Banyak sudah diskusi mengenai kebijakan yang harus diambil dalam memperkuat ekonomi Indonesia pada periode administrasi Joko Widodo-Ma’ruf Amin periode 2019-2024. Pidato Presiden Jokowi pada 14 Juli lalu juga memberikan arah kebijakan ekonomi Indonesia untuk menciptakan ekonomi yang produktif, berdaya saing, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan.
Namun, untuk mencapai tujuan itu tidak hanya diperlukan kebijakan yang tepat. Diperlukan juga perubahan paradigma mendasar dalam melihat kebijakan ekonomi, yang mungkin sangat berbeda dengan pandangan yang selama ini dianut.
Keterbukaan ekonomi sebagai dasar kebijakan
Salah satu paradigma yang perlu berubah adalah pandangan mengenai kemandirian ekonomi. Sering sekali kemandirian diterjemahkan sebagai upaya untuk memproduksi seluruh kebutuhan di dalam negeri, yang berujung pada kebijakan restriktif, nasionalis, dan proteksionis.
Namun, kenyataannya perekonomian modern dibangun dengan dasar kesalingtergantungan, interdepensi bukan independensi antarekonomi. Oleh karena itu, kemandirian ekonomi harus ditaruh dalam perspektif keterbukaan ekonomi. Kita tidak lagi dapat berpandangan bahwa ”ekspor itu baik, impor itu buruk”.
Rantai nilai global yang berkembang sejak 40 tahun belakangan juga menyebabkan produktivitas dan daya saing industri yang tinggi akan sangat bergantung pada keterbukaan ekonomi. Jika ingin memperkuat daya saing dan meningkatkan ekspor, Indonesia juga harus mau meningkatkan impor.
Sayangnya tingkat keterbukaan Indonesia cenderung masih rendah. Proporsi perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) di bawah 40 persen, jauh dari banyak negara tetangga seperti Thailand (123 persen) ataupun Vietnam (200 persen).
Kebijakan perdagangan Indonesia juga cenderung semakin restriktif. Lebih dari 35 persen pos tarif impor saat ini terkena regulasi larangan dan pembatasan, lebih tinggi dari sekitar 20 persen pada awal pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla dan jauh lebih tinggi dari rata-rata ASEAN yang hanya 17 persen.
Alih-alih memberikan perlindungan pada industri domestik, proteksi itu malah mengurangi persaingan yang akhirnya menurunkan daya saing industri dan produk Indonesia. Ini juga menjadikan Indonesia tak menarik sebagai tujuan investasi asing dengan investasi asing saat ini hanya sekitar 2 persen dari PDB, di bawah Vietnam (6 persen) ataupun Thailand (3,5 persen).
Keterbukaan ekonomi juga membuat perekonomian lebih dapat mengubah ketidakpastian ekonomi global menjadi peluang. Meski perekonomian global akan memburuk akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China, ada peluang dari peralihan perdagangan dan investasi.
Vietnam mendapatkan keuntungan dari peralihan perdagangan hingga mencapai hampir 8 persen dari PDB, begitu pula negara-negara Asia Timur lain yang perekonomiannya lebih terbuka dibandingkan Indonesia. Sementara Indonesia saat ini tidak menjadi pilihan utama relokasi perdagangan dan investasi yang disebabkan kebijakan yang cenderung restriktif.
Peningkatan peran swasta
Paradigma kedua terkait dengan peran swasta dan negara, dalam hal ini badan usaha milik negara (BUMN). BUMN menjadi prioritas utama pelaksana pembangunan infrastruktur dengan berbagai fasilitas keuangan yang diberikan. Selain itu, banyak BUMN diberikan hak istimewa untuk menjadi pemberi jasa dan pelaksana dalam berbagai program pemerintah, selain juga hak monopoli yang masih terus diberikan kepada banyak BUMN.
Namun, pemerintahan mendatang diharapkan semakin meningkatkan peran usaha swasta. Ini penting dilakukan karena usaha swasta merupakan penyumbang terbesar baik dalam nilai PDB, kesempatan kerja, dan ekspor Indonesia, termasuk usaha kecil dan menengah (UKM).
Selain itu, usaha swasta juga merupakan sumber utama modal yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi. Bank Dunia (2018) memperkirakan modal yang tersedia di Indonesia berkisar 16.000 dollar AS per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan dengan banyak negara lain di kawasan, seperti Thailand (20.000 dollar AS) atau Malaysia (30.000 dollar AS). Hanya dengan dunia usaha yang kuat, modal di Indonesia dapat ditingkatkan untuk menunjang pembangunan, baik dari investasi domestik maupun asing.
Banyak sektor yang saat ini juga dikuasai BUMN akibat hak eksklusif dan monopoli: sekitar 95 persen usaha hilir migas dikuasai Pertamina, sementara 80 persen pasar telekomunikasi dikuasai perusahaan milik negara.
Penguasaan pasar seperti itu akan mengancam persaingan usaha. Ini akan merugikan konsumen serta mengancam usaha penciptaan ekonomi yang produktif dan berdaya saing tinggi. Tidak adanya persaingan usaha yang sehat juga akan menghambat pengembangan inovasi yang menjadi kunci bagi pembangunan ekonomi pada masa mendatang.
BUMN sendiri dapat didorong untuk mengembangkan aktivitas mereka di luar negeri dalam rangka meningkatkan kinerja neraca berjalan. Mereka juga dapat menjadi pendorong dan fasilitator aktivitas usaha swasta Indonesia, terutama UKM, dalam melakukan ekspor dan ekspansi ke luar negeri.
Regulasi untuk fasilitasi aktivitas ekonomi
Paradigma ketiga terkait pandangan terhadap regulasi. Meski pemerintahan Jokowi-JK telah berusaha memperbaiki lingkungan regulasi ekonomi, paradigma yang berkembang masih tetap sama: regulasi perlu ada untuk mengatur aktivitas ekonomi.
Pandangan ini seharusnya dapat berubah. Suatu regulasi sebaiknya hanya akan dikeluarkan jika memang terbukti dapat memberi manfaat positif bagi perekonomian dibandingkan dengan kondisi tanpa adanya regulasi, bukan hanya karena perlu adanya aturan.
Perubahan pandangan ini menjadi semakin penting dengan berkembangnya aktivitas ekonomi baru terkait teknologi digital, yang berubah secara cepat serta memerlukan pendekatan pengaturan yang berbeda.
Untuk itu perlu perubahan proses formulasi regulasi ekonomi. Saat ini regulasi cenderung merupakan diskresi dari regulator. Namun, ke depan, formulasi regulasi harus dapat dilakukan secara terstruktur dan sistematis mengikuti berbagai prinsip good regulatory practice (GRP), seperti penyiapan kajian dampak ekonomi untuk setiap usulan regulasi, proses konsultasi publik, dan evaluasi efektivitas regulasi.
Studi CSIS (2016) mengusulkan pembentukan suatu Lembaga Peninjauan Regulasi (LPR) yang tugas utamanya melakukan peninjauan pada regulasi baru dan evaluasi pada regulasi yang berjalan. LPR dapat merupakan lembaga baru atau lembaga yang sudah ada, tetapi mempunyai dasar hukum dan otoritas yang tinggi dalam melakukan tugasnya. Skema ini sudah lama diterapkan di sejumlah negara berkembang dan negara maju dengan hasil yang memuaskan.
Perubahan paradigma
Harus kita ingat bahwa pertumbuhan ekonomi 5 persen seperti saat ini tidaklah mencukupi. Bahkan dengan pertumbuhan mencapai 6,5 persen, pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita masyarakat Indonesia pada akhir masa pemerintahan Jokowi-Amin baru menyentuh 5.000 dollar AS per kapita; yang merupakan PNB per kapita Irak pada 2018.
Perubahan ketiga paradigma mendasar itu menjadi hal penting untuk memperbaiki daya saing dan meningkatkan produktivitas perekonomian Indonesia. Tanpa ini akan mustahil bagi Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, yang akan menjadikannya lebih sulit keluar dari situasi saat ini.
(Yose Rizal Damuri ; Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies)