Setelah 20 tahun dalam era Reformasi, ada kehendak dari berbagai kalangan elite (politik dan akademisi) untuk kembali ke GBHN sebagai pedoman perencanaan pembangunan sebagaimana berlaku di masa lalu. Wacana itu meluas menjadi diskursus tentang peran dan kedudukan MPR.
Semua dilandasi dengan itikad yang baik, bahkan Presiden Jokowi pun telah menyampaikan pandangan tentang wacana itu. Tulisan ini ingin mendiskusikan pertanyaan: apakah keinginan untuk menghadirkan GBHN kembali ini merupakan pandangan yang kredibel, bersifat substantif atau lebih retorik.
Keinginan kembali ke GBHN itu apakah bukan karena frustasi akibat perubahan sistem politik yang semakin terbuka, kekuasaan yang terdesentralisasi dan tidak terpusat, sehingga menyebabkan upaya pembangunan menjadi lebih kompleks dan tidak seefektif seperti masa Orde Baru.
Penulis ingin memberikan sumbang saran untuk memperkaya diskusi tersebut berdasarkan pengalaman terlibat dalam pembahasan GBHN pada tahun 1983, 1988 dan 1993 secara langsung.
Proses terjadinya GBHN
Proses terjadinya GBHN berbeda untuk setiap zaman. Periode  pra-Orde Baru, MPR(S) menetapkan pidato-pidato Presiden Soekarno sebagai GBHN. Pada masa itu Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi berkedudukan di atas MPR(S).
Pada periode Orde Baru, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Presiden Soeharto menempatkan diri sebagai Staf (Pembantu) MPR (sebagai Panglima/Komandan). Presiden memberi masukan kepada MPR mengenai bahan-bahan (rancangan) GBHN.
Presiden menugaskan Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) menyusun bahan-bahan untuk GBHN, dengan menghimpun aspirasi/pandangan/saran/masukan dari masyarakat, parpol, ormas, profesi, daerah. Proses itu memerlukan waktu yang cukup panjang.  Selanjutnya Sekjen Wanhankamnas menyampaikan kepada Presiden naskah GBHN disertai lampiran yang cukup tebal.
Presiden membentuk tim penyiapan bahan akhir naskah GBHN: 1978 dan 1983 disebut Tim Sebelas; 1988 disebut Tim Sembilan, berdasarkan jumlah keanggotaan (penulis pernah menjadi anggotanya). Hasil akhir tim diserahkan kepada Presiden. Presiden menyampaikan rancangan naskah GBHN kepada MPR pada pembukaan Sidang Umum MPR.
MPR kemudian membentuk Badan Pekerja, yang terbagi atas 2 Panitia Ad Hoc (PAH). PAH I membahas GBHN dan PAH II membahas materi non-GBHN. Masing-masing PAH melaporkan ke Badan Pekerja rancangan naskah Ketetapan (Tap) MPR yang bersangkutan. Badan Pekerja selanjutnya melaporkan kepada Sidang Umum (SU) MPR naskah GBHN hasil pembahasan PAH I, dan Tap-Tap lainnya hasil PAH II.
SU MPR membentuk tiga komisi: Komisi A membahas GBHN, Komisi B membahas materi non-GBHN, Komisi C membahas pertanggungjawaban Presiden. Komisi-komisi itu menyampaikan hasil pembahasan atas naskah tap-tap tentang GBHN, non-GBHN dan pertanggungjawaban Presiden ke SU MPR. Semuanya setelah disetujui, ditetapkan jadi Ketetapan MPR (penulis pernah memimpin PAH GBHN dan Komisi GBHN).
Pertanyaan yang perlu dikaji
Ketika elite politik membahas keinginan untuk kembali ke GBHN, maka ada beberapa pertanyaan penting yang perlu dikaji. GBHN produk siapa? Kalau itu produk MPR, kedudukan MPR seperti apa? Apakah membuat MPR versi baru, kembali ke MPR lama, atau memperkuat MPR yang sekarang ada? Yang menjadi masalah paling besar, bagaimana hubungan kedudukan Presiden dan MPR? Apakah Presiden kembali berada di bawah dan bertunduk kepada MPR?
Setelah reformasi presiden dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana MPR (DPR dan DPD), maka bagaimana hubungan kewenangan dan tanggung jawab antara MPR sebagai pembuat GBHN dengan presiden sebagai pelaksana GBHN? Apa yang terjadi kalau presiden tidak menjalankan GBHN seperti yang diamanatkan oleh MPR? Mungkinkah presiden berada di bawah dan bertunduk kepada MPR, sementara presiden dan MPR (DPR dan DPD) sama-sama dipilih langsung oleh rakyat?
Jawabannya yang logis presiden dipilih kembali oleh MPR. Jika itu terjadi, maka berarti mengurangi kedaulatan dan kewenangan rakyat; mengambil kembali hak rakyat memilih pemimpin (presidennya); melepaskan kembali hak demokrasi tertingginya dan menyerahkan kembali kepada (700-an) anggota MPR (DPR dan DPD). Itu berarti UUD harus diamandemen kembali.
Ada tiga masalah pokok di sini. Pertama, tidakkah akan muncul kembali otoritarianisme atau oligarki politik? Kedua, presiden dan MPR (DPR dan DPD) pada periode yang sama dipilih pada waktu bersamaan. Padahal GBHN perlu waktu dan proses. GBHN produk MPR itu dilaksanakan oleh presiden yang mana? Apakah dilaksanakan presiden yang sedang menjabat, atau yang akan datang? Pelaksanaan GBHN dipertanggungjawabkan ke MPR yang mana? Apakah yang membuat atau akan datang?
Ketiga, apakah kembali ke sistem linear melalui GBHN akan menghasilkan perencanaan yang lebih baik, mengatasi berbagai masalah pembangunan yang semakin kompleks. Situasi global yang rumit, pusat-pusat kekuasaan yang multipolar, keterbukaan informasi, perkembangan teknologi, pengetahuan dan kecanggihan berpikir masyarakat, ekspektasi kesejahteraan (prosperity expectation).
Nostalgia otoriter
Diskursus tentang keinginan mengembalikan GBHN menurut penulis disebabkan lebih pada nostalgia ke masa lalu yang dirasa lebih memberi kepastian pada arah dan proses pembangunan. Ketidakpuasan atas kinerja pembangunan lebih banyak sebagai konsekuensi sistem politik yang dipilih dan merupakan produk reformasi dengan paradigma: demokrasi dan desentralisasi.
Mengembalikan ke sistem yang berlaku di masa lalu  dapat diartikan sebagai upaya mengembalikan sistem otokratis, anti demokrasi dan sentralistik.
Dalam konteks ini penulis ingin mengutip Samuel Huntington (1991) dengan nostalgia otoriternya (dalam bahasa aslinya). “…New leaders of democracy might emerge as, “arrogant, incompetent, or corrupt, or some combination of all three…”; “… The intractability of problems and the disillusionment of the public were pervasive characteristics of the new democracies…”; “… Authoritarian nostalgia” was an expected response to democracy at that stage…”
Banyak negara demokrasi dengan sistem ekonomi pasar yang cukup berhasil melewati masa peralihan (seperti tahap Indonesia sekarang) dan mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat yang berkesinambungan seperti negara-negara  Eropa di masa lalu dan di Asia belakangan: Jepang, Taiwan, dan Korea.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa jika dilakukan dengan benar, demokrasi lebih baik daripada otoriter; ekonomi terbuka lebih baik daripada tertutup; desentralisasi lebih baik daripada sentralisasi. Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana membangun sistem demokrasi, sistem ekonomi dan desentralisasi yang dapat menjadi sumber kemakmuran bagi rakyat.
Memperkuat sistem terbangun
Maka yang perlu dilakukan adalah membangun institusi dan fungsi demokrasi, ekonomi pasar dan desentralisasi agar menjadi kekuatan pembangunan, yaitu: governance dan lembaga demokrasi seperti pemilu, partai-partai politik, civil society, sistem perwakilan yang bersih dan andal; persaingan pasar yang sehat dan terkendali dan tidak semata-mata pasar yang bebas.
Desentralisasi yang lebih rasional, mendekatkan proses pengambilan keputusan sedekat mungkin kepada rakyat; membuka kesempatan masyarakat membangun kehidupan yang lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan setempat; tak hanya memuaskan hasrat politik dan jadi alat kekuasaan bagi elite-elite lokal.
Di atas semua itu adalah semangat para penyelenggara negara, pemimpin masyarakat, pelaku dan pemangku kepentingan mendahulukan kebersamaan dengan berpegang pada kaidah-kaidah moral.
Menegaskan peran pemerintah dalam perencanaan pembangunan, yaitu bersifat garis besar dan indikatif. Pemerintah menjalankan kebijakan yang bersifat strategis: kedaulatan, keamanan, kemandirian, kestabilan, kepastian, jaminan hukum dan hak/kewajiban warga negara.
Pemerintah melakukan kegiatan yang tidak [belum] dapat dilakukan oleh swasta, mengendalikan dan mengarahkan investasi pemerintah yang mendorong meningkatnya usaha masyarakat. Pemerintah mendorong bekerjanya pasar. Pemerintah mengikutsertakan masyarakat dalam prosesnya.
Pemerintah memajukan golongan masyarakat (dan wilayah) yang dengan ekonomi pasar saja tidak mungkin berkembang atau bersaing dalam memperoleh akses faktor-faktor produksi. Badan usaha milik negara (parastatal) difungsikan mewakili negara dalam peran-peran yang strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Memeratakan pemanfaatan kemajuan teknologi oleh rakyat banyak guna meningkatkan produktivitas; mengurangi biaya konsumsi; memajukan pendidikan, pelatihan  sampai ke tingkat lapisan terbawah. Memperkuat lembaga-lembaga perencanaan dan pengelolaan pembangunan mulai di tingkat pusat sampai ke daerah baik yang bersifat sektoral, antar-sektor maupun regional: sistem, organisasi, SDM-nya.
Menyongsong era ekonomi digital, sektor publik harus sungguh-sungguh dapat berfungsi sebagai regulator yang efektif: membangun ekosistem dan infrastruktur digital yang dapat memperkuat daya saing
(Ginandjar Kartasaasmita, Menteri PPN/Kepala Bappenas 17 Maret 1993-21 Mei 1998)