Begitu pemilu usai, banyak hal dan isu muncul. Isu amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 jelas mengalami avalansa. Mengalami curahan pemikiran yang amat kuat, bisa secara alami karena kebutuhan bangsa, atau karena buatan, semacam dipicu agenda politik semata.
Sebenarnya, perubahan itu sendiri suatu keniscayaan, tetapi perlu demarkasi jelas, mana yang merupakan hal urgen demi kepentingan bangsa dan mana yang hanya jualan politik. Perlukah kita melakukan amendemen? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan menggugat, sudah benarkah struktur semua aturan di UUD 1945 kita? Pembacaan detail UUD memperlihatkan ada banyak wilayah yang perlu disentuh.
Problem di UUD
Pertama, perlu penegasan secara lebih tertata, kita menggunakan sistem demokrasi pemerintahan presidensial, parlementer, atau gabungan keduanya? Kalaupun ingin membahasakannya menjadi sistem presidensial ala Indonesia pun tak mengapa, sepanjang tak membiarkan ada kontradiksi dan hal yang merusak konsep yang diharapkan. Saat ini, meminjam istilah Fajrul Falaakh (2002), kita membiarkan model ”parlementarisme lewat pintu belakang”. Ada konsekuensi dari pilihan sistem pemerintahan yang kita ambil.
Mencampuradukkan sistem tanpa memilah porsi yang pas berpotensi mendatangkan komplikasi yang merusak sistem itu sendiri. Misalnya, memaksakan konsep Garis Besar Haluan Negara (GBHN), akan memunculkan komplikasi yang tidak kecil terhadap sistem pemerintahan.
Kedua, UUD membuat ”kesalahan” besar ketika membangun model dua kamar yang amat tak berimbang. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) amat sangat kuat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) amat sangat lemah. Model ini, dalam riset Stephen Sherlock (2005), adalah kombinasi aneh yang tak pernah ada di negara mana pun.
Relasi DPR-DPD telah melahirkan model bikameralisme yang jauh dari kesan efektif. Model dua kamar DPR-DPD tak mengharuskan menjadi ”DPR sama dengan DPD” karena jika dibuat strong bicameralism, kata Geovanni Sartori (1994), memiliki kecenderungan untuk saling melemahkan atau saling berlawanan yang dapat berujung pada kebuntuan (deadlock).
Contoh tak sehatnya model dua kamar ini adalah pada wilayah legislasi. UUD memberikan DPR kuasa legislasi amat kuat dibandingkan kuasa DPD. Dalam hal pengawasan pun demikian, DPD wajib menyerahkan hasil pengawasannya ke DPR untuk ditindaklanjuti DPR. Konsep itu menyebabkan DPD seakan menjadi ”asisten” DPR. Begitu pun dalam perekrutan jabatan publik, semua menuju ke DPR. DPD hanya diberi wilayah amat kecil, yakni rekomendasi untuk jabatan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Model parlemen kita juga perlu ditata dengan kehadiran lembaga lain, yakni MPR. Jimly Ashiddiqie (2005) menyebutnya trikameral. Perlu diskusi serius, MPR hanyalah joint session mirip Kongres di Amerika Serikat (AS) ataukah merupakan lembaga tersendiri?
Ketiga, pembelahan kekuasaan kehakiman menjadi Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Tentu keduanya harus tetap kuat dan mandiri, tetapi belakangan ada gejala tumpang tindih dan ketidaktepatan penempatan kewenangan di antara kedua lembaga. Misalnya, putusan MK tentang DPD dan keikutsertaan politisi di dalamnya.
Sesuatu yang oleh MK sudah diputuskan, dibuat putusan berbeda oleh MA. Juga ada urgensi untuk mulai memikirkan kehadiran konsep constitutional complaint yang merupakan senjata penguatan hak-hak konstitusional warga negara di hadapan kekuasaan.
