Terbengkalainya
Psikologi Personel Polri
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus
Psikologi Forensik, The University of Melbourne
|
KORAN
SINDO, 24 Maret 2014
Brigadir
S, tersangka pelaku penembakan atasannya, AKBP P, telah menjalani pemeriksaan
psikologi. Hasilnya, hingga saat artikel ini ditulis, masih belum jelas.
Sebagian
rekan yang berprofesi sebagai jurnalis mengabarkan via komunikasi pribadi
bahwa Brigadir S memiliki kondisi psikologis yang biasa-biasa saja alias
tidak ada kondisi luar biasa yang bisa disangkutpautkan dengan dugaan
penembakan yang telah ia lakukan. Sebagian lainnya—kontras—menginfokan bahwa
terungkap Brigadir S cenderung suka berbohong dan menutup-nutupi sesuatu.
”Temuan” tersebut sertamerta dijadikan sebagai dasar untuk menilai pernyataan
Brigadir S bahwa AKBP P bunuh diri.
Disimpulkan,
dalih Brigadir S tidak bisa dipercaya karena ia adalah pembohong. Benar
tidaknya pernyataan Brigadir S bukan fokus artikel ini. Yang lebih
mengasyikkan untuk didiskusikan adalah pertanyaan mengapa pemeriksaan
psikologi harus dilakukan serta implikasi pemeriksaan terhadap Brigadir S itu
terhadap institusi Polri. Andai Polri telah benar-benar melakukan investigasi
ilmiah (scientific investigation)
guna mengungkap kasus (dugaan) penembakan pada Selasa lalu itu, pemeriksaan
psikologi tidak terlalu dibutuhkan apabila itu ditujukan untuk mematahkan
kebohongan Brigadir S.
Brigadir
S boleh mengutarakan seribu satu kebohongan, dan penyelidik tidak perlu
memaksakan diri untuk membongkar kebohongan itu karena toh pengakuan bukan
syarat agar berita acara pemeriksaan bisa dinyatakan lengkap sehingga dapat
ditindaklanjuti oleh kejaksaan. Pemeriksaan psikologi sedemikian rupa justru
mengindikasikan masih belum memadainya hasil investigasi yang dilakukan
Polri.
Polri
seperti masih merasa perlu mencaricari hal lain dalam rangka meneguhkan
”simpulan” yang kadung disampaikan kepada khalayak, bahwa kerja ilmiah mereka
berhasil membuktikan Brigadir S sebagai pelaku penembakan terhadap atasannya.
Lain ceritanya jika pemeriksaan psikologis diselenggarakan untuk mengetahui
ada tidaknya gangguan psikologis serius yang barangkali bisa menjelaskan
penyebab Brigadir S berperilaku sedemikian eksplosif setelah—konon—diberikan
peringatan oleh atasannya.
Asumsi
pertama, sekiranya pemeriksaan psikologis berkesimpulan bahwa Brigadir S
dalam kondisi batin yang relatif sehat walafiat, maka pemeriksaan tersebut
bisa dikatakan ”gagal” menemukan sesuatu yang khas sebagai penjelasan
mengenai faktor-faktor lain— selain peristiwa pemicu berupa teguran
atasan—yang melatarbelakangi aksi Brigadir S.
”Ketidakberhasilan”
pemeriksaan psikologis menemukan jejak-jejak psikis yang di luar normal
justru menambah pelik persoalan, karena mustahil tak ada angin dan tak ada
hujan Brigadir S langsung mengambil senjata, mengarahkannya ke kepala AKBP P,
lalu menarik pelatuknya. Teguran atasan, andai ada, bisa jadi sebatas faktor
pemicu. Namun, pemeriksaan psikologis justru menyebut Brigadir S dalam
kondisi normal.
Padahal
perilaku manusia, apalagi membunuh, merupakan perilaku yang kompleks dan tidak
lazim. Sehingga sulit dipercaya ada individu yang dinilai normal, tetapi
sanggup melakukan perbuatan ekstrem ‘hanya’ akibat didorong satu faktor
pemicu. Perilaku bahkan kepribadian Brigadir S niscaya terbentuk dari
hasilinteraksiantarafaktorbawaan (disposisi) dan faktor lingkungan (situasi)
utamanya organisasi Polri.
Atas
dasar itu, ketika pemeriksaan psikologi menyatakan bahwa kondisi Brigadir S
tergolong normal, pertanyaannya adalah apakah simpulan tersebut merangkum
elemen disposisi dan situasi sekaligus. Pertanyaan barusan membawa bahasan ke
asumsi kedua, yaitu pemeriksaan psikologis menemukan kondisi abnormal tertentu
pada diri Brigadir S. Anggaplah kondisi tersebut adalah—seperti ditulis di
atas—Brigadir S mempunyai tendensi berbohong atau menutup-nutupi fakta.
Sepintas
lalu, dengan diagnosis semacam itu, siapa pun bisa langsung menuding Brigadir
S sebagai sosok tak bermoral, sehingga patut diyakini ia telah secara sengaja
menembak atasannya. Brigadir S bahkan dianggap sebagai manusia durjana yang
mencoreng-moreng reputasi lembaga Polri. Masalahnya, masih perlu ditakar
faktor-faktor yang membentuk Brigadir S menjadi manusia dengan kecenderungan
kepribadian pembohong.
Seandainya
faktor bawaan lebih dominan, maka terbuka sebuah fakta baru bahwa proses
seleksi dan perekrutan serta penentuan karier Polri selama bertahuntahun
telah gagal mengidentifikasi faktor bawaan yang kelak mendasari munculnya
kelakuan brutal Brigadir S. Berlandaskan pada anggapan bahwa Polri telah
secara teratur memantau kondisi psikologis para personelnya, kecil
kemungkinan baru kali ini pemeriksaan psikologis berhasil mengungkap sisi
gelap Brigadir S tersebut.
Bahkan,
apa pun potensi negatif yang Brigadir S miliki, itu tetap belum memadai untuk
mengecap dirinya sebagai personel Polri yang bobrok dan berbeda dengan para
insan Tribrata lainnya. Meminjam teori klasik tentang traitdari Allport,
masih perlu dibuktikan apakah kecenderungan berbohong adalah karakter
Brigadir S seorang diri atau jangan-jangan kepribadian negatif yang juga bisa
dijumpai pada kebanyakan personel Polri lainnya. Para pencinta
psikodiagnostika barangkali perlu mengadakan psikotes terhadap seluruh
jajaran Polri guna memastikannya.
Cara
lain, cukup dengan mencermati banyak analisis tentang sebab-musabab tipisnya
kepercayaan masyarakat terhadap Polri, bisa segera ditangkap tanda-tanda
common trait yang berjangkit di dalam diri para pelayan, pengayom, pelindung,
dan penegak hukum berseragam cokelat tua itu.
Perlakuan Institusi
Baik
dengan asumsi pertama (Brigadir S normal) maupun asumsi kedua (Brigadir S
memiliki tendensi negatif tertentu), seberapa jauh Polri dapat mengklaim
bahwa kondisi psikologis Brigadir S terbebas dri pengaruh lingkungan Polri?
Spesifik jika asumsi kedua yang dipakai, seberapa jauh Polri sanggup
mengutarakan secara terbuka kepada khalayak luas bahwa kelainan yang terlacak
pada dimensi psikologis Brigadir S merupakan buah dari perlakuan organisasi
Polri sendiri?
Saya
tidak percaya Brigadir S terbebas dari pengaruh perlakuan organisasi Polri.
Saya pun tidak yakin Polri akan mau menampar dirinya sendiri dengan mengakui
bahwa lembaga tersebut selama ini tidak sungguh-sungguh hirau pada pentingnya
pengelolaan psikologi para personelnya. Inilah yang mendasari argumentasi
bahwa seandainya peristiwa di Markas Polda Metro Jaya itu memang penembakan
oleh Brigadir S, dan Brigadir S mempunyai kecenderungan psikologis yang
abnormal, maka sangat mungkin Brigadir S sejatinya adalah korban.
Paling
tidak, korban pengabaian lembaga tempatnya bekerja terhadap kondisi
psikologisnya yang dari waktu ke waktu terus memburuk. Dan, bukan hanya
Brigadir S yang menjadi korban pengabaian tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar