Presiden Amerika Serikat Donald Trump punya kebiasaan membuat kejutan di akhir pekan. Pekan lalu, ia mengumumkan akan mengenakan tarif pada sisa ekspor China ke AS yang belum terkena tarif sebesar 300 milyar dolar mulai 1 September 2019. Dampak bagi perekonomian dunia sudah diduga, harga-harga saham AS berguguran serta ekspektasi pertumbuhan ekonomi AS dan dunia yang sudah melambat akan semakin lambat. Aksi ini sebenarnya tidak sesuai dengan saran sebagian besar penasihat ekonomi Gedung Putih, mengingat tanda-tanda resesi AS semakin nyata.
Tanda-tanda konvensional seperti suku bunga obligasi jangka panjang pemerintah AS yang lebih rendah dibandingkan dengan jangka pendek sudah datang lebih dulu pada awal tahun ini dan selisihnya melebar sejak Juli 2019. Sementara itu, di sektor riel, pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan II-2019 sudah melambat menjadi 2,1 persen, turun dari 3,1 persen pada triwulan I-2019.
Dengan tarif baru ini, diperkirakan resesi di AS akan datang 9 bulan lagi, bersamaan dengan waktu pemilihan presiden AS. Trump berkepentingan dengan pemilihan Presiden AS. Tindakan ini memandulkan efek penurunan suku bunga Bank Sentral AS, The Fed, yang secara antisipatif dilakukan untuk membuat resesi AS tidak terlalu dalam.
Trump tampaknya juga menyadari hal ini. Akan tetapi, alih-alih menunda menaikkan tarif terhadap China, yang dilakukannya justru meminta Bank Sentral AS untuk menurunkan suku bunga acuan lebih dalam lagi.
Transaksi Berjalan dan Pergerakan Rupiah
Bagi Indonesia, imbas dari kondisi di atas terekam dalam data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang dikeluarkan Bank Indonesia. Ada dua komponen besar, yaitu transaksi berjalan (ekspor dan impor barang dan jasa termasuk pendapatan primer dan sekunder) dan neraca modal. Defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2019 melebar menjadi 8,443 miliar dollar AS atau 3,04 persen produk domestik bruto (PDB), naik dari 2,6 persen PDB pada triwulan I-2019. Jika ditelusuri, penyebab defisit transaksi berjalan semakin dalam adalah lebih banyak faktor musiman, seperti pembayaran pokok dan bunga pinjaman luar negeri dan repatriasi dividen. Akibatnya, pos pendapatan primer defisit 8,725 miliar dollar AS. Sementara, pos pendapatan sekunder (remitansi tenaga kerja Indonesia termasuk di dalamnya) surplus 2 miliar dollar AS sehingga memberi sedikit kompensasi pada defisit pendapatan primer.
Pelebaran defisit transaksi berjalan membuat NPI defisit 1,977 miliar dollar AS. Surplus neraca modal triwulan II-2019 yang mencapai 7 miliar dollar AS tidak cukup untuk menutup defisit transaksi berjalan sebesar itu. Hal ini pernah terjadi juga pada triwulan I hingga triwulan III-2018. Akibatnya, tidak ada penguatan lebih lanjut dari rupiah, kendati arus modal masuk jangka pendek cukup deras. Rupiah terus bergerak di rentang sempit antara Rp 13.900 sampai dengan Rp 14.300 per dollar AS, sehingga depresiasi kecil, misalnya 0,07 persen pun sering diterjemahkan sebagai “paling buncit”, “lesu darah” dan sebagainya.
Sebaliknya, penguatan nilai tukar Rupiah menuju tingkat di bawah Rp 14.200 per dollar AS pada satu pekan terakhir membuat rupiah dinobatkan sebagai “Raja” di Asia, meskipun hanya menguat 0,46 persen.
Berita baiknya, neraca perdagangan, sebagai bagian dari transaksi berjalan, masih surplus tipis 197 juta dollar AS pada Juni 2019. Surplus ini berasal dari neraca nonmigas dan barang-barang lain yang dapat mengompensasi defisit neraca migas. Meski demikian, dampak ekspektasi negatif dari perang dagang tetap terlihat. Ekspor dan impor sama-sama menurun, meskipun impor turun lebih tajam sehingga tetap terjadi surplus.
Potensi aliran modal jangka pendek masuk ke Indonesia tetap ada pada triwulan-triwulan mendatang. Di luar pakem teori ekonomi yang konvensional, penurunan suku bunga acuan AS bukannya meningkatkan investasi, akan tetapi malah dianggap sebagai pembenaran bahwa resesi di AS sudah semakin dekat.
Dalam ketidakpastian yang semakin tinggi ini, pemodal akan tetap menempatkan uang mereka dalam bentuk obligasi jangka pendek pemerintah AS, sehingga menyebabkan inverted yield curve lebih dalam. Akibat sampingan lainnya, indeks dolar AS mencapai angka tertingginya untuk 2019 yaitu 98,68.
Sisi positifnya, dengan ketakutan terhadap resesi AS, para pemodal internasional juga mengalokasikan sebagian portofolio ke negara-negara yang dianggap prospektif, termasuk Indonesia. Hal ini meredakan efek negatif dari pelebaran defisit transaksi berjalan terhadap nilai tukar Rupiah.
Antara Pesimisme dan Optimisme
Residu Pemilu Presiden dari April hingga Juli tampaknya masih membayangi keinginan masyarakat untuk membelanjakan pendapatan. Survei indeks keyakinan konsumen (IKK) yang dilakukan BI menunjukkan pelemahan IKK dari 126,4 pada Juni 2019 ke 124,8 pada Juli, terutama pada kelompok masyarakat berpengeluaran di atas Rp 3 juta per bulan. Dari segi usia, pesimisme ini disumbang penduduk berusia 20-50 tahun. Kemerosotan IKK ini terjadi untuk persepsi ketersediaan lapangan kerja dan penghasilan, sehingga menurunkan keinginan membeli barang-barang tahan lama. Akibatnya, dengan dominasi konsumsi dan masih absennya investasi, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2019 hanya 5,05 persen secara tahunan. Angka lebih rendah dari 5,07 persen pada triwulan I-2019. Sisi positifnya, indeks ekspektasi konsumen (IEK) masih meningkat ke 138,4 dari 138,1, karena harapan kenaikan upah pada awal 2020.
Di lain pihak, sisi produksi tetap menunjukkan optimisme yang tinggi. Indeks tendensi bisnis meningkat signifikan dari 102,10 pada triwulan I-2019 menjadi 108,81 di triwulan II-2019. Penyebabnya, peningkatan pendapatan, penggunaan kapasitas produksi, dan rata-rata jumlah jam kerja yang meningkat. Hal ini terjadi untuk semua sektor, kecuali pertambangan. Insentif perpajakan untuk berbagai kegiatan, termasuk membangun industri subsitusi impor input industri tampaknya mulai menimbulkan optimisme baru. Untuk mewujudkan optimisme ini menjadi investasi nyata, perlu persyaratan yang tidak menimbulkan beban administrasi yang baru. ***