Keempat, penataan lembaga negara. Kompleksitas masalah di bidang ketatanegaraan saat ini memunculkan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan. Lembaga baru ini diistilahkan dengan komisi negara. Komisi negara merupakan organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, tetapi justru punya fungsi campur sari ketiganya.
Di dalam konstitusi terdapat beberapa lembaga negara penunjang tersebut. Ada yang dibentuk melalui undang-undang (UU). Banyak pula yang dibentuk berdasar peraturan di bawah UU, mencapai ratusan. Dalam kaitan ini, perlu penataan ulang terkait independensi dan seleksinya.
Empat tema besar perubahan UUD itu masih bisa diperluas lagi. Termasuk, misalnya, soal penguatan hak asasi manusia (HAM), konsepsi otonomi daerah dan relasi pusat-daerah. Selain itu juga arah pembangunan bangsa, sebagaimana banyak dibahas akhir-akhir ini.
GBHN adalah jawaban?
Yang mengherankan, dari sekian banyak usulan dan urgensi perbaikan konstitusi, yang disasar malahan hanya soal pembangunan bangsa dan posisi MPR. Harus dimasukkan kata ”hanya” karena jika mau jujur ada begitu bayak agenda yang sebenarnya harus dilakukan, tetapi di sini hanya wilayah yang berkaitan dengan GBHN yang disentuh. Arah pembangunan kemudian dibungkus dengan pernyataan pentingnya melahirkan kembali GBHN.
Ada tiga alasan dikemukakan. Pertama, buruknya sistem pembangunan negara yang semakin tak padu dan cenderung berjangka pendek. Penyebabnya, begitu terjadi pergantian pemimpin, terjadi pula pergantian visi-misi dan program pembangunan. Kedua, pasca-amendemen, secara resmi Indonesia tak memiliki haluan negara yang memandu pembangunan di segala bidang.
Ketiga, yang lebih fundamental menurut mereka yang sepakat dengan wacana ini, visi negara dalam UUD 1945 perlu dijalankan dan dijabarkan pelaksanaannya oleh semua lembaga negara dan bukan hanya oleh presiden. Maka, gagasan menghidupkan GBHN harus diletakkan dalam rangka semata-semata untuk mengembalikan visi haluan negara.
Ide ini sesungguhnya tidaklah pas. Yang pertama, belum ada kajian resmi yang mendalam terkait tuduhan itu, selain hanya pendapat-pendapat lepas beberapa lembaga, yang menganggap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai pengganti GBHN, masih sektoral, lebih membahasakan kepentingan eksklusif kelompok, dan tak mencakup kepentingan fundamental rakyat. Alasan ini pun sebenarnya tidak mengena, karena jika itu alasannya, mengapa yang dilakukan bukan merombak atau memperbaiki dan memperkuat RPJMN-RPJPN saja?
Tuduhan bahwa dalam menyiapkan dokumen perencanaan, pemerintah hanya dibantu menteri sehingga bisa saja belum mengakomodasi kepentingan makro bangsa, sebenarnya juga tak bisa diterima, karena pembahasannya dilakukan bersama dengan DPR dan DPD dalam bentuk UU. Dalam pembahasan UU sangat mungkin melibatkan semua pemangku kepentingan.
RPJPN atau RPJMN juga dianggap tak mengikat dan mengatur lembaga-lembaga negara lain di luar presiden, seperti DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan Komisi Yudisial (KY). Padahal dengan dituangkan dalam bentuk UU, dia bisa diberlakukan kepada siapa saja.
Kebutuhan publik atau politik
Ada kesan, alasan untuk amendemen terlalu dicari-cari. Bahwa ada kekurangan dalam RPJMN dan RPJMP, mungkin benar. Tetapi, apakah jawabannya adalah GBHN? Akan semakin terlihat keanehannya jika dilakukan analisis komplikasi pada sistem yang kita gunakan. Pertama, seperti diungkapkan Jimly Asshiddiqie (2007), salah satu karakteristik sistem presidensial adalah supremasi konstitusi.
