POTENSI KONFLIK PAPUA
Papua, Segregasi Etnis dan Potensi Konflik
Dalam Pemilu Presiden 2019, Presiden Joko Widodo menang mutlak di Papua. Ada dua faktor utama yang berkontribusi terhadap kemenangannya. Pertama, ”karakter” Jokowi yang rendah hati dengan gaya blusukan yang merakyat telah menarik simpati masyarakat. Selain itu, dibandingkan para presiden terdahulu, hanya Jokowi yang paling sering mengunjungi Papua. Kedua, aspek kinerja. Jokowi telah dianggap berhasil dalam pembangunan infrastruktur, khususnya di bidang jalan, bandara, pasar, serta fasilitas publik lain, termasuk Stadion Papua Bangkit di Jayapura yang dinilai termegah di Indonesia timur.
Dampak migrasi
Migrasi di mata masyarakat di Papua dilihat sebagai upaya ”sistematis” untuk membuat masyarakat asli Papua ”punah”. Dari hasil studi CSIS, kinerja pembangunan positif Jokowi tak selalu dinilai positif karena ada kekhawatiran yang dapat mengambil manfaat justru pendatang. Masalah ini menjadi potensi konflik yang sangat besar jika tak cepat diselesaikan. Kasus Wamena berdarah pada 2003 menjadi salah satu contoh letupan konflik dengan nuansa polarisasi etnis yang melibatkan pendatang.
Secara sederhana, migrasi dalam konteks Papua berdimensi ekonomi, politik, dan sosio-kultural. Secara ekonomi terjadi ekstraksi SDA dan kesempatan kerja yang menguntungkan pendatang karena perbedaan kapasitas dan kemampuan dibandingkan masyarakat asli Papua. Kapasitas SDM masyarakat asli Papua secara umum masih memprihatinkan sehingga belum dapat berkompetisi dengan pendatang dan hal ini cenderung mengakibatkan rasa rendah diri.
Aspek politik menyangkut jabatan publik dan representasi.
Aspek politik menyangkut jabatan publik dan representasi.
Dari studi CSIS, banyak keluhan dalam pemilu legislatif kemarin anggota legislatif mayoritas adalah pendatang. Sementara dari aspek sosio-kultural dapat dipersepsikan sebagai kekhawatiran akan kepunahan kultural maupun hilangnya dominasi agama ”mayoritas”. Secara umum, dampak dari migrasi ini telah mengakibatkan proses ”dislokasi” atau marjinalisasi masyarakat asli Papua di tanahnya sendiri.
Mereka merasa keberlanjutan mereka secara kultural (cultural survival) terancam dengan kian meningkatnya pendatang. Hal ini yang menguatkan ”nasionalisme” Papua (McGibbon, 2004) di mana dikotomi antara ”kita” dan ”kamu” yang didukung perbedaan tampilan secara fisik jadi kian signifikan.
Keberagaman etnis
Melihat potensi konflik karena migrasi masif ini, mendesak untuk melakukan studi tentang etnisitas di Papua. Tak dimungkiri aspek historis di zaman kolonial dan kebijakan transmigrasi era Orde Baru serta perkembangan pembangunan dan investasi yang progresif telah memicu keberagaman etnis di Papua. Situasi ini coba dipotret Ananta, et al (2016). Dengan menggunakan data sensus 2010 dipotret fraksionalisasi etnis dan polarisasi etnis di Papua.
Fraksionalisasi etnis menunjukkan heterogenitas etnis, sedangkan polarisasi etnis menunjukkan keberadaan kelompok etnis dengan ukuran yang sama, misalnya antara etnis Jawa dan suku Dani. Menurut Ananta, tanpa penanganan yang tepat, baik fraksionalisasi maupun polarisasi etnis dapat memicu antagonisme dan konflik berbasis etnis, tak saja antara pendatang dan masyarakat asli, tetapi juga antarsesama etnis atau suku asli Papua, misalnya antara masyarakat pantai dan pegunungan.
Observasi serupa dilakukan Elmslie (2017) yang memotret transisi demografi. Disimpulkan, persentase masyarakat asli Papua di Papua dan Papua Barat cenderung kian menurun karena migrasi. Kota besar mayoritas dihuni masyarakat bukan asli Papua. Angkanya, Merauke 62,73 persen, Nabire 52,46 persen, Mimika 57,49 persen, Keerom 58,68 persen, Kota Jayapura 65 persen. Kontribusi etnis terbesar dari studi Ananta, et al, adalah etnis Jawa.
Jika dipetakan secara teritorial, daerah pesisir atau pantai cenderung didominasi pendatang, daerah pegunungan masih didominasi masyarakat asli. Pendatang dianggap lebih berhasil mengambil manfaat fasilitas perkotaan, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, dibandingkan masyarakat asli Papua.
Secara garis besar, migrasi dan segala dampaknya tak terhindarkan. Anggapan bahwa migrasi upaya ”sistematis” untuk membuat punah masyarakat asli Papua tentu suatu konsepsi yang salah dan membahayakan. Perlu memberikan perhatian khusus pada masyarakat asli supaya punya kemampuan untuk bersaing dengan pendatang, dilandasi prinsip keadilan.
Tak dapat dimungkiri ada permasalahan karakter dan mentalitas di sini yang mengentalkan sebuah stigma dan menghambat proses interaksi lintas etnis di Papua. Hal yang berkontribusi terhadap situasi ini adalah kurangnya penelitian ilmiah untuk memahami budaya Papua sehingga menumbuhkan prasangka antaretnis (Mansoben, 1995).
Pendatang dianggap lebih dapat diandalkan, rajin dan bertanggung jawab dalam melakukan suatu pekerjaan dibandingkan masyarakat asli yang dianggap lebih ”santai” dan kurang tanggung jawab. Ini yang menyebabkan keengganan pendatang, khususnya yang memiliki usaha ekonomi, mempekerjakan masyarakat asli Papua.
Observasi penulis di Kota Jayapura kian nyata menunjukkan terjadinya segregasi antara masyarakat asli dan pendatang dari aspek pekerjaan dan tempat tinggal. Langkah afirmasi yang selama ini digembar-gemborkan untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat asli belum sepenuhnya bisa dilihat hasil positifnya.
Solusi
Ada empat solusi mendesak untuk segera diwujudkan. Pertama, berdasarkan diskusi Kelompok Kerja Papua, CSIS, perlu dilakukan Sensus Penduduk (SP) Papua yang lebih akurat, khususnya dengan fokus di aspek etnisitas. Hal ini berguna untuk membidik program dan kebijakan supaya lebih tepat sasaran.
Data SP 2010 dianggap kurang akurat karena dihambat sulitnya demografi dan aspek keamanan sehingga banyak penduduk tak terdata. Ketaktersediaan data akurat berpotensi disalahgunakan elite politik Papua untuk kepentingan elektoral maupun mendapatkan keuntungan secara ekonomi yang rawan diselewengkan.
Kedua, melihat kompleksitas masalah di provinsi ini, masyarakat asli harus diperlakukan secara khusus. Diperlukan standardisasi kapasitas dan kecakapan masyarakat asli Papua yang tak bisa disamaratakan dengan daerah lain. Dengan demikian, masyarakat asli Papua akan mendapat ”kesempatan” yang sama untuk bernaung dalam suatu ruang kerja yang mendukung interaksi lintas etnis meski dengan kapasitas berbeda.
Ketiga, pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan rasa percaya diri masyarakat asli Papua harus dilakukan secara kontinu dan sistematis, apalagi terkait upaya mengubah mentalitas dan cara berpikir mereka yang tidak kondusif terhadap perubahan zaman. Mengubah suatu mentalitas memerlukan waktu yang lama.
Keempat, dari hasil penelitian CSIS diidentifikasi suatu perasaan keterasingan (alienated) karena masyarakat asli merasa bukan bagian dari Indonesia selain karena perbedaan secara fisik juga kurang ”diperkenalkan” kepada masyarakat lain di luar Papua. Untuk itu, perlu suatu kebijakan yang memberikan kesempatan yang adil bagi masyarakat asli Papua untuk bekerja di luar Papua dalam berbagai sektor.
(Vidhyandika D Perkasa ; Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar