan ketidakadilan, percepatan pembangunan justru harus mewariskan kesejahteraan, keadilan ekologis, keutuhan ciptaan, dan kelestarian lingkungan hidup.
(Aloys Budi Purnomo ; Kepala Campus Ministry; Mahasiswa PDIL Unika Soegijapranata Semarang)