Basis serangan Amerika Serikat terhadap China tidak terlalu kuat. Lembaga internasional dan para pakar pun telah mementalkan serangan AS itu. Sebagian pebisnis AS juga tidak senada dengan kebijakan Presiden AS Donald Trump terhadap China.
Pada 15 Maret 2018, Presiden Kamar Dagang AS Thomas J Donohue menyatakan, tarif untuk impor dari China serupa dengan memajaki konsumen dan perusahaan AS. Tuduhan China memanipulasi kurs dibantah oleh Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa pergerakan kurs yuan masih wajar.
Ekonom AS Joseph E Stiglitz, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, menyatakan, Trump tidak memahami mata rantai produksi global. Ekspor China ke AS bukan melulu produk China, melainkan milik korporasi AS yang diproduksi di China. Trump ingin produksi dipindahkan ke AS. ”Niat itu tidak mudah dilaksanakan,” kata Edward Brzytwa, Direktur Perdagangan Internasional American Chemistry Council.A
Efisiensi produksi di China lebih bagus. Jika niat Trump diikuti, serupa dengan membiarkan diri kalah dalam persaingan global. Korporasi global memang menjadikan China sebagai basis produksi.
Tuduhan China merampas hak-hak pekerja AS tidak sahih. Perdagangan China-AS bukan eksploitatif seperti antara negara penjajah dan yang dijajah. Ini perdagangan berdasarkan kekuatan pasar. Prinsip ekonomi berlaku, maksimalisasi keuntungan dengan biaya produksi paling rendah.
Skala ekonomi produksi di China begitu besar sehingga mampu menawarkan biaya produksi paling rendah. Ini dipadu dengan kecanggihan infrastruktur dan pelabuhan-pelabuhan efisien.
Perencanaan dan inovasi
Argumentasi Trump juga tidak kuat tentang tuduhan pencurian teknologi. Setiap negara berhak meningkatkan teknologi. Ilmu ekonomi mengingatkan agar negara-negara tidak masuk jebakan kelas menengah (middle income trap). Ini sebutan bagi negara-negara yang tidak bisa naik status menjadi negara-negara berpendapatan tinggi.
Untuk itu, pencarian teknologi dan peningkatan kualitas ekonomi merupakan keharusan. Oleh sebab itulah China ingin beralih dari basis produksi manufaktur menjadi basis hi-tech, yang dikejar dengan inovasi.
Tidak mungkin negara-negara di dunia bergantung hanya pada temuan-temuan AS. Ini artinya membuat dunia melulu bergantung kepada AS. Inovasi di China tidak melulu soal pencurian teknologi, seperti dikatakan Edmund Phelps, ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2006. Meski juga tidak dimungkiri kemungkinan adanya pencurian teknologi oleh China.
Akan tetapi, negara mana di dunia yang tidak mencoba hal serupa itu. Sejarah mencatat pencurian teknologi Inggris oleh AS. ”Setiap orang saling memata-matai,” kata Graham T Allison dari Harvard University.
Berencana matang
Seperti juga dikatakan John Naisbitt dan istrinya, Doris Naisbitt, China sangat unggul soal inovasi. Ada perencanaan dan dukungan matang soal itu.
Inovasi adalah bagian dari program kolosal China tentang pembangunan. Sejak reformasi 1978, China mengirimkan puluhan ribu mahasiswa belajar ke luar negeri. Mereka menjadi ahli manajerial dan andalan ekonomi. China juga memanfaatkan para ekonom dan ahli lain dari dunia untuk menguatkan program ekonominya.
China pun sangat ketat menjalankan perencanaan ekonomi yang dilakukan bertahap. Buku berjudul Zhu Rongji on the Record: The Road to Reform: 1998-2003, karya Zhu Rongji dan Henry A Kissinger, dengan jelas menunjukkan perencanaan matang tersebut.
Ketika Trump mengatakan China tidak memiliki perekonomian terbuka, hal itu ada dasarnya. Dalam buku itu, misalnya, disajikan percakapan George Soros dengan Zhu Rongji, Perdana Menteri China era 1998-2003. Soros menyarankan agar China memperkuat ekonomi domestik dengan deregulasi secara bertahap sebelum membuka diri.
Soros menyatakan, salah satu alasan China aman dari krisis moneter Asia 1997 adalah karena negara ini tidak menjalankan kebijakan kurs bebas. Deregulasi, seperti pernah dikatakan Stiglitz, juga harus saksama. Negara berkembang harus siap terlebih dahulu sebelum membuka total sistem persaingan.
Jadilah China seperti sekarang, lebih terbuka meski tidak terbuka total seperti tuntutan AS. Inovasi dan pengejaran teknologi pun dilakukan. Pesawat setara dengan Boeing 737, misalnya, sudah mampu dibuat dengan peluncuran C919 pada tahun 2017.
China pun melangkah lebih lanjut. Dengan program ”Made in China 2025” yang dicanangkan Presiden Xi Jinping pada 2015, China ingin unggul melampaui AS dalam berbagai sektor.
Menisbikan sisi positif
Dalam kaitan dengan China, Trump seperti menisbikan sisi positif. China tampil sebagai pemegang obligasi Pemerintah AS yang sangat besar. Pada Desember 2018, China memegang 1,123 triliun dollar AS obligasi Pemerintah AS. China dan Jepang bergantian memegang posisi sebagai pemegang terbesar obligasi Pemerintah AS.
Dana dari China ini bertujuan menutupi defisit anggaran Pemerintah AS. Adalah defisit ini yang menandakan AS lebih banyak berkonsumsi ketimbang berproduksi. ”Hal inilah yang membuat AS mengalami defisit perdagangan,” kata Stephen Roach dari Yale University.
China menerima kehadiran korporasi AS. Keuntungan korporasi AS dari bisnis di China ini begitu besar. Perusahaan-perusahaan teknologi informasi AS termasuk yang paling diuntungkan dari bisnis dengan China.
Saat bersamaan, China gencar memukau dunia dengan penampilan-penampilan global mereka. Ada diplomasi puisi oleh Presiden Xi Jinping. Wajah China lebih ramah dan bersahabat di panggung-panggung internasional. ***