Dalam hal ini, menghidupkan kembali GBHN sebagai haluan negara yang memandu pembangunan di segala bidang oleh seluruh lembaga negara (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara penunjang lain), jelas tak sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi.
Meski GBHN akan dianggap sebagai penerjemahan dan akan diletakkan di bawah UUD 1945, tak ada jaminan GBHN tak akan bertentangan dengan UUD 1945. Jika bertentangan dengan UUD 1945, tak ada mekanisme untuk melakukan pengujian GBHN terhadap UUD 1945. Supremasi konstitusi juga mengandung arti, tak ada lembaga atau peraturan tertinggi selain konstitusi, sebab lembaga-lembaga negara berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan, berderajat sama (checks and balances).
Kedua, berbeda dengan sistem parlementer yang menganut supremasi parlemen, dalam sistem presidensial, eksekutif bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Usulan menghidupkan GBHN yang ditetapkan MPR berarti sangat mungkin mengembalikan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Presiden harus kembali melaksanakan GBHN dalam menjalankan pemerintahan negara. Sebagai konsekuensinya, presiden bertanggung jawab kepada MPR dalam pelaksanaan GBHN.
Ketiga, berkaitan dengan pertanggungjawaban presiden adalah masalah pemberhentian presiden. Terkait kewajiban menjalankan GBHN, apakah presiden wajib melaksanakannya? Jika tidak, apakah presiden akan dijatuhkan? Jika presiden melanggar GBHN, apakah itu dikategorikan melanggar haluan negara yang bisa berujung pada impeachment? Oleh karena, menjatuhkan presiden karena pilihan kebijakan semata tentunya sangat dekat ke ciri parlementer. Jika dikatakan presiden tak akan dijatuhkan karena melanggar, pertanyannya untuk apa GBHN dibuat?
Keempat, karakteristik sistem presidensial selanjutnya adalah terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Apabila GBHN kembali dihidupkan, pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi kabur. Presiden tinggal melaksanakan haluan negara yang sudah disusun MPR. Presiden tak mendapat kesempatan untuk mewujudkan visi misi dan program yang selama kampanye telah dijanjikan kepada rakyat.
Kelima, ciri sistem presidensial selanjutnya ialah presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Kembalinya GBHN membuat pemilihan presiden secara langsung menjadi hampir tak ada artinya. Apabila pemilihan langsung presiden oleh rakyat, tetapi visi misi dan program presiden ditetapkan oleh lembaga lain, yakni MPR, rakyat jadi tak  memiliki parameter yang logis dan rasional sebagai dasar memilih presiden.
Usulan mengembalikan peran GBHN sebagai pemandu arah pembangunan melalui amendemen UUD 1945 dengan mengembalikan peran MPR sangat jelas bertentangan dengan ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial.
GBHN akan berimplikasi pada mengubah prinsip kedaulatan rakyat, supremasi konstitusi, pertanggungjawaban presiden, pemberhentian presiden, pemisahan kekuasaan, dan pemilihan umum presiden. Artinya sistem Indonesia akan kembali menganut supremasi MPR seperti era sebelum reformasi.
Pertanyaan terakhir, apakah ini kebutuhan publik atau kebutuhan politik? Publik jelas tak menolak ide amendemen. Tetapi tatkala agenda hanya menyasar ke penguatan MPR, GBHN, serta mengikuti usulan penambahan jumlah pimpinan MPR, maka kian menguatkan kemungkinan avalansa ini tidaklah alami berdasarkan kebutuhan publik.
Ini kebutuhan politik. Jangan-jangan, memang ada itikad membalik jarum sejarah ke arah sistem yang diinginkan cara pandang Orde Baru.
(Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Yogyakarta. Peneliti PuKAT Korupsi FH UGM)