Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara pada 9 Agustus 2019 di Jakarta menelurkan beberapa masukan sangat konstruktif kepada pemerintah.
Seperti diberitakan Kompas (15/8/2019: ”Masyarakat Adat Indonesia, Menanti Janji Ditepati”), ada beberapa hal yang jadi catatan, terutama menyangkut kebijakan dan pencapaian pengakuan hutan dan masyarakat hukum adat.  Saya menyambut baik catatan-catatan itu karena sesungguhnya semua catatan itu telah, sedang, dan akan menjadi perhatian pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sejak 2014, terdapat perkembangan paradigma yang cukup signifikan dalam melihat hutan adat yang jadi tempat hidup masyarakat hukum adat. Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla memandang hutan adat perlu mendapat prioritas untuk diperhatikan secara lebih intens. Karena itu, dalam struktur baru KLHK, masyarakat adat mendapat perhatian lebih melalui direktorat jenderal tersendiri karena hutan adat masuk dalam skema perhutanan sosial.
Perhutanan sosial merupakan jalan baru bagi pemerintah, yang mewakili negara, dalam memandang masyarakat hukum adat yang punya hak setara dengan masyarakat lain di seluruh bumi Nusantara. Melalui perhutanan sosial, masyarakat adat mendapat pengakuan resmi dan punya wadah legal untuk memiliki akses mengelola wilayah hidup mereka, yang sudah ada sebelum Nusantara jadi republik.
Dengan cara pandang ini, pemerintah telah menjunjung tinggi keberadaan masyarakat adat sehingga mereka tak lagi menjadi kelompok yang terus terpinggirkan seperti di era sebelumnya. Sebagai bagian dari organ pemerintah, saya memahami sejarah pengelolaan hutan kita dahulu yang lebih condong pada korporasi untuk mendapat efek ganda bagi kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi.
Komitmen pemerintah
Cara-cara teknokratis dan sentralistis seperti itu sudah menjadi masa lalu. Masyarakat adat sudah tak lagi dianggap sebagai bagian dari efek ganda itu, tetapi menjadi garda depan kesejahteraan. Dengan memberikan akses kepada masyarakat mengelola hutannya secara legal, negara mendorong mereka menentukan jalan kesejahteraannya sendiri.
Negara mendukung dengan menyediakan regulasi dan aturan main, semata-mata agar perlakuan setara itu terwujud dan terimplementasikan di lapangan.
Maka, pada Desember 2016, untuk pertama kalinya, Presiden Jokowi meresmikan pemberian surat keputusan hutan adat bagi sembilan kelompok masyarakat adat di Istana Negara.
Ini adalah sejarah baru hubungan negara (cq pemerintah) dengan masyarakat adat. Sejak itu, pemerintah terus membuka diri, mendorong, dan mengampanyekan agar sembilan lokasi itu terus bertambah dari waktu ke waktu.
Maka, hingga Agustus 2019, terdapat 55 surat keputusan pengakuan hutan adat dengan total luas 34.569 hektar. Tentu saja ini jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan pencapaian perhutanan sosial yang telah mencapai 3,25 juta hektar untuk lima skema: hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan. Apalagi jika dibandingkan dengan komitmen pemerintah memberi akses kelola hutan seluas 12,7 juta hektar.
Namun, yang sedikit itu akan bertambah terus. Sebab, pada akhir Mei 2019, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan peta indikatif hutan adat fase I seluas 472.981 hektar. Luas ini bertambah menjadi 578.419 hektar dalam revisi tahap II per 8 Agustus 2019. Penyusunan peta indikatif ini setelah mendengarkan dan menerima masukan dari para pegiat hutan adat, seperti AMAN, Huma, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Badan Registrasi Wilayah Adat, bersama anggota lainnya pada Tim Percepatan Penetapan Hutan Adat yang dibentuk KLHK.
Artinya, peta indikatif itu menunjukkan komitmen pemerintah yang serius dalam mengakui masyarakat adat yang telah terbukti lebih lestari dalam mengelola hutan karena praktik kearifan lokal berjalan secara turun-temurun dalam masa ratusan tahun. Sebab, demikianlah tujuan perhutanan sosial, dengan hutan adat menjadi bagian tak terpisahkan dalam skema itu.
Selain mendorong pemberdayaan masyarakat melalui hutan dalam bidang ekonomi, mengurangi konflik tenurial dalam bidang sosial, cita-cita tertinggi perhutanan sosial adalah terciptanya kelestarian ekologi bagi hutan tropis Indonesia yang kaya dengan keragaman hayati ini. Pemerintah mafhum, hutan tropis Indonesia adalah salah satu penyangga utama kelestarian planet ini.
Aturan main
Hanya saja, memang, proses pengakuan itu terasa lambat karena kita memiliki aturan main. Seperti ditegaskan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam pidato di Kongres AMAN, kita telah sepakat melihat masyarakat hukum adat dalam bingkai kesatuan dan negara nasional. Artinya, masyarakat adat juga mengikuti perangkat aturan itu karena basisnya adalah kesepakatan dalam bernegara seperti cita-cita para pendiri Republik.
Dengan kata lain, dalam proses itu ada tahap-tahap birokrasi yang harus dilewati bagi sebuah masyarakat adat yang hak mengelola hutannya akan diakui negara. Kriteria clear and clean sebelum pemberian surat keputusan mutlak diperlukan agar tak ada tumpang tindih di atasnya—seperti pengalaman dalam mengelola hutan di masa lalu.
Clear berarti masyarakat hukum adat diakui keberadaannya melalui pengakuan oleh pemda setempat. Syarat clear dianggap terpenuhi jika: a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c) ada wilayah hukum adat yang jelas; d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara kriteria clean, jika wilayah adatnya tidak sedang bersengketa dengan pihak lain, sehingga ketika pemerintah mengakuinya secara legal, masyarakat adat tenang dalam mengelola wilayah adat mereka.
Pemerintah pusat terus mendorong pemerintah daerah sebagai pintu utama pengakuan hutan adat untuk terus mengadvokasi masyarakat adat mendapatkan haknya, dengan menjalin pelbagai kesepakatan bersama. Maka, tanpa ada payung hukum Undang-Undang Masyarakat Adat sekalipun—karena masih digodok pemerintah dan DPR— pengakuan terhadap mereka terus berjalan tanpa menabrak aturan yang selama ini berjalan.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara. Maka, jika ada pertanyaan bagaimana nasib hutan adat ke depan, jawabnya pasti dan meyakinkan: secerah langit Agustus dan seterang siang bulan Juni. Negara akan terus mengakuinya karena konstitusi telah memerintahkannya.
(Bambang Supriyanto ; Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK)