Hari Minggu, 4 Agustus 2019, menjadi hari yang gelap bagi PLN dan masyarakat di bagian barat Pulau Jawa. Gangguan pada Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV Ungaran – Pemalang (Jawa tengah) menyebabkan pemadaman listrik di Jakarta, Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah. Akibat pemadaman ini, Presiden Joko Widodo harus turun tangan dengan mendatangi kantor PLN untuk mengetahui penyebab terjadinya pemadaman dan mendorong pemecahan masalah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pemadaman skala luas ini belum jauh dari kejadian sebelumnya di mana pada tanggal 5 September 2018, gangguan pada SUTET Paiton – Grati (Jawa Timur) menyebabkan pemadaman listrik sekitar 2.400 MW yang tersebar sebagian di Pulau Jawa dan hampir keseluruhan Bali.
Penyebab pemadaman dan kondisi sistem
Melihat dari kronologis yang dipaparkan oleh PLN, kedua kejadian ini mempunyai kemiripan yaitu diawali dengan gangguan (short circuit) yang menyebabkan terputusnya saluran transmisi yang mengalirkan listrik dari bagian timur Pulau Jawa ke bagian barat Pulau Jawa. Terputusnya saluran ini menyebabkan terganggunya keseimbangan beban (permintaan) – pembangkitan (pasokan). Di bagian barat Pulau Jawa, akibat beban melebihi pembangkitan, frekuensi sistem turun melampaui batas yang diizinkan. Sebaliknya, bagian timur Jawa mengalami kelebihan pasokan yang menyebabkan frekuensi naik.
Akibat perubahan frekuensi yang tajam, sistem pertahanan (defense scheme) bekerja dengan melepaskan beban (load shedding) dan atau melepaskan pembangkit listrik (generator shedding). Hal ini dilakukan untuk mencapai keseimbangan beban – pembangkitan yang baru guna menghindari pemadaman yang lebih luas dan kerusakan pada generator.
Pemadaman listrik menyebabkan kerugian yang sangat besar. Pusat perbelanjaan dan perkantoran harus menyalakan genset dengan biaya per kWh yang jauh lebih mahal. Pabrik-pabrik akan mengalami kerugian akibat material yang terbuang karena proses produksi yang terhenti atau bahkan denda akibat keterlambatan produksi. Reputasi negara turun (penurunan angka Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia secara berarti) di saat pemerintah sedang giat memperbaiki iklim investasi. Lebih lagi, adanya korban materi dan korban jiwa akibat kebakaran yang merupakan dampak tidak langsung dari pemadaman listrik.
Saat ini, beban puncak sistem kelistrikan Jawa dan Bali sekitar 27.000 MW dengan pembangkit terpasang sekitar 35.000 MW. Sepintas terlihat kapasitas pembangkit jauh melebihi beban. Namun, bila dihitung lebih teliti, kapasitas terpasang pembangkit akan menyusut drastis ketika kita memerhatikan tingkat kesiapan unit pembangkit. Tak semua pembangkit siap beroperasi karena pemeliharaan atau karena ketaktersediaan energi primer seperti kelangkaan air waduk di musim kemarau untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Selain itu, sebagian besar pembangkit di Jawa adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan biaya pembangkitan listrik murah tetapi mempunyai respons lambat terhadap terjadinya ketidakseimbangan beban – pembangkitan. Secara umum, beban listrik di bagian barat Jawa lebih besar dari beban listrik di bagian timur Jawa karena industri lebih banyak berada di bagian barat Jawa. Di bagian barat Jawa, beban listrik lebih dari pembangkitan listrik.
Sebaliknya, pembangkit listrik melebihi beban di bagian timur Jawa. Akibatnya, daya listrik perlu dikirim dari bagian timur ke bagian barat Jawa.  Dampaknya, bagian barat Jawa rentan mengalami penurunan frekuensi dan tegangan (yang berujung pada pemadaman)  jika pasokan dari timur Jawa terhenti baik karena saluran putus maupun pembangkit mati paksa. Terputusnya saluran ini menyebabkan terganggunya keseimbangan beban (permintaan) – pembangkitan (pasokan).Lebih dari itu, rugi-rugi saluran transmisi menjadi relatif lebih tinggi dan berpotensi menaikkan biaya pokok pembangkitan listrik.
Sistem kelistrikan Jawa Bali didukung oleh sistem transmisi 500 kV yang membentang dari timur hingga barat Pulau Jawa dan terdiri dari saluran transmisi utara dan selatan. Untuk keandalan saluran, masing-masing saluran terdiri dari dua sirkuit. Saat ini, daya listrik yang mengalir di beberapa saluran transmisi telah melampaui batas keandalan saluran N-1. Akibatnya, bila salah satu sirkuit terputus, ada kemungkinan sirkuit kedua akan mengalami overload dan berpotensi terputus juga.
Perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan
Meskipun dua kali pemadaman listrik skala besar terjadi dalam satu tahun terakhir, kejadian ini tak terlepas dari perencanaan sistem kelistrikan di masa lalu. Ada banyak pertimbangan dalam perencanaan pengembangan pembangkit. Beberapa di antaranya keandalan sistem (ketersediaan pembangkit), lokasi pembangkit dan tipe pembangkit. Pertama, pembangkit harus tersedia dalam jumlah cukup. Artinya, jumlah kapasitas pembangkit  harus lebih dari beban puncak.
Di sistem Jawa-Bali, minimal cadangan kapasitas adalah 30 persen dari beban puncak sistem. Namun, pembangunan pembangkit yang sering kali molor menyebabkan cadangan minimal tidak tercapai. Lebih dari itu, kualitas pembangkit yang rendah kian menurunkan kesiapan dan kapasitas  pembangkit. Kondisi ini diperparah dengan tidak beroperasinya PLTA di musim kemarau. Akibatnya, keandalan sistem semakin rendah.
