Sejak akhir tahun lalu, pemerintah masif mengintervensi pasar beras melalui operasi pasar. Tahun ini, pemerintah menurunkan kriteria operasi pasar (OP). OP dilakukan jika tingkat kenaikan harga beras minimal 5 persen di atas harga eceran tertinggi (HET) dalam seminggu terakhir untuk kualitas medium.
Sebelumnya, angka trigger 10 persen atau lebih di atas harga rata-rata beras medium di tingkat konsumen dalam seminggu terakhir. Harga referensi terakhir adalah rataan bergerak (moving average), yaitu sesuai dengan perkembangan harga pasar. Berbeda dengan harga referensi HET yang tetap dan tidak memedulikan perkembangan harga pasar.
Pendanaan cadangan beras pemerintah (CBP) untuk keperluan OP juga diubah dari sistem persediaan menjadi sistem penggantian. Bulog menerima penggantian selisih harga pokok beras (HPB) dengan harga OP yang ditetapkan Kemendag kali volume OP.
Sebelumnya, dana APBN Rp 2,5 triliun per tahun untuk CBP langsung dipakai untuk mengisi CBP yang jumlahnya 250.000- 300.000 ton per tahun. Dengan perubahan ini, pemerintah sesungguhnya tidak menguasai CBP yang dipatok 1,5 juta ton. Bulog yang memiliki stok dengan berbagai risikonya: susut dan turun mutu serta menanggung biaya pemeliharaan.
Target harian OP ditetapkan. Pada periode paceklik November-Februari dan periode Ramadhan-hari raya (Mei-Juli) setiap alokasi target OP 5.000 ton beras per hari, periode sisanya 2.000 ton per hari. Kalau hal itu terealisasi, OP beras per tahun dapat mencapai 1,4 juta ton. Tahun lalu, realisasi OP hanya 0,5 juta ton. Hingga akhir Mei 2019, realisasi OP beras Bulog mencapai 221.000 ton atau hanya 39 persen dari target 570.000 ton.
Beleid tersebut, antara lain, tertuang dalam Permendag No 127/2018 tentang Pengelolaan CBP untuk Program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) serta surat Mendag No 2/2019 ke Bulog. Pertanyaannya, tepatkah OP dalam rezim HET? Bagaimana nasib stok beras Bulog?
Harga stabil
Salah satu alat ukur stabil-tidaknya harga gabah/beras dihitung atas besaran angka coefficient of variation (CV). Semakin rendah angka CV  (dalam persen), semakin stabil harganya, berlaku juga sebaliknya.
Terungkap bahwa angka CV dalam tiga tahun terakhir (2015-2018) jauh lebih rendah daripada 2011-2014 atau   2006- 2010 untuk harga gabah (gabah kering panen/GKP) di tingkat petani, harga beras kualitas premium (IR-1) dan kualitas medium (IR-3) di PIBC (Pasar Induk Beras Cipinang).
Pada 2015-2018, besaran angka CV untuk GKP 6 persen, IR-1 (6 persen), dan IR-3 (5 persen). Bandingkan dengan periode 2006-2010 untuk GKP (15 persen), IR-1 (14 persen), dan IR-3 (11 persen). Artinya, harga beras paling stabil pada periode 2015-2018 ketimbang dua periode sebelumnya.
Namun, pemerintah belum puas dan ingin agar harga beras (khususnya kualitas medium) lebih stabil lagi walau harga sulit ditekan lagi. Sejak Januari hingga Mei 2019, harga beras kualitas medium (IR-3) di PIBC  sangat stabil dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Harga beras medium bergerak Rp 8.500-Rp 8.675 per kg. Tidak heran jika OP beras Bulog kurang laku, pasar beras lesu.
Pemerintah tampaknya berhasil menekan beda harga beras antarmusim, hampir mendatar sepanjang tahun, terutama beras kualitas medium. Pada saat yang sama, HET beras kualitas medium 2017 juga ditetapkan sangat rendah, Rp 9.450 per kg di wilayah produsen utama, sedangkan harga GKP masih tinggi di atas Rp 4.300 per kg.
Dalam situasi itu, hampir tidak mungkin penggilingan padi kecil sebagai produsen utama beras kualitas medium memperoleh cukup insentif untuk berusaha, banyak di antaranya yang merugi. Perpadi memperkirakan sekitar 40 persen penggilingan padi (PP) tutup usaha.
Kita tahu, OP beras adalah salah satu instrumen untuk meredam kenaikan harga, dengan cara menambah suplai beras ke pasar. OP umumnya berlangsung saat paceklik, November- Januari. Pada periode itu, produksi gabah merosot, sebagian besar stok gabah/beras di tangan pelaku usaha.
Saat Bulog menyuntik beras ke pasar melalui OP, harga beras teredam dan turun. Para pelaku usaha perlahan melepaskan stok. Kalau tidak, mereka akan rugi. Namun, kadang OP kurang berhasil karena intervensi pasar terlambat, banyak rambu OP, dan stok Bulog minim.
Penetapan jumlah target OP tidak pernah dilakukan, apalagi target harian. Kalau itu dilakukan, dapat merusak mekanisme pasar, insentif para pelaku usaha untuk stok antarmusim berkurang, dan penetrasi pasar menjadi lemah.
Kriteria OP
Melihat kecilnya trigger kenaikan harga (minimal 5 persen) dengan referensi HET yang sangat rendah dibandingkan dengan harga pasar, secara teoretis dapat dipastikan Bulog akan terus melakukan OP karena kriteria OP terpenuhi.
Namun, pasar bereaksi lain. Pasar beras lesu, perbedaan harga beras antarmusim sangat rendah, Bulog kesulitan melepas stok lewat OP. Stok beras Bulog hingga akhir Mei masih tinggi, 2,023 juta ton, 78 persen berasal dari beras impor.
Tampaknya OP tidak mampu menggantikan penyaluran beras Bulog melalui program Rastra yang dihentikan 2018. Kebijakan OP pada rezim HET adalah tindakan rancu karena ketentuan HET mengikat secara hukum sehingga OP tidak perlu dilakukan. Barang siapa menjual beras di atas HET, ia dapat diperkarakan, didenda, atau dicabut izin usahanya.
Maka, Satgas Pangan berfungsi menegakkan peraturan ini. Banyak juga pelaku usaha yang sudah ditindak. Kenyataannya, harga beras di banyak tempat di luar pasar modern stabil dan tinggi, jauh di atas ketentuan HET. Ketentuan HET membuat konsumen menengah ke atas mengeluh, sulit mencari beras sesuai preferensinya meski harga tak jadi pertimbangan. Beras kualitas premium sesuai ketentuan HET bukan preferensi mereka.
Di pihak lain, kebijakan HET memukul industri PP modern sehingga tak berani menghasilkan beras berkualitas dan berinovasi karena biaya produksinya lebih tinggi dari ketentuan HET. Kini, PP modern cenderung berlomba memproduksi beras khusus, yang harganya tak diatur pemerintah. Namun, pengawasan atas klaim beras khusus harus dilakukan berkala agar konsumen terlindungi.
Berikut saran buat perbaikan kebijakan mendatang. Pertama, harga beras stabil dan tinggi di atas HET sulit diturunkan dengan instrumen Satgas Pangan. Karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas penetapan HET beras, terutama kualitas medium. Sejumlah asumsi perlu ditinjau ulang, terutama biaya pemasaran beras dan banyak pemain yang perlu dilihat jasanya dalam mengemban fungsi pemasaran gabah/beras.
Kedua, pemerintah perlu meninjau ulang pendanaan CBP untuk OP dengan sistem penggantian karena pemerintah seharusnya menanggung semua biaya akibat kepemilikan CBP sebagai program layanan publik, bukan Bulog.
Ketiga, stok beras Bulog tinggi dan sulit disalurkan walau pemerintah telah menargetkan OP dalam jumlah besar, realisasinya sangat rendah, pasar beras lesu. Pemerintah seharusnya memutuskan penyalurannya sesegera mungkin agar beban kelebihan stok teratasi. Salah satunya adalah mengaitkan kebijakan beras dengan program sosial demi terwujudnya tujuan kebijakan beras, yaitu penyerapan gabah/beras petani serta penguatan stok beras nasional.
(M Husein Sawit ; Anggota Dewan Penasihat PP Perhepi)