Pemerintah RI kalah di forum WTO menghadapi tuntutan Brasil. Akibatnya, Indonesia akan dibanjiri daging ayam dari Brasil. Tidakkah cukup produksi ayam kita?
Rata-rata konsumsi daging ayam ras per kapita per tahun Indonesia pada 2017 sebesar 5,68 kg, sementara konsumsi daging ayam kampung 782 gram.  Dengan penduduk sekitar 265 juta, perlu 1,5 juta ton daging atau 1 miliar ayam per tahun. Sementara produksi ayam ras pedaging 1,69 miliar ekor, ras petelur 166,72 juta, ayam bukan ras (buras) 310,52 juta ekor.
Berpijak pada data makro 2017 ini, yang mungkin belum banyak berubah, tampak terdapat surplus. Namun, mengapa daging ayam Brasil akan masuk? Jika selisih harga di dalam negeri dengan luar negeri cukup untuk menutup biaya impor, masuklah produk impor.
Surplus ternyata tak otomatis menyebabkan murahnya harga daging ayam dalam negeri. Hal ini karena keterbatasan pengolah daging ayam menyebabkan harga daging ayam tinggi. Sementara ayam hidup yang tak diolah (surplus) harganya jatuh. Tingginya harga daging menarik masuknya daging ayam impor.
Mengapa daging ayam di Brasil bisa lebih murah? Pakan adalah sumber biaya utama memelihara ayam. Jagung menyumbang 65 persen biaya pakan. Brasil negara terluas kelima dunia dengan 8,5 juta kilometer persegi daratan. Dengan menanam 16 juta hektar jagung, Brasil produsen utama jagung dunia.
Kesesuaian iklim memungkinkan dua panen per tahun. Brasil juga memanfaatkan skala ekonomi, teknologi jagung hibrida, dan manajemen tanaman. Hal ini kontribusi direktorat riset Kementerian Pertanian Brasil yang mampu memperbaiki kualitas lahan marjinal sehingga terjadi perluasan lahan yang bisa ditanami sejak 1970-an.
Pemerintah Brasil, melalui PEPRO, memberikan subsidi kepada pembeli jagung komersial sebesar selisih antara harga dasar (petani) dan harga pasar. Dengan demikian, petani selalu terjamin penerimaannya dan bergairah menanam jagung. Proses lelang jagung dilakukan secara nasional dan pemerintah menguasai sekitar 25 persen produksi nasional untuk keperluan menunjang kebijakan strategis pemerintah (ekspor atau industri domestik).
Dengan dukungan industri jagung, Brasil merupakan eksportir daging ayam terbesar di dunia dengan pangsa 25 persen. Tak hanya Indonesia yang akan kebanjiran daging ayam Brasil, tetapi juga 150 negara lain. China terpaksa menggunakan tuduhan dumping dan mengenakan tarif impor untuk membendung daging ayam Brasil. Afsel mengalami kesulitan sama.
Terintegrasi
Kemampuan ekspor Brasil tak lepas pula dari struktur industri daging ayam yang sangat terkonsentrasi. Terdapat dua perusahaan besar yang menguasai 70 persen produksi daging ayam nasional. Perusahaan-perusahaan lain beroperasi secara terintegrasi dengan peternak. Dengan demikian, terjamin standar kualitas produksi, standar pakan, dan efisiensi. Situasi di Indonesia berkebalikan.
Daratan Indonesia hanya 1,9 juta km2. Sebagai negara kepulauan, sulit mencapai skala produksi ekonomis seperti Brasil, sementara biaya angkut antarpulau tinggi. Struktur produksi jagung dan ayam tersebar dalam skala yang kecil-kecil.
Petani jagung memiliki lahan sangat terbatas, hasil jagung dikelola pedagang pengumpul, baru kemudian diproses perusahaan pakan ternak.
Demikian pula gambaran peternak ayam. Produksi jagung dan ayam kebanyakan terintegrasi dengan perusahaan pengolah di atasnya. Berbeda dengan Brasil yang memberikan insentif bagi petani melalui jaminan harga, petani jagung dan peternak kita dibiarkan berhadapan langsung dengan perusahaan besar dan ancaman globalisasi pasar jagung dan daging ayam impor.
Meski produksi jagung dan daging ayam sulit mencapai skala ekonomis, praktik pertanian terintegrasi dengan prinsip zero waste bisa jadi alternatif solusi untuk menghemat biaya. Peternak ayam didorong memanfaatkan limbah ayam menjadi biogas, menghasilkan listrik untuk pengoperasian peternakan ataupun rumah, sementara limbahnya juga bisa untuk media jamur. Petani jagung mengolah batang dan tongkol jagung sehingga tak ada limbah, baik dalam produksi jagung maupun ayam.
Unit produksi yang kecil, ditunjang sistem mengolah semua produk tanpa limbah, memungkinkan penghematan biaya produksi. Sementara industri pemroses daging ayam perlu didorong agar kian terbuka sehingga makin banyak ayam yang bisa diproses di daerah peternakan.
Industri ayam Indonesia dikembangkan dengan sistem satelit, berprinsip skala ekonomi lokal berbasis zero waste sehingga kompetitif terhadap pesaing di luar negeri. Ketahanan sektor daging ayam dalam skala lokal ini akan teragregasi secara nasional dan siap berkompetisi.
(Catur Sugiyanto ; Guru Besar pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM)