Dalam prediksi beberapa lembaga internasional, Indonesia diramalkan bakal menjadi kekuatan ekonomi keempat atau kelima terbesar di dunia dua sampai tiga dekade mendatang.
Pertumbuhan ekonomi relatif stabil sejak 2010, peningkatan investasi, dan bonus demografi yang mendorong peningkatan konsumsi merupakan basis pijakan prediksi ini. Visi Indonesia Maju 2019-2024 Joko Widodo-Ma’ruf Amin simetri dengan ramalan itu dan memprioritaskan kelanjutan pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, investasi, reformasi birokrasi, serta APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Tinjauan kritis atas optimisme pembesaran kapasitas ekonomi (PDB) bertolak dari argumentasi mendasar: bagaimana mencapainya di tengah situasi koruptif, lemahnya penghormatan atas hak asasi manusia, struktur ekonomi yang mengidap ketimpangan kronis, demokrasi miskin substansi, dan kecamuk segregasi sosial-politik yang melemahkan kohesi nasional? Penyertaan determinan substantif ini untuk meneguhkan dimensi keadilan dan kemanusiaan dalam meraih tujuan berbangsa.
Korupsi
Kemajuan bangsa salah satunya ditentukan dari kesanggupan menerapkan zero tolerance terhadap korupsi. Kendati skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) terus membaik satu dekade terakhir (tahun 2009 skor IPK 28 di peringkat ke- 111 dan tahun 2018 skor IPK 38 di peringkat ke-89), itu jauh dari mencukupi dibandingkan energi yang dicurahkan, inefisiensi, dan dampak kerugian yang ditimbulkan.
Studi Rimawan Pradiptyo dan kawan-kawan (UGM, 2018) mencatat, dari 542 pelaku korupsi sepanjang 2001-2015 yang mengakibatkan kerugian negara Rp 203,9 triliun, total hukuman finansial yang dijatuhkan hanya dapat mengembalikan kerugian negara Rp 21,26 triliun (sekitar 10 persen).
Studi itu menyimpulkan pada hakikatnya rakyat menyubsidi koruptor (dalam bentuk transfer pajak). Perhitungan biaya sosial akibat korupsi itu sekurang-kurangnya mencapai 2,5 kali lipat dari kerugian negara (Rp 509,75 triliun).
Indonesia juga belum memiliki big data korupsi sehingga skema pencegahan dan pemberantasan korupsi masih parsial. Termasuk dalam konsiderans ini adalah payung hukum jauh dari memadai, sejumlah institusi ”kebal” dari jangkauan KPK, maraknya korupsi politik akibat relasi pebisnis-politisi, serta ditemukannya banyak kegiatan usaha berkarakter beyond state dan pseudo legal terutama dalam kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
Fenomena korupsi masif dan terstruktur dalam sistem politik yang mengidap banyak cacat moral belum mendorong aksi sungguh-sungguh mengatasi situasi darurat.
Menempatkan KPK sebagai satu-satunya ujung tombak tanpa reformasi institusi penegak hukum dan perombakan perangkat perundang-undangan mustahil akan membawa perubahan mendasar dalam memerangi kejahatan kemanusiaan luar biasa ini.
Konvensi PBB Antikorupsi mengungkapkan fakta di seluruh dunia, korupsi berkorelasi positif dengan ketimpangan, pengangguran, dan suburnya konflik. Sebaliknya, korupsi berkorelasi negatif dengan pertumbuhan ekonomi, kualitas penduduk, demokrasi, dan investasi.
Krisis HAM
Sepanjang 2014-2018, penegakan HAM mengalami kemunduran. Koalisi Human Rights Working Group (HRWG) memberi skor indeks HAM Indonesia hanya 0,42 (dari rentang terendah -1 dan skor tertinggi 4) pada 2018. Skor itu merupakan gabungan tujuh aspek pemenuhan HAM, yaitu ratifikasi instrumen internasional, kebebasan beragama atau berkeyakinan, perlindungan terhadap pembela HAM, perlindungan buruh migran, pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, hak-hak perempuan, dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
HRWG menyimpulkan  tidak ada kemauan politik dan kurangnya kapasitas penyelenggara negara dalam memenuhi kewajiban HAM internasional yang diturunkan dalam program aksi di tingkat nasional.
Pengabaian isu HAM dan sebaliknya lebih mengutamakan agenda pembangunan ekonomi akan terus memelihara konflik laten. Alexis de Tocqueville (1805-1859) mengingatkan: ”Kita tidak mungkin melahirkan masa depan sebelum menyelesaikan masa lalu yang gelap.” Senada dengan itu, Nelson Mandela berujar, ”Menolak hak asasi manusia berarti menantang kemanusiaan itu sendiri.”
Resolusi konflik harus terus diupayakan untuk memberi jaminan kepastian menapak masa depan tanpa beban masa silam. Lagi pula ini janji nawacita yang belum terlaksana. Sebagian model penyelesaiannya dapat merujuk pernyataan John F Kennedy: forgiven but not forgotten. Dimaafkan tetapi tidak untuk dilupakan agar tidak menjadi preseden serupa di masa mendatang.
Kualitas SDM
Himpunan fakta-fakta ketertinggalan kualitas SDM demikian jelasnya. Struktur angkatan kerja 2019 didominasi lulusan SD (40,51 persen). Rata-rata lama sekolah penduduk golongan menengah ke bawah hanya setara SMP (8,3 tahun). Manifestasinya jelas tecermin pada skor dan peringkat sangat rendah dalam survei PISA (The Programme for International Student Assessment) dan PIACC (The Programme for the International Assessment of Adult Competencies).
Kemampuan literasi dan logika yang rendah berakibat turun atau hilangnya produktivitas, tinggi beban biaya kesehatan, kehilangan proses pendidikan dan pemelajaran pada tingkat individu dan sosial, hak advokasi terbatas akibat rendahnya partisipasi sosial-politik, munculnya kemiskinan aneka rupa, termasuk maraknya kriminalitas.
Jumlah peneliti hanya 90 orang per sejuta penduduk. Dana untuk riset kurang dari 0,1 persen dari PDB. Hanya lima universitas masuk daftar 1.000 peringkat terbaik dunia. Ranking inovasi di tingkat global urutan ke-85. Modal sosial atau Human Capital Index (peringkat ke-87 dari 157 negara) yang dirilis Bank Dunia 2018  merepresentasikan agregat keterbelakangan ini.  Pergerakan lamban Indeks Pembangunan Manusia dua dasawarsa terakhir juga menguatkan hal itu.
Peningkatan produksi, inovasi, dan investasi berkaitan erat dengan sejauh mana kemampuan memperbaiki kualitas SDM bangsa. Sinyal kuat akumulasi masalah ini sesungguhnya tecermin juga pada data makro sebagaimana terekam dalam perkembangan defisit neraca transaksi berjalan yang menunjukkan rapuhnya industri ekspor berkandungan inovasi dan teknologi tinggi.
Demokrasi nirsubstansi
Sekalipun penyelenggaraan pemilu sebagai ritus demokrasi prosedural berjalan relatif lancar sejak reformasi 1998, esensi demokrasi berkualitas jauh dari harapan. Sistem politik menciptakan ongkos mahal dan melahirkan banyak politisi medioker dengan karakteristik kental bercorak oligarki.
Pajak rakyat dipakai untuk membayar politisi dengan integritas dan kapasitas semenjana, berbalut politik aliran dan  popularitas, miskin kompetensi dan integritas. Kohesi nasional dapat ancaman serius justru dari pembudayaan politik oligarki tanpa  deliberasi dan akuntabilitas publik.
Praktik kontestasi politik selain menyuburkan korupsi juga kian menguatkan fragmentasi dengan mengusung politik aliran dan mengembangbiakkan  pembelahan sosial-politik. Ongkos besar untuk membiayai penyelenggaraan demokrasi dan sistem politik penuh paradoks dengan manfaat terbatas bagi rakyat dan bangsa, butuh evaluasi dan koreksi menyeluruh.
Kian menjauhnya ruh Pancasila dalam sistem dan bangun politik nasional mendistorsi semangat merawat kemajemukan, mementingkan persatuan, musyawarah, dan keadilan. Sebaliknya, berimpitnya liberalisme politik dan ekonomi tanpa instrumen koreksi memadai menjerumuskan rakyat dan bangsa pada siklus permanen perebutan kekuasaan dan modal pada segelintir elite.
Legasi presiden
Jokowi dalam kampanye pilpres 13 April 2019 tegas menyatakan tak punya beban masa lalu dan akan bekerja keras memajukan bangsa pada periode kedua jabatannya. Pembuktian tekad besar ini memerlukan peta jalan kebijakan dan kerangka eksekusi dengan determinasi kuat.
Krisis korupsi, defisit transaksi berjalan, ketimpangan dan kemiskinan, SDM berkualitas rendah, praktik demokrasi yang tidak menjanjikan kemajuan, lemahnya penghormatan terhadap HAM, birokrasi tidak efisien dan kental bercokol egosektoral jelas menunjuk situasi darurat. Sumbatan masalah struktural ini  juga merupakan ”cacat bawaan” atau kontinum masa lalu.
Solusi tak mendasar dan berkesinambungan sebagian karena  penyelesaiannya tak menyentuh hakikat. Asimetri antara pertumbuhan dan ketimpangan, demokrasi dan korupsi, keterbukaan dan buta huruf literasi, otonomi dan kemandirian cukup memberi pelajaran tidak bekerjanya good governance.
Presiden selaku negarawan berbuat dan bekerja untuk memastikan generasi mendatang berkualitas lebih baik, cerdas merespons perubahan dan tantangan dengan meletakkan landasan dan visi melenting jauh ke depan. Berbagai krisis bukan dianggap sebagai ancaman, melainkan kesempatan membuat perubahan besar.
Legasi presiden kelak akan ditentukan oleh kemampuannya membebaskan belitan aneka distorsi sekaligus membangun basis tangguh untuk kemajuan dan kehormatan bangsa.
(Suwidi Tono ; Koordinator Forum Menjadi Indonesia; Ketua Hubungan Antarlembaga Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi)