Ketika akhir-akhir ini terdengar lagi lontaran pikiran tentang amendemen UUD, banyak orang yang heran. Apalagi hal itu terlontar dari partai politik. Bukankah selama ini partai politik kebanyakan diam dalam soal tersebut?
Tak mudah menebak, apakah itu siratan niat yang sebenarnya, ataukah sekadar untuk menjajaki keadaan. Karenanya tak mengherankan bila kemudian banyak yang bertanya-tanya. Mudahkah menyiapkan materi, dan cukupkah waktu untuk penggalangan politik, ketika MPR hampir purna tugas?
Bagaimanapun, akan lebih baik kalau semua itu ditanggapi dengan tenang. Tak perlu dengan sikap pongah, sinis dan curiga, apalagi dengan olok-olok akan kembali ke masa lampau dan lain-lain. Yang perlu, menanganinya dengan tenang, cermat, dan arif.
Jangan lupa, hanya selang beberapa tahun setelah amendemen keempat tahun 2002, riuh terdengar aneka penilaian dan wacana tentang itu. Dulu ada yang menerima. Banyak pula yang menilai sebagai langkah kebablasan, dan karenanya menolak amandemen itu. Bahkan ada yang minta kembali saja ke UUD sebelum amendemen.
Ada lagi yang minta perubahan sebagian saja, tetapi hanya untuk kelompoknya. Lebih menarik, ada yang malah minta penataan ulang. Semua dengan alasan masing-masing. Waktu itu rasa-rasanya tak ada reaksi atau tanggapan dari parpol, baik dari unsur pimpinan maupun anggota.
Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas telah membulatkan seluruh pro dan kontra tadi dalam Seminar Nasional tahun 2007. Untuk meredam ekses khususnya dalam tatanan politik (dengan memerhatikan situasi dan kondisi, dan dengan mencermati pengalaman pergulatan politik dan ideologi yang selalu menyelimuti kehidupan nasional), seminar menggulirkan rekomendasi penyelesaian melalui penataan ulang fungsi dan tata kerja kelembagaan negara. Caranya dengan perubahan UU yang mengaturnya.
Bukan melalui jalan amandemen, mengingat kondisi nasional yang rentan konflik. Namun kalau diinginkan penataan ulang yang lebih komprehensif, seminar menyarankan sikap dan langkah yang lebih hati-hati, cermat, arif, dan dengan pendekatan yang tepat pula.
Terkait lontaran pikir tentang amandemen sebagian baru-baru ini, ataukah agak banyak, atau bisa-bisa jadi banyak, atau penataan ulang sekalipun, tampaknya yang namanya soal pendekatan ini baik untuk ditimbang. Coba perhatikan. Kalau ada lebih dari satu pihak, dan masing-masing juga hanya minta amandemen walau katanya hanya sebagian, rasanya tidak akan ada yang berani menjamin bahwa akhirnya amandemen tidak akan menjamah banyak bidang.
Dengan segudang pengalaman kolektif yang ada, sudah sepatutnya bila kita semua mencoba menangani isu amandemen ini secara baik dan tepat. Alasannya sederhana. Masalahnya menyentuh yang namanya UUD. Masalah hukum dasar kita. Bilamana itu memerlukan perencanaan yang cermat dan prosesnya pasti akan memakan waktu, ya itulah yang sebaiknya kita sikapi.
Dalam soal hukum dasar ini, jangan lagi ada pemikiran parsial, sikap pragmatik, apalagi hanya demi kepentingan kelompok yang hanya baik untuk sesaat dan berjangka pendek. Bukan hanya dalam soal yang menyangkut prinsip-prinsip dan substansi, atau tentang arah, jangkauan dan bagaimana pelaksanaannya, tetapi soal waktu pun sebaiknya ditimbang masak-masak terlebih dahulu.
Kewenangan
Ketika UUD sebagai hukum dasar dipahami sebagai dokumen kesepakatan sosial politik manusia yang kemudian menjadi rakyatnya negara, pertanyaan dasar dan sederhana yang muncul, siapa sesungguhnya berwenang mengubah kesepakatan mereka? Bukankah itu ibarat kontrak di antara mereka?
Bila semua hanya untuk penyusunan dan pengesahan yang pertama kali, mungkin banyak tersedia penjelasannya. Tetapi bila menyangkut perubahan atau penggantian berikutnya, soalnya bisa lain lagi. Sebelum amandemen, UUD hanya menegaskan kewenangan MPR yang sebatas menetapkan saja. Itupun semasa lembaga itu dilekati predikat yang nggegirisi: lembaga tertinggi, mandataris pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat. Hanya menetapkan, tak mengubah!
Setelah amandemen, dengan memanfaatkan momentum yang luar biasa, kekuatan politik masa itu mengubah ketentuan tadi. MPR tak hanya menetapkan tapi juga berwenang mengubah. Sesungguhnya agak aneh, semasa kewenangannya bertambah; kedudukan, fungsi dan perannya malah ditipiskan. MPR pasca -amandemen menjadi bukan lagi lembaga tertinggi, bukan mandataris dan bukan pula pelaksana kedaulatan rakyat.
Hukum memanglah hukum. Bukan hanya wajib ditaati, tetapi juga dilaksanakan. Pertanyaannya tetap sama: apa dasarnya, lembaga yang dibuat “bukan apa-apa lagi”, kemudian malah boleh mengubah kontraknya rakyat yang katanya memiliki kedaulatan? Justru masa lalu yang belum terlalu jauh, ketika posisi kenegaraan MPR masih kokoh, untuk mengubah UUD malah dirancang harus melalui referendum.
Pengalaman kemudian memberi pelajaran, bahwa soal yang terlalu besar untuk menyerahkan sepenuhnya kewenangan mengubah UUD hanya kepada lembaga (MPR sekalipun) yang justru tidak dititipi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Tetapi bagaimanapun, membiarkan proses tersebut tanpa wadah dan aturan main, bisa-bisa juga hanya akan mengundang keributan.
Aturan main
Kalau bukan sepenuhnya MPR, lantas siapa dan bagaimana? Kembalikanlah kepada rakyat. Kalau alergi terhadap istilah lama, boleh juga dicari yang lain. Menyusun dan mengubah UUD memang bukan saja soal keahlian, tetapi juga soal kearifan, kematangan, kenegarawanan.
Bukan semata urusan akademik, apalagi teknis. Kalau harus dikembalikan, maka untuk mempersiapkan agar memudahkan rakyat menangkap maksud, memahami dan menyatakan sikap menyetujui atau menolak rencana perubahan, jelas perlu alat dan mekanisme yang baik.
Kembali pada keinginan amandemen saat ini, mungkin hal itu sulit dapat terwujud dalam waktu dekat. Oleh karena itu ada baiknya, bila di masa-masa sidang MPR yang baru nanti, MPR membuat ketetapan MPR yang terlebih dulu memberi aturan main dan tata cara perubahan UUD.
Keberadaan aturan main yang akan menjadi patokan untuk dipatuhi semua pihak, sangat penting agar isu dan proses amandemen tak ramai jadi gunjingan atau alat politik yang tak terkendali. Setidaknya, MPR tetap jadi wadah bagi kegiatan perubahan, walau tak sepenuhnya. Dalam hal apa MPR tidak berwenang sepenuhnya, dan bagaimana pula patokan tadi mesti diberikan?
Pertama, arah amandemen mesti jelas, sekadar mengubah, menata ulang, atau mengganti. Kedua, kalau NKRI dan Pancasila merupakan harga mati, amandemen tak menjamah Pembukaan dan sebatas Batang Tubuh. Ketiga, membentuk Panitia Negara untuk Perubahan UUD atau Panitia UUD, yang menyelesaikan dulu soal prinsip substansi, struktur dan sistematika.
Keempat, Panitia Negara mentabulasi prinsip apa yang akan diubah, alasannya, arah dan bentuk akhir prinsip yang dibangun. Kelima, Panitia Negara yang menyosialisasikan dan meminta persetujuan atau penolakan kepada rakyat (seperti halnya KPU untuk pemilu). Keenam, Panitia Negara yang menyusun, dan dalam hal mendapat persetujuan, merumuskan dalam format rumusan UUD. Ketujuh, MPR memiliki kewenangan politik menetapkan rencana perubahan, tetapi bukan MPR sendiri yang mengubah. MPR hanya mengesahkan rancangan (perubahan) UUD jadi UUD.
Dalam patokan ketiga hingga ketujuh tadi, terisilah makna MPR berwenang tetapi tak sepenuhnya. Dengan pola pikir seperti itu pula rakyat menjelma jadi pemilik kedaulatan dalam arti sesungguhnya. Pembentukan Panitia Negara dapat ditugaskan kepada Presiden dan bertanggung jawab kepadanya. Susunan keanggotaannya menyertakan semua elemen yang memiliki keahlian dan kematangan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara: politik, ideologi, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan keamanan nasional.
Untuk itu sebaiknya Presiden diberi ruang gerak cukup untuk mengambil prakarsa dengan membicarakannya, melalui forum apapun namanya, bersama pimpinan lembaga negara seperti MPR, DPR dan DPD, di samping para guru bangsa, tokoh pendidik, perguruan tinggi, pimpinan TNI dan Polri, para pimpinan parpol, para kepala daerah, media, organisasi kemasyarakatan, keagamaan, budayawan, asosiasi profesi atau ahli, dan lain-lain elemen yang mewakili bangsa.
Hasil kerja Panitia Negara berupa naskah rancangan UUD yang sudah diubah, diserahkan Presiden kepada MPR untuk disahkan. Sekali lagi, perubahan UUD memang urusan yang terlalu besar untuk hanya diserahkan sepenuhnya pelaksanaannya kepada MPR.
(Bambang Kesowo ; Ketua Dewan Penasehat IKAL Lemhannas)