Kedua, pembangkit harus ditempatkan pada lokasi yang tepat. Penempatan yang tepat dapat mengurangi ketidakseimbangan pembangkitan – beban di suatu wilayah baik pada saat sistem berjalan normal maupun pada saat sistem mengalami gangguan (kontingensi). Penempatan yang tepat juga dapat mengurangi aliran daya listrik di saluran transmisi. Dengan demikian, kemacetan aliran daya listrik pada saluran akan berkurang (congestion relief), profil tegangan membaik dan rugi-rugi saluran menurun.
Salah satu teknik yang digunakan untuk penempatan pembangkit adalah penggunaan indikator Locational Marginal Price (LMP). Indikator ini dapat menunjukkan pengaruh lokasi pembangkit (atau beban) terhadap biaya pembangkitan listrik, terutama yang berhubungan dengan aliran daya, tegangan dan rugi-rugi saluran. Bila nilai LMP pada setiap bus sama, biaya pembangkitan listrik cenderung lebih murah. Sebaiknya pembangkit ditempatkan di dekat Gardu Induk (GI) yang mempunyai nilai LMP tinggi dan beban sebaiknya dihubungkan ke GI dengan LMP rendah.
Ketiga, tipe pembangkit berpengaruh terhadap respons sistem saat gangguan terjadi. Sudah pasti, pembangkit dengan respons cepat lebih diinginkan untuk dibangun. Tetapi, semakin cepat respons pembangkit, biaya pembangkitan akan semakin mahal. Sebagai contoh, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) punya respons cepat tapi biaya pembangkitan mahal, sebaliknya PLTU batubara mempunyai respons lambat tetapi biaya pembangkitan murah. Karena harga listrik murah masih menjadi acuan, PLTU masih mendominasi di sistem Jawa-Bali.
Dengan semakin besar beban dan kompleks sistem kelistrikan, metode pengoperasian biasa yang hanya mempertimbangan biaya pembangkitan listrik yang murah mulai harus ditinggalkan. Pada metode pengoperasian konvensional, antisipasi terhadap kemungkinan terjadi gangguan (kontingensi) kurang diperhatikan. Akibatnya, sistem jadi kurang siap dalam menghadapi gangguan.
Ada tiga kategori tindakan yang dapat diambil dalam menghadapi keadaan kontingensi yaitu tindakan pencegahan (preventive control), tindakan perbaikan (corrective control) dan gabungan tindakan pencegahan-perbaikan.
Tindakan pencegahan adalah tindakan yang dilakukan sebelum gangguan terjadi (pra gangguan). Tindakan pencegahan umumnya dilakukan dengan mengatur daya luaran pembangkit yang beroperasi dengan mempertimbangkan minimum biaya pembangkitan dan antisipasi kemungkinan terjadi gangguan.

Ketika terjadi gangguan, sistem tetap aman tanpa perlu melakukan tindakan pasca-gangguan. Namun, pengaturan daya luaran pembangkit ini dapat menyebabkan pergeseran daya terbangkit dari pembangkit murah ke mahal. Oleh karena itu, pada tindakan pencegahan, biaya pembangkitan cenderung lebih mahal.
Sedangkan, tindakan perbaikan adalah dilakukan setelah gangguan terjadi. Umumnya, tindakan perbaikan adalah pelepasan beban dan atau pelepasan generator yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan beban – pembangkitan dalam waktu cepat. Tindakan perbaikan lain yang lebih kompleks dapat dilakukan dengan penggunaan peralatan Flexible AC Transmission Systems (FACTS) yang bertujuan merekayasa aliran daya pada saluran transmisi.
Tindakan perbaikan dengan pelepasan beban menyebabkan kerugian besar akibat pemadaman listrik. Tetapi, tindakan ini dapat mencegah pemadaman listrik pada skala lebih luas. Adapun tindakan gabungan pencegahan-perbaikan dapat menurunkan kerugian dengan cara mengurangi beban atau pembangkit yang dilepas.
Jika benar bahwa pemadaman kemarin akibat pohon di bawah tower transmisi yang terlalu tinggi, hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan menjadi faktor yang cukup penting. Pemadaman listrik ini dapat dihindari dengan memotong pohon yang sudah tinggi. Hal ini memang tidak mudah dan membutuhkan dana mengingat saluran transmisi membentang hingga ribuan kilometer dan berlokasi di daerah yang mungkin sulit terjangkau. Namun, jika dibandingkan kerugian akibat pemadaman listrik, biaya pemeliharaan ini relatif lebih kecil.
Langkah ke depan
Untuk jangka pendek ke depan, PLN perlu memanfaatkan teknik pengoperasian sistem kelistrikan yang lebih aman dengan mempertimbangkan antisipasi terjadinya gangguan (kontingensi) meski biaya operasi akan sedikit lebih mahal. Selain itu, pemeliharaan saluran transmisi perlu dilakukan dengan lebih efektif untuk mencegah terjadinya gangguan yang tak diinginkan.
Dalam jangka panjang, PLN harus terus menjaga cadangan kapasitas minimal 30 persen di atas beban puncak dengan cara membangun pembangkit di lokasi-lokasi yang tepat dan dengan tipe pembangkit yang sesuai untuk kebutuhan operasi baik saat keadaan normal maupun kontingensi. Mengingat butuh biaya, segala usaha itu akan cenderung menaikkan biaya pokok pembangkitan. Untuk itu, usaha optimal PLN untuk terus mengefisienkan sistem kelistrikan dan kerelaan masyarakat akan kenaikan tarif sangat dibutuhkan. Jer Basuki Mawa Beya.
(Rony Seto Wibowo ;  Dosen Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember)