Wacana pengenaan pajak atas transaksi digital mengemuka pasca-pertemuan para pejabat ekonomi dan moneter G-20 di Jepang beberapa waktu lalu.
Indonesia berkepentingan atas hal itu mengingat Indonesia dengan pasar pengguna internet  lebih dari 170 juta jiwa diharapkan tak hanya jadi pasar, tetapi juga dapat memperoleh manfaat pajak dari laba/keuntungan transaksi digital itu. Pajak digital juga memberikan kesetaraan perlakuan pajak bagi pelaku industri dalam negeri.
Kendala utama dalam pemungutan pajak terhadap perusahaan berbasis teknologi digital (over the top/OTT) yang melakukan transaksi ekonomi secara digital di Indonesia adalah transaksi itu belum terjangkau oleh regulasi yang ada. Umumnya perusahaan teknologi digital tak berdomisili di Indonesia, melakukan transaksi bisnis secara elektronik lintas negara, dan menggunakan pembayaran secara elektronik.
Dengan demikian, pemajakan perusahaan berbasis teknologi digital tak terjangkau oleh ketentuan dalam UU Pajak domestik karena tak berdomisili di Indonesia (wajib pajak luar negeri) dan juga tidak dapat dipajaki menurut ketentuan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)/tax treaty karena mensyaratkan adanya ”kehadiran” fisik berupa Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment). Article 5 P3B mendefinisikan BUT sebagai berikut ”the term ’permanent establishment’ means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on”.
Sementara pengenaan pajak atas laba usaha BUT yang dapat penghasilan di Indonesia, umumnya diatur di pasal tentang ”Business Profits” di Pasal 7 Ayat 1 P3B (untuk P3B Indonesia dan AS diatur di Article 8), yang berbunyi:The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein.”
Kebijakan P3B Indonesia menentukan ruang lingkup business profit/laba usaha BUT dalam pengertian luas, yaitu mencakup penghasilan atas kegiatan atau harta BUT itu sendiri (attribution income), penghasilan pasif yang diterima kantor pusat yang punya hubungan efektif dengan kegiatan/keberadaan BUT di Indonesia (effectively connected income) dan laba kantor pusat dari penjualan barang atau transaksi lain yang sama jenisnya dengan yang dilakukan BUT di Indonesia (force of attraction Income).
Regulasi transaksi digital
Menkeu mengatakan, negara anggota G-20 sedang menyusun skema perpajakan digital yang nantinya pemungutan pajak tak lagi berdasarkan atas adanya kehadiran fisik, tetapi berdasarkan aktivitas ekonomi di suatu negara. John Hutagaol dalam artikelnya berjudul ”Arah Kebijakan Pemajakan Global atas Transaksi Ekonomi Digital (Kompas, 9/7/2019) menyebutkan, secara global ada tiga proposal untuk meredefinisi BUT sehingga tak lagi berdasarkan kehadiran fisik, yaitu menggunakan pendekatan user participation yang diusulkan Inggris, pendekatan marketing intangible yang diusulkan AS dan pendekatan significant economic presence yang diusulkan G-24.
Berbagai proposal/skema dalam upaya pemajakan transaksi digital oleh OTT di atas, tak cukup hanya melalui terwujudnya suatu kesepakatan bersama antarnegara saja, tetapi yang jauh lebih penting bagaimana implementasinya melalui aturan hukum yang jelas, sederhana, menjamin keadilan dan kepastian hukum di setiap negara. Tahap awal tentu dilakukan melalui perubahan ketentuan dalam P3B setiap negara yang selanjutnya diselaraskan dengan ketentuan UU Perpajakan dan peraturan pelaksanaan di dalam negeri.
Dengan demikian, akan tersedia landasan hukum yang punya kekuatan mengikat dan menimbulkan kepastian hukum bagi semua pihak. Suatu P3B (tax treaty) merupakan salah satu sumber hukum formal yang melahirkan hukum/aturan yang mengikat penduduk dalam suatu negara.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 32 A UU No 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa P3B merupakan aturan khusus (lex specialis) dari UU Pajak Penghasilan (UU PPh) sehingga P3B lebih didahulukan daripada UU PPh.
P3B akan mengatur penentuan dan pembagian hak pemajakan (termasuk besaran tarif) antarnegara yang melakukan perjanjian untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda akibat adanya ”benturan” pelaksanaan dua aturan pajak negara yang berbeda, sedangkan aturan pajak domestik akan mengatur terkait penentuan subyek, obyek, dan mekanisme administrasi pembayaran/pelaporan pajak.
Melakukan perubahan/revisi P3B tentu bukanlah hal yang mudah karena menyangkut kepentingan ekonomi setiap negara yang terlibat dalam perjanjian. Apalagi, umumnya perusahaan berbasis teknologi digital berlokasi di negara-negara maju yang sudah tentu pemerintah negara bersangkutan akan berupaya memperoleh manfaat pajak yang lebih besar.
Selama ini  banyak negara besar, terutama AS, merasa dirugikan oleh perusahaan, seperti Google, Facebook, Apple, dan Microsoft, yang walaupun berkantor pusat di AS tetapi menjalankan usahanya dan melakukan profit shifting ke tax haven countries, melalui pendirian anak-anak perusahaan di Irlandia dan Belanda sehingga dikenal istilah The Double Irish and a Dutch Sandwich. Memang pengertian domicile dan headquarters berbeda dari sudut pandang hukum serta pajak. Dalam konteks kebijakan pemajakan atas perusahaan berbasis digital juga perlu pembahasan secara simultan soal ini oleh G-20, selain soal permanent establishment tersebut di atas.
Apabila memang negara-negara anggota G-20 sudah memiliki persepsi dan keinginan yang sama untuk mengenakan pajak atas transaksi digital seharusnya komitmen ini akan berjalan lebih mudah ketika diimplementasikan dalam bentuk perubahan/revisi P3B antara Indonesia dan setiap negara.
Perubahan P3B dimaksud terutama  adalah revisi atas Article 5  tentang definisi dan ruang lingkup/cakupan BUT dengan memperluas penentuan BUT yang tak lagi hanya berdasarkan adanya bentuk fisik, tetapi juga berdasarkan aktivitas ekonomi sebagaimana diusulkan dalam pertemuan G-20.
Penentuan dan pengaturan aktivitas ekonomi yang dilakukan perusahaan berbasis teknologi yang dianggap sebagai BUT, baik dalam P3B maupun peraturan perpajakan domestik,  harus dapat terukur dan menyediakan prosedur yang sederhana agar perusahaan itu dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya secara mudah. Pemerintah mulai saat ini harus mencermati berbagai proposal/kesepakatan yang dibuat di forum-forum ekonomi internasional terkait pemajakan transaksi digital agar kepentingan Indonesia terakomodasi dalam kebijakan itu.
Ferdy Alfonsus Sihotang ;  Pegawai Sekretariat Pengadilan Pajak Kementerian Keuangan