Bisakah AS dan China berekonsiliasi? Bisa jika AS di bawah Presiden Donald Trump mengubah sikap atau China mau menurut seperti Jepang. Tampaknya hal ini sulit. Program “America First” — utamakan Amerika, sedang berhadapan dengan “tianxia” — semua sama-sama di bawah matahari. Lalu di mana titik temu dua negara adi daya, AS dan China? Ulasannya ada pada tiga tulisan bersambung berikut ini.
Pepohonan ingin tetap tenang, tetapi angin tidak akan pernah berhenti (Shù yù jìng ěr fēng bù zhǐ). Demikian kutipan di China Daily edisi 5 Juli 2016.
China memosisikan diri seperti pohon yang terus diterpa angin. Negara ini ingat rasa dipermalukan seratus tahun lebih. Ada memori pahit tentang aliansi 8 negara yakni Inggris, Jerman, Perancis, Rusia, Austro-Hongaria, AS, Italia, dan Jepang. Aliansi ini menyerang Boxer, kelompok perlawanan China yang ingin mengusir kolonial tetapi gagal dalam perlawan pada 1900 itu. Setelah itu ada kenangan pahit akan Jepang yang tak terlupakan selama Perang Dunia II.
Di zaman modern AS dan Eropa gencar menyerang dari berbagai sudut dan dari waktu ke waktu. Ada kritikan soal Tibet, Tiananmen, atau Xinjiang. Ada gangguan pada China lewat Taiwan. Kemudian, ada reaksi keras AS soal penguasaan sebagian wilayah di Laut China Selatan, padahal ini adalah sengketa banyak negara-negara di kawasan. Terbaru, ada aksi protes berlarut-larut di Hong Kong.
Menekan lewat ekonomi
AS sedang masuk dengan serangan dari sisi ekonomi. Sebelum itu Barat pernah menuduh China memakai narapidana sebagai pekerja di pabrik-pabrik. Barat gencar soal dukungan pada soal hak asasi di China. AS juga masuk lewat isu kurs, menuduh China sebagai pemanipulasi kurs renminbi (yuan), agar produk-produk China lebih bersaing di pasar dunia.
AS pernah menghambat ZTE Corp. Trump melarang perusahaan AS memakai produk-produk ZTE Corp. Kemudian muncul penangkapan Meng Wanzhou, Direktur Keuangan Huawei lewat Kanada dengan alasan Huawei memfasilitasi pengembangan teknologi informasi di Iran, melanggar sanksi.
Perang yang sedang berlangsung kini adalah perang dagang. Tarif 25 persen sudah dikenakan AS pada 250 miliar dollar AS impor asal China. Mulai September 2019 nanti, akan dikenakan lagi tarif 10 persen atas 300 miliar dollar AS impor dari China, kecuali untuk produk-produk tertentu.
Hubungan paling sengit AS-China berlangsung di bawah Presiden Trump. Trump menuduh produk-produk China menggempur basis produksi di AS dan ingin basis produksi itu balik ke AS. China dituduh memperkosa hak-hak pekerja AS.
Trump gencar menuduh China mencuri teknologi AS, isu lama yang mencuat kembali. Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross menyebutkan program “Made in China 2025” sebagai menakutkan.
Dibayangi ketakutan
Penasihat dagang Trump, Peter Navarro, adalah salah satu pejabat yang sangat takut akan China dan tokoh penting di balik perang dagang AS-China. Profesor ekonomi dari University of California at Irvine ini menuliskan buku Death by China: Confronting the Dragon – A Global Call to Action (paperback) pada 15 Mei 2011.
Dari AS muncul tuduhan China mengekspor ideologi komunis. Menlu AS Mike Pompeo, Wapres Mike Pence menuduh program One Belt One Road (OBOR) sebagai sarana pengekspor ideologi.
Relasi AS-China paling heboh di era Trump. Hampir tiada hari tanpa serangan pada China. Ini memengaruhi opini warga. Jajak pendapat oleh Pew Research Center pertengahan Mei – Juni 2019 menunjukkan 60 persen warga AS menyatakan sikap tak bagus soal China, naik dari 47 persen pada periode serupa 2018.
Pemerintahan Trump tidak mengendor. Pada hari Senin, 19 Agustus, Wapres Mike Pence, di hadapan pendukung Republikan berpidato. Dia katakan, “Di bawah Presiden kita Donald Trump, tidak akan ada lagi kebebasan bagi China melakukan tipu muslihat dagang, menutup pasar domestik hingga pencurian teknologi.” ***