Wacana tentang perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memasuki babak baru. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai dengan perolehan suara terbanyak pada pemilu April 2019—yang juga hampir dapat dipastikan akan mendapat jatah kursi pimpinan DPR— menjadikan amendemen UUD NRI 1945 sebagai prasyarat dukungan pada pimpinan MPR. PDI-P memberikan sinyal akan mendukung parpol mana pun untuk mendapat jatah ketua MPR apabila memiliki komitmen yang sama dengan PDI-P, yaitu amendemen UUD.
Pertama, wacana amendemen UUD yang digulirkan PDI-P ini patut mendapatkan apresiasi, tentu terlepas dari agenda politik apa pun yang melatarbelakanginya. Wacana amendemen sudah ada dan menguat sejak 2004, pemilu pertama pasca-amendemen.
Bahkan berbagai kajian akademik telah dilangsungkan untuk mendukung secara ilmiah serta data faktual akan urgensi amendemen UUD. Harus diakui, berbagai problem ketatanegaraan baru muncul pasca-amendemen, yang hanya bisa diperbaiki dengan melakukan amendemen ulang UUD.
Pasalnya, sebagai norma hukum tertinggi dan menjadi sumber bagi peraturan hukum yang ada di bawahnya, tak mungkin menyimpangi bunyi UUD hanya melalui UU ataupun peraturan pemerintah pengganti UU (perppu). Namun, sebesar apapun usulan masyarakat dan sebaik apapun kajian akademik dibuat selama ini, selalu saja gagal karena kurangnya kemauan politik (political will) dari MPR sendiri sebagai lembaga yang secara formal prosedural diberi kewenangan mengamendemen UUD.
Pasal 37 UUD NRI 1945 mensyaratkan, untuk dapat mengamendemen UUD, usul perubahan harus diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR, dalam sidang MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR. Dengan syarat amendemen yang cukup berat, maka political will dari mayoritas anggota MPR mutlak dibutuhkan.
Selama ini, political will itu belum ada. Oleh karena itu, wacana yang dilontarkan PDI-P sebagai partai dengan perolehan kursi terbanyak, membuka harapan baru bagi terselenggaranya amendemen UUD.
Kedua, secara substansial, wacana amendemen yang digulirkan PDI-P hanya berkisar pada beberapa poin di UUD saja, yaitu terkait menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pemandu pembangunan, mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN, dan mengembalikan posisi/kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Jika memang amendemen hanya dibatasai pada tiga ketentuan ini saja, tentu sangat disayangkan, karena problem ketatanegaraan yang sangat mendesak diamendemen justru tak terletak pada tiga poin tadi. Ada banyak masalah ketatanegaraan yang jauh lebih mendesak untuk kita pikirkan bersama.
Arah perubahan
Berkaitan dengan wacana amendemen ini, ada beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan dasar. Pertama, agenda amendemen UUD adalah agenda bersama seluruh masyarakat Indonesia, amendemen bukan agenda parpol, lembaga negara, presiden, atau DPR saja, melainkan seluruh komponen yang ada dalam rumah Indonesia.
Konstitusi merupakan dasar bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh karenanya ia mencakup seluruh elemen dalam negara Republik Indonesia ini. Sehingga, wacana amendemen harus juga jadi agenda bersama. Sebagaimana doktrin yang dikenalkan KC Wheare, konstitusi adalah resultan yaitu hasil dari kesepakatan bersama berdasarkan pada kondisi politik, hukum, sosial, dan ekonomi sebuah negara pada saat itu.
Kedua, amendemen UUD NRI 1945, memang mendesak untuk dilakukan karena Indonesia hari ini menghadapi problem ketatanegaraan yang cukup akut. Untuk menyebut beberapa contoh misalnya, memberikan kewenangan kepada DPR untuk ikut berperan dalam menentukan jabatan pimpinan lembaga negara, telah memicu terjadinya legislative heavy.
Hal ini kontraproduktif dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia, selain itu, lembaga negara independen yang pimpinannya ditentukan pula oleh DPR yang merupakan lembaga politik, akan berpotensi mengalami konflik kepentingan.
Contoh lain, usul calon presiden yang hanya bisa melalui partai politik, tak ada peluang bagi calon perseorangan, telah menguatkan cengkeraman partai-partai besar melalui presidential threshold, padahal telah terbukti berakibat negatif bagi pembangunan demokrasi bangsa Indonesia.
Begitupun dengan penataan hubungan pusat dan daerah yang diatur dalam konstitusi, karena belum menunjukkan ketegasan dan keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat daerah melalui otonomi, sehingga ketimpangan sosial antardaerah sampai hari ini masih demikian kental.
Ketiga, menghidupkan kembali GBHN sebagai penuntun arah pembangunan tentu patut didiskusikan kembali, namun pembentukannya tak mutlak jadi kewenangan MPR. Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi juga telah diberi kewenangan untuk membentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, dan Pendek, yang secara substansial tak jauh berbeda dengan GBHN. Oleh karenanya, menghidupkan kembali GBHN harus disinkronisasikan dengan kewenangan presiden yang telah ada.
Sedangkan wacana PDI-P mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dalam konsepsi negara modern hari ini, sudah tak relevan. Selain hampir dapat dipastikan akan dapat banyak penolakan, wacana itu juga kontraproduktif dengan demokrasi Indonesia yang sudah memosisikan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.
(Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi, Mahasiswa Program Doktor FH UII Yogyakarta)