Pada 2 Agustus lalu otoritas fiskal melemparkan wacana penerapan kebijakan pengampunan pajak jilid II. Wacana itu muncul ketika ketua Kadin Indonesia, atas nama pelaku usaha yang menyesal tidak ikut amnesti pajak, merindukan lagi kehadiran amnesti pajak.
Merespons hasrat tersebut, Menkeu Sri Mulyani Indrawati kemudian memberikan sinyal akan menimbang kemungkinan kebijakan pengampunan pajak untuk kedua kalinya (Kompas, 3/8/2019). Wacana itu tentu mengagetkan. Indonesia baru saja melaksanakan amnesti pajak pada Juli 2016-Maret 2017.
Dan tahun ini, di tengah rencana Presiden menurunkan tarif Pajak Penghasilan menjadi 20 persen, sudah bertebaran berbagai insentif pajak lain mulai dari sektor properti, angkutan udara, sampai tenaga kerja.
Harus diakui, pelaksanaan amnesti pajak yang mendatangkan penerimaan pajak dalam jangka pendek adalah godaan terbesar bagi pengelola fiskal. Apalagi di tengah penerimaan kelompok pengusaha nasional, tren seretnya penerimaan, dan risiko kenaikan defisit anggaran akibat kenaikan belanja.
Tak dapat dimungkiri, sejak awal amnesti pajak merupakan isu yang kontroversial dalam perpajakan. Kontroversi yang mendasari amnesti adalah dihapuskannya pokok pajak, sanksi administrasi dan/atau pidana pajak atas ketidakpatuhan yang dilakukan wajib pajak (WP).
Karena itu, amnesti pajak perlu justifikasi. Umumnya, justifikasi itu berasal dari tujuan amnesti pajak, yaitu untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, meningkatkan kepatuhan pajak pada masa datang, mendorong repatriasi modal/aset, dan transisi ke sistem perpajakan yang baru.
Dalam konteks amnesti pajak Juli 2016-Maret 2017, era baru tersebut adalah era keterbukaan informasi keuangan untuk tujuan perpajakan, yang saat ini sedang berlangsung.  Selama ini, amnesti pajak dipandang sebagai jalan keluar bagi WP yang belum patuh untuk jadi patuh.
Dengan amnesti pajak, ke depan WP tak patuh bersama-sama WP patuh akan dikenai pajak secara adil, hingga meningkatkan penerimaan (Jacques Malherbe, 2010).
Efek negatif
Namun, amnesti pajak juga mengakibatkan ketidakpatuhan jika WP berharap ada lagi amnesti di masa datang. Untuk itu, perlu pernyataan tegas amnesti pajak yang digulirkan adalah yang terakhir dan tak akan pernah ada lagi amnesti pajak, sekali dalam satu generasi (Torgler & Schaltegger, 2005).
Amnesti pajak yang berulang dalam waktu berdekatan akan menggerus kredibilitas pemerintah dan kepatuhan WP. WP yang sudah mengikuti amnesti pajak akan menganggap kejujuran dan kepatuhan pajaknya kurang diapresiasi. Karena itu, amnesti pajak haruslah menjadi kesempatan sekali seumur hidup.
Amnesti pajak yang diberikan berkali-kali juga menyebabkan WP cenderung menunggu amnesti pajak berikutnya dan mendorong WP tak menjalankan kewajiban pajakdengan benar. Karena itu, jika pemerintah akan memberikan amnesti pajak, tak boleh ada isu amnesti jilid berikutnya.
Munculnya wacana penerapan amnesti jilid II tentu berisiko mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Komitmen pemerintah sebelumnya yang menyatakan amnesti pajak hanya akan dilakukan sekali dengan sendirinya membuyarkan komitmen tersebut.
Dengan berbagai konsekuensi itu, sulit kiranya berharap ada keberhasilan signifikan yang dapat diperoleh pemerintah dari kebijakan amnesti pajak jilid II, yang melebihi amnesti pajak jilid pertama. Karena itu, kelayakan amnesti jilid II itu perlu dikaji secara lebih mendalam.
Pengalaman di 45 negara bagian Amerika Serikat, yang melakukan 111 amnesti pajak pada 1982-2011, telah menunjukkan hal itu. Umumnya, pemerintah negara bagian memperoleh tambahan penerimaan cukup signifikan, tetapi efeknya semakin kecil seiring kembali dilakukannya program tersebut.
Efek seperti itu terjadi karena amnesti pajak yang terlalu sering akan membuat faktor pengampunan menjadi tak menarik dan sekaligus melemahkan insentif untuk patuh. WP akan memiliki ekspektasi amnesti pajak akan diadakan lagi di masa depan. Alm Mckee dan Beck (1990) memperlihatkan amnesti pajak yang berulang (multiple tax amnesties) dalam jangka waktu berdekatan akan mengurangi tingkat keberhasilan program ini, di samping muncul risiko lain seperti moral hazard dan penggelapan pajak.
Sebagai penutup, wacana amnesti pajak jilid II harus didasarkan justifikasi kuat. Harus ada pernyataan tegas kenapa perlu menghadirkan kembali amnesti pajak jilid II di tengah keterbukaan informasi yang telah siap untuk dieksekusi.
Tanpa justifikasi yang kuat, dikhawatirkan muncul kesan bahwa kebijakan amnesti jilid II hanya memberikan insentif atas ketidakpatuhan. Kalau ini yang terjadi, tentu dapat merobohkan kepercayaan WP yang sudah susah payah dibangun.
Darussalam ; Managing Partner DDTC