Minggu, 02 Maret 2014

Tidak Mudah Memimpin Jakarta

Tidak Mudah Memimpin Jakarta

Sabam Sirait  ;   Politikus Senior
MEDIA INDONESIA,  01 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
“Setelah Ali Sadikin, menurut saya, tak ada lagi gubernur Jakarta yang memimpin sekarismatik dan seefektif dia. Kepemimpinan Jokowi-Ahok di Jakarta, sejak 2012 memang memberikan angin segar.”

TIDAK sembarang orang bisa dan mampu memimpin Jakarta. Bahkan, Bung Karno sekalipun pernah bingung memilih tokoh yang tepat untuk memimpin ibu kota negara ini. Suatu kali, Roeslan Abdulgani (yang pernah lama menjadi orang kepercayaan Presiden Soekarno) menceritakan kepada saya tentang rapat kabinet di akhir-akhir masa kekuasaan Bung Karno. Dalam rapat itu, Bung Karno hanya punya satu agenda; menanyakan kepada para menterinya tentang siapa tokoh yang layak menjadi gubernur Jakarta.

Para menteri yang hadir kemudian mengusulkan sejumlah nama. Namun, tak satu pun yang nyantol di kepala Bung Karno. Akhirnya rapat kabinet itu pun bubar tanpa suatu keputusan. Nah, saat akan keluar ruangan rapat, Bung Karno berkata kepada Johanes Leimena (saat itu menjabat Wakil Perdana Menteri I), yang berjalan beriringan, “Om Jo, tadi dalam rapat kenapa tidak bicara atau mengusulkan nama calon gubernur Jakarta?” “Lo, Bung kan tidak bertanya kepada saya,” jawab Leimena.

“Kalau begitu, sekarang saya tanya kepada Om Jo, siapa yang pantas jadi gubernur Jakarta,” kata Bung Karno lagi.

“Menurut saya, yang paling tepat sebagai gubernur Jakarta adalah Ali Sadikin,” tutur Leimena.

Seketika Bung Karno terhenyak. “Nah, ia orang yang tepat. Segera panggil Ali Sadikin menghadap saya. Sekarang juga buat surat keputusan presiden untuk mengangkat Ali Sadikin sebagai gubernur Jakarta.” Dalam hitungan hari, Ali Sadikin-yang saat itu masih menjabat Menteri Perhubungan Laut--tepatnya April 1966 dilantik Presiden Soekarno sebagai gubernur Jakarta. Usianya saat itu 39 tahun.

Karismatik

Usulan Leimena, yang kemudian diputuskan Bung Karno, ternyata tepat. Bang Ali, demikian panggilan Ali Sadikin semasa menjabat gubernur DKI Jakarta (1966-1977), menunjukkan kepemimpinan dan kinerja yang bagus.

Gaya kepemimpinannya yang karismatik dan bersemangat segera berhasil merebut hati rakyat Jakarta. Sikapnya yang tegas, bahkan sering kali terkesan keras, menggambarkan pemikiran dan keyakinannya yang tak mudah goyah. Untuk mempertahankan kebijakannya, Bang Ali siap menghadapi kritik, bahkan konflik, secara langsung.

Yang menarik dari Bang Ali, gaya kepemimpinan karismatik itu diimbangi pula dengan manajemen yang teratur dan efektif. Dalam banyak hal visinya tentang Jakarta mirip dengan visi Bung Karno. Sebagai ibu kota bangsa yang besar, Jakarta harus dikembangkan hingga setara dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Di masa awal kepemimpinannya sebagai gubernur Jakarta, Bang Ali menyelesaikan proyek-proyek yang direncanakan dan dimulai Bung Karno, seperti penyelesaian pembangunan Masjid Istiqlal dan pembangunan taman rekreasi Ancol.

Selama 11 tahun memimpin Jakarta, banyak karya besar yang ditancapkan Bang Ali. Salah satunya yang monumental ialah program perbaikan kampung `Muhammad Husni Thamrin', atau yang lebih dikenal sebagai `Program MHT'. Program itu dimulai pada 1969 dan direncanakan dalam skala besar. Program MHT bertujuan memperbaiki atau meningkatkan lingkungan fisik dan layanan yang tersedia bagi kampung-kampung di Jakarta. Bang Ali terutama mengaspal gang-gang atau lorong-lorong di kampung-kampung Jakarta. Lorong atau gang yang semula becek dan berlumpur menjadi nyaman dilalui. Rakyat sangat menyukai program tersebut.

Program yang sangat membantu kehidupan rakyat kecil di Jakarta itu dikerjakan dengan dana yang relatif murah. Selama periode 1969-1974, hanya dalam waktu lima tahun, program MHT berhasil memperbaiki 166 kampung yang berpenduduk hampir dua juta orang, dengan biaya Rp22,5 miliar atau Rp11 ribu per orang. Bank Dunia pernah menganggap program itu sebagai ‘kesuksesan bidang sosial ekonomi yang tiada duanya’.

Bukan mustahil

Masih banyak karya besar Bang Ali untuk Jakarta, yang tak cukup jika dipaparkan dalam tulisan ini. Namun, menurut saya, yang penting digarisbawahi dari kepemimpinan Bang Ali ialah keberhasilannya merebut hati rakyat sekaligus menerapkan manajemen yang efektif dalam membangun Jakarta. Dengan begitu, ia bisa dikatakan berhasil mengatasi berbagai masalah mendasar yang sempat membuat bingung Bung Karno dan para gubernur Jakarta sebelumnya.

Setelah Ali Sadikin, menurut saya, tak ada lagi gubernur Jakarta yang memimpin sekarismatik dan seefektif dia. Kepemimpinan Jokowi-Ahok di Jakarta, sejak 2012, memang memberikan angin segar. Berbagai gebrakan kebijakan yang dilakukan Jokowi-Ahok telah memperlihatkan hasil nyata. Akan tetapi, bagaimanapun, tantangan yang dihadapi mereka kini lebih kompleks daripada masa Bang Ali. Situasi dan waktu akan menjadi batu ujian bagi kepemimpinan Jokowi-Ahok.

Seperti yang sering kali saya katakan kepada Jokowi-Ahok dalam berbagai kesempatan; tak mudah memimpin Jakarta, tapi bukan mustahil bisa berhasil dilakukan. Jokowi-Ahok memiliki modal sosial yang kuat, yaitu jujur, bersih, dan bekerja keras mewujudkan berbagai program pembangunan. Jika modal sosial itu dijaga dengan konsisten, dukungan rakyat akan membesar. Dan, dengan dukungan rakyat itu, saya berkeyakinan Jokowi-Ahok juga bisa berhasil memimpin dan membangun Jakarta ke arah yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar