Pemadaman listrik secara massal yang terjadi pada Minggu (4/8/2019) cukup mengagetkan banyak pihak. Pasalnya, pemadaman melingkupi hampir seluruh wilayah Jawa Barat, Jabodetabek, Banten, dan sebagian wilayah Jawa Tengah. Selain area terdampak yang luas, waktu pemadaman berlangsung cukup lama, lebih dari enam jam. Bahkan, beberapa daerah sampai mengalami pemadaman bergilir hingga Senin (5/8).
Sekalipun pemadaman terjadi pada hari libur dan siang hari, mayoritas masyarakat benar-benar dibuat ”mati gaya”. Bagaimana tidak, dalam kehidupan masyarakat modern, listrik tak hanya berfungsi sebagai penerang. Listrik sudah menjadi gaya hidup dan penopang seluruh kegiatan masyarakat. Berbagai aktivitas rumah tangga telah bergantung pada listrik, seperti mesin penanak nasi, dispenser, pompa air, dan kulkas. Bagi sebagian masyarakat kota, barang-barang itu tak lagi menjadi kebutuhan sekunder, tetapi kebutuhan pokok.
Apalagi untuk kegiatan di luar rumah dan hampir seluruh pelayanan publik sangat bergantung pada pasokan listrik. Dimulai dari keluar rumah, sektor transportasi di Jakarta sudah sangat bergantung pada pasokan listrik. Contoh paling sederhana sistem pengaturan lampu lalu lintas. Lampu lalu lintas tidak akan berfungsi jika listrik padam sehingga akan berdampak kemacetan di mana-mana. Layanan moda kereta api, baik kereta rel listrik (KRL) maupun moda raya terpadu (MRT), dengan sendirinya akan terhenti. Apalagi MRT berada di bawah tanah. Ketika tidak tersedia cadangan energi listrik, tentu tidak hanya menghambat perjalanan, tetapi juga sangat berisiko terhadap keselamatan masyarakat.
Sektor telekomunikasi tak luput kena imbas. Hampir semua provider mengalami putus jaringan alias offline, baik jaringan telepon maupun transmisi data. Praktis hari Minggu lalu benar-benar menjadi hari kelabu bagi sebagian besar masyarakat, terutama di perkotaan. Hampir seluruh aktivitas masyarakat mengalami gangguan yang cenderung menuju kelumpuhan. Tidak bisa dibayangkan jika terjadi pada hari kerja yang padat aktivitas. Berbagai lembaga dan kantor pelayanan pemerintah berpotensi mengalami shutdown.
Dampak ekonomi pasti tak terhitung jumlahnya. Hampir seluruh kegiatan produksi dan perdagangan terganggu. Apalagi industri pengolahan yang proses produksinya butuh listrik. Pengelola pusat perbelanjaan sekilas terlihat mendapat berkah karena pengunjung meningkat. Namun, banyak transaksi pembayaran nontunai tidak berfungsi. Sistem anjungan tunai mandiri (ATM) juga banyak yang offline. Hotel dan restoran yang tiap akhir pekan okupansinya biasanya tertinggi kesulitan melayani tamu.
Industri menengah besar masih ditopang genset sekalipun dengan risiko keluar tambahan ongkos cukup besar. Apalagi bagi mal atau hotel gedung tinggi yang harus menyediakan eskalator atau lift. Setidaknya kegiatan ekonomi menengah besar sebagian masih bisa berlangsung. Lain halnya dengan usaha mikro kecil yang aktivitas usahanya terhenti.
Dari ilustrasi sederhana itu, jelas sekali menyadarkan semua pihak betapa penting listrik sebagai sumber energi bagi kehidupan masyarakat. Energi listrik tak lagi hanya terkait kegiatan ekonomi, tetapi juga keselamatan, bahkan ketahanan sebuah negara. Jika kegiatan masyarakat dengan mudah lumpuh akibat ketiadaan pasokan listrik, tentu berisiko tinggi terhadap kedaulatan negara.
Dengan demikian, sebagai langkah evaluasi, tidak hanya berhenti pada pemberian kompensasi oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Berapa pun kompensasi yang diberikan PLN tentu tidak akan sebanding dengan kerugian sosial ekonomi yang ditanggung masyarakat.
Apalagi, sebagai korporasi, PLN juga mengalami kerugian cukup besar akibat blackout ini. Sebagai ilustrasi, rata-rata di Jabodetabek, Jabar, dan Banten, PLN mampu menjual listrik 22.000 megawatt (MW) per jam. Namun, akibat gangguan, hanya tinggal 13.000 MW per jam. Artinya, terjadi selisih penjualan 9.000 MW. Jika pemadaman berlangsung sepuluh jam, PLN berpotensi kehilangan penjualan 90.000 MW. Dengan asumsi rata-rata tarif Rp 1.000 per kilowatt per jam (kWh), potensi kerugian PLN minimal Rp 90 miliar. Belum lagi berbagai biaya operasional dan perbaikan sistem jaringan dan transmisi yang rusak.
Oleh karena itu, ke depan hal terpenting adalah upaya menjaga keandalan pasokan dan stabilitas daya listrik. Blackout merupakan penurunan daya listrik secara drastis akibat gangguan pada sistem kelistrikan yang bisa disebabkan masalah transmisi atau sistem pembangkitan. Evaluasi harus dilakukan menyeluruh, baik keandalan sistem transmisi maupun pembangkitan, termasuk memperbaiki gap antara sumber pembangkit dan distribusi beban pelanggan. Berdasarkan paparan PLN, beban listrik di Pulau Jawa didominasi di wilayah barat 13.000 MW, sementara pembangkit listrik justru ada di wilayah timur 20.000 MW.
Bagi masyarakat awam dan pelaku usaha, blackout yang terjadi secara luas dan dalam waktu cukup lama menyisakan pertanyaan mendalam. Apalagi PLN sudah dilengkapi digital monitoring system yang canggih yang mestinya mampu memberikan peringatan dini. Indonesia mestinya tidak hanya mengandalkan satu jenis pembangkit yang dominan dan berada dalam satu lokasi sentral. Sumber pembangkit listrik harus dimitigasi secara proporsional dengan sistem transmisi yang tidak rapuh. Tentu perbaikan itu tidak hanya menjadi tugas PLN, tetapi juga kementerian terkait, terutama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Listrik merupakan salah satu infrastruktur vital dan komponen utama dalam kemudahan berinvestasi (ease of doing bussiness/EoDB). Selain penopang energi, listrik juga bagian penting penentu daya saing, terutama bagi industri yang lahap listrik, seperti tekstil, industri yang awalnya penyumbang ekspor terbesar kini banyak yang bangkrut dan didominasi produk impor